Translate

Sunday 27 March 2016

Petuah Hati yang Sendiri

“Tidak Vi, cukuplah. Aku mohon kamu jangan tanya-tanya tentang dia lagi.”
“Memangnya kenapa, Re? Bukankah dia sudah jujur tentang perasaannya? “
“Benar apa yang telah kau katakan, dan sedikitpun tak pernah tak ku hargai kejujurannya.”
“Terus apa masalahnya, Re?”
“Vi, kenapa kamu belum paham juga. Kalau dia benar-benar serius dia tak akan bilang seperti itu. Jika dia benar-benar memiliki rasa yang begitu suci maka tak akan mungkin dia mengajakku berjalan menuju kemaksiatan yang semakin mendekatkanku pada neraka.”
“Iya juga ya. Kalau kamu dah ngomong tentang agama, aku angkat tangan deh Re haha.”
“Kamu apaan sih kok gitu. Kan kamu juga tahu syari’at jeng.”
“Terus kamu mau gimana, Re?”
“Masalah jodoh sudah ada yang ngatur Vi. Memang mata ini terkadang iri terhadap hati. Yang tidak bisa melihat sosok yang begitu dekat dengan kita melalui hati kita. Yaitu dia yang tertulis di Lauh Mahfudz.”
“Aduh, so sweet nya, haha.”
“Iya dong,  Allah kan Maha Romantis.”
“Iya deh, yuk makan!”
Begitulah rasa kepo Vira jika kambuh. Apalagi setelah mendengar bahwa ada laki-laki yang telah menyatakan perasaannya kepadaku. Dia selalu saja meledekku. Sudah aku katakan bahwa aku tidak memiliki kata pacaran dalam kamus kehidupanku. Sudah menjadi prinsipku seperti itu adanya. Dan aku juga tidak mau memberikan bekas kepada pangeran yang akan Allah SWT berikan kelak. Sebagai perempuan kan harus menjaga kehormatan juga. Jangan pernah untuk menjadi bunga yang mudah untuk dilihat, dipegang, atau dipetik untuk dimiliki. Jadilah mutiara di dalam kerang yang letaknya di dasar laut. Sehingga untuk memilikinya membutuhkan usaha yang besar. Karena perempuan itu sangat mahal dan berharga seperti halnya mutiara yang indah. Sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan sholekah. Itulah yang serin aku dengar dan aku baca dari medsos. Dan aku begitu senang membacanya.
Vira mulai sibuk dengan kegiatan organisasi yang diikutinya. Memang aku satu organisasi juga dengannya, tapi aku tidak masuk dalam kepanitiaan acara itu. Aku mulai khawatir dengan kesehatan Vira karena dia sering pulang malan dan makannya tidak teratur.
“Vir, kamu tidak apa apa dengan kegiatan kamu yang sedang numpuk ini?”
“Iya Re, aku enggak apa apa kok, tenang aja.”
“Aku Cuma mau ingetin ke kamu kalau makan harus teratur, jangan sampai sakit. Kan kalu sakit nanti kamu sendiri yang rugi karena tidak bisa ikut andil dalam kegiatan.”
“Siap komandan, perintah komandan akan saya kerjakan.”
“E eh, ini serius, jangan bercanda!”
“Iya Rere, aku tahu kok.”
Alhamdulillah, aku bersyukur, acara yang dipanitiai oleh Vira berjalan dengan lancar dan Vira juga sehat. Tapi kini aku mulai cemas dengan keadaan Vira yang sekarang. Karena tanpa adanya kegiatan atau acara organisasi, dia sering pulang malam juga.
“ Ya Allah, apakah pikiranku sudah kelewat tidak wajar? Namun jika tidak seperti itu, kenapa dia berubah? Apa yang sedang terjadi?”
Pikiranku mulai kemana-mana karena memikirkan Vira. Beberapa kali aku lihat dia berjalan dengan seorang laki-laki. Aku mencoba berpikir positif, akan pemandangan yang aku lihat. Namun ternyata itu terlalu memaksaku, karena yang aku lihat adalah Vira berpegangan tangan dengan laki-laki itu. Aku sebagai seorang teman dekatnya begitu malu kepada diriku sendiri jika aku tidak bisa membantu temanku untuk keluar dari hal yang berbau maksiat. Apalagi sebelumnya Vira tidak pernah seperti itu, dia selalu menjaga jaraknya dengan laki-laki. Tapi apa yang yang terjadi sekarang?
“Vir, kamu darimana saja? Kok pulangnya malam banget?”
“O.. ini ta..aa..dii ak..kuu habis ngerjain tugas dengan temanku, Re. Aduh, tugasku lagi numpuk banget nih.”
“Terus udah makan belum tadi?”
“Udah Re, tenang aja. Kamu itu beneran seperti ibuku ya, hahaha.”
“Bukan begitu Vir, aku kan temanmu, sudah menjadi kewajibanku mengingatkan sesuatu yang baik untuk kamu atau mengingatkan apabila yang kamu lakukan itu salah.”
“Memangnya aku melakukan apa, Re?”
“Vir, aku mohon kamu jujur sama aku dan jangan pernah ada yang kamu sembunyikan dari aku, Vir!”
“Re, aku takut kalau aku cerita, kamu akan marah sama aku dan enggak mau berteman lagi sama aku.”
“Astaghfirullah, sama sekali enggak akan terjadi hal seperti itu, Vir. Aku berjanji kepadamu.”
