“Sejujurnya, aku kerap berbicara sendiri, tertawa sendiri dan tersenyum sendiri. Kau tahu? Itu
sudah jadi kebiasaanku. Apalagi, aku kan tak punya banyak kawan bicara,” begitu jelasku pada
seorang gadis yang kerap ku panggil Kak Vio.
Aku baru mengenalnya sekitar satu bulan yang lalu. Dia gadis bertipe pendengar. Apapun yang
aku ceritakan, pasti dia dengan senang hati mendengarnya, meskipun aku belum pernah bertatap
muka dengannya. Mendengar penjelasanku itu, Kak Vio tertawa dan menganggap aku gila. Aku
memang sudah tak asing lagi dengan kata gila, jadi aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Tapi, aku sebenarnya tidak gila. Ini nyata. Jika aku tidak punya teman bicara, dan aku merasa
kesepian, pasti mulutku seketika menyapa seseorang di sampingku dan membahas topik yang
aneh.
Suatu malam, ketika aku kelaparan, aku meminta bagian makananku kepada Ibu. Naas, makanan
bagianku sudah dihabiskan oleh pihak lain, sedangkan makanan bagian milik Kakakku masih
disimpan baik-baik oleh Ibu. Aku seperti hendak menangis, perih betul hati ini rasanya. Aku
bergegas ke kamar mandi dan menitikkan air mata.
“Alah, tak usah menangislah. Sudah.. Sudah,” tiba-tiba mulutku berkata begitu.
“Tapi, Tuhan. Aku sudah berkali-kali diperlakukan tidak adil. Apa Tuhan tak mengerti?” begitu
hatiku menjawab.
“Aku tahu. Tapi, apa yang akan kita perbuat selain diam mengalah? Memendam amarah? Itu
sama saja menambah beban hidupmu. Menyesalinya? Itu sama saja menambah pikiran di
kepalamu. Ayo, makan saja apa yang ada di meja itu,” begitu mulutku berkata.
Lalu, aku seperti ditarik ke luar dari kamar mandi menuju meja makan dan menyantap perkedel
yang tersaji di balik tudung saji. Aku masih tak bisa tersenyum. Apalagi melihat Kakakku
memakan bagiannya yang disimpan aman oleh Ibu. Aku memandangnya sinis. Tapi, aku
mengingat kata-kata tadi, lalu aku melanjutkan makan malam dengan apa adanya. Selepas aku
menghabiskan makananku, Ibu menawarkanku.
“Mau ku buatkan sesuatu?”
“Tidak. Sudah terlambat. Lihat. Nasi sudah sampai di perut. Tak ada gunanya. Sudah cukup,”
begitu jawabku sambil menenteng piring ke tempat cucian, lalu aku bergegas masuk kamar.
Mengunci diri dan duduk tenang di depan kipas angin yang berputar-putar. Aku diam sejenak.
Lalu, aku mulai bertanya.
“Kenapa di saat aku sendiri, dan sedang menangis atau banyak masalah, mulutku selalu
terdorong mengatakan kata-kata penenang? Padahal, aku tak memikirkan sebelumnya dan aku
tak merencanakannya. Bahkan, ketika aku sendirian dan tak punya teman, aku kerap terdorong
untuk pergi ke terus rumah di bagian tingkat dan berbicara sendiri di sana? Atau kadang
menangis sepuas-puasnya di sana? Aku berbicara dengan makhluk tak kasat mata, aku seperti
orang pemilik indra keenam. Tapi, sungguh semua itu salah. Aku mungkin anak penyendiri. Dan
aku tahu siapa yang selama ini ku ajak bicara, menyapaku, menenangkanku tadi saat
ketidakadilan terjadi. Itu Tuhan. Itu bukan makhluk halus. Aku yakin itu Tuhan.” Seketika,
terukirlah seberkas senyuman di bibirku.
Aku mulai berpikir positif. Aku merasa bangga dengan kebiasaanku berbicara sendiri saat
suasana sepi. Karena, tak semua orang mau melakukan itu. Mereka menganggap itu gila. Bagiku
itu anugerah. Sebab, aku bisa berbicara langsung dengan Tuhan. Dia seperti ada dan menguasai
mulut dan hatiku. Orang lain mungkin dapat berbicara dengan Tuhan lewat doa. Berbeda
denganku, aku mampu berbicara dengannya yang selalu ada di sampingku dan di tiap langkah
hidupku.
Atas semua peristiwa yang mendukakan hatiku berangsur-angsur terlupakan, aku tak lagi
menyesali itu. Mungkin, Sahabatkulah penetralisir ini semua. Tak lagi salah, sahabat terbaik di
seluruh dunia, baik nyata maupun gaib, hanya Tuhan saja. Tak selamanya manusia ada, tak
selamanya sahabat setia, tapi selamanya Tuhan ada dan setia di hidupku dan kamu.
By : Pras Tyan (Pend. BI'13)
No comments:
Post a Comment