“Sebenarnya, aku juga memiliki rasa pada Mas Rozi yang dulu pernah menyatakan perasaannya pada kamu, Re. Dan entah kenapa setelah dia menyatakan perasaannya padamu, yang kemudian kamu menolaknya dengan caramu yang halus dan penuh perhitungan itu, dia menyatakan perasaan yang sama juga padaku. Awalnya aku kira dia main-main saja, karena aku tahu dia menyukaimu. Mungkin dia butuh seseorang untuk berada di dekatnya atau lebih tepatnya sebagai pelampiasan. Namun aku benar-benar tidak bisa menolak untuk tidak menerimanya. Jujur aku sangat mengaguminya, Re. Jujur, aku tak apa jika kamu menerimanya waktu itu. Aku bahagia jika kamu bahagia.”
“Tapi Vir kenapa aku sampai bisa melihatmu berpengan tangan? Sungguh itu membuat diriku sedih dan malu terhadap diriku sendiri karena tidak bisa mengingatkan kamu.”
“Re, maafkan aku, aku benar-benar tergoda, dengan bisikan setan waktu itu. Dan ternyata Mas Rozi juga tidak memiliki pegangan yang kuat sehingga dia bisa dengan santai memegang tanganku. Aku ingin untuk menolaknya, namun aku merasa tidak enak dan takut dia kecewa, lalu meninggalkanku. Karena waktu itu aku masih benar-benar senang dia bisa menjadi yang istimewa untukku dalam kehidupan nyata ini. Dan sekarang aku kecewa pada diriku sediri. Kerena tangan ini seharusnya dipegang oleh imamku kelak. Aku sudah memberikan tangan bekas pada imamku, Re.”
Vira mulai menangis akan keadaannya yang sekarang. Aku sangat bersyukur karena Vira masih bisa merasa bersalah dan malu atas kesalahannya. Aku senang bukan berarti cemburu, aku benar-benar senang karena aku belum kehilangan sosok teman yang shalekah itu. Dia memang sudah melakukan kesalahan itu, tapi bukankah manusia tempatnya lupa dan salah?
“Vir, aku tidak marah sama sekali kepadamu. Aku hanya tidak ingin kamu terjerumus dalam jurang kemaksiatan. Aku menolaknya juga karena aku tak ingin diriku atau dirinya jatuh dalam jurang itu. Dia tidak mungkin membawa diriku atau dirimu terjun ke jurang kemaksiatan itu kalau dia benar-benar memiliki rasa yang suci itu. Aku rasa seseorang yang meminta untuk menjalin hubungan yang seperti itu hanya menuruti nafsunya saja. Masih ingat kan, Vir bahwa apabila kita benar-benar mencintai seseorang, maka cintailah karena Allah yaitu dalam diam dan sampaikan rindu itu lewat do’a. Itu lebih so sweet Vir, yakinlah! Walaupun kelak jodoh kita bukan nama yang kita sebut dalam do’a kita, mungkin jodoh kita adalah dia yang sering menyebut nama kita di setiap lantunan do’anya kepada Allah SWT.”
“Iya Re, makasih banyak ya. Aku sangat beruntung memiliki sahabat sepertimu. Aku sudah membulatkan tekatku untuk berhenti dengan hubungan ini. Semoga dia bisa mengerti dan aku akan berbicara baik-baik serta akan memberinya beberapa nasihat untuk membuatnya lebih baik. Karena dia juga teman seiman kita kan Re?”
“Iya Vir, semangat, jangan galau lho. Kita harus terus berusaha memperbaiki memantaskan diri, dengan begitu, In Sha Allah dia yang telah ditentukan oleh Allah untuk kita juga sedang memperbaiki diri untuk diri kita kelak.”
“Umt... benar-benar bikin greget Re, kata-katamu.”
“Haha... mau tambah greget lagi, Vir?”
“Boleh-boleh, apa itu?”
“Gini Vir, sebenarnya prinsip jodoh itu sederhana lho, dan semua diawali dengan diri kita. Jika ingin mendapatkan yang baik, maka buatlah diri kita baik pula. Jika ingin mendapatkan yang shalih, maka buatlah diri kita shalikah pula. Dan jika ingin mendapatkan imam yang baik, jadilah makmum yang baik pula. Jangan terlalu sibuk menuntut, namun jadilah yang dituntut teman.”
“Intinya jodoh itu cerminan diri kita ya, Re?”
“Yap.. pas banget.”
“Sip, ustadzah!”
“E eh.. jangan panggil ustadzah dong.”
“Itu kan do’a jeng. Enggak apa apa kali.”
“Tapi mali dan kurang enak gitu. Panggil Rere cantik aja haha.”
“Idih maunya.”

Setelah percakakapan panjang kali lebar kali tinggi malam itu, Vira mulai kembali seperti Vira yang dulu. Alhamdulillah Ya Allah, memang Engkaulah yang Maha Kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia. Semoga aku juga bisa menjaga diriku sendiri dan selalu ingat akan perintah-perintahnya. Karena terkadang penyakit lupa kian menjalar ke dalam diri ini. 


by :Hanifah Mumtahanah/Pend. Biologi/ Divisi Litbang

No comments:

Ads Inside Post