Translate

Sunday 27 March 2016

MADAM LING


Minuman itu tinggal beberapa tegukan lagi, seperti biasa seorang perempuan lanjut usia dengan syal merah dan tas kulit yang kental pada dirinya, masih teduduk di tempat istimewanya. Wanita berusia lebih dari 60 tahun itu selalu datang,sembari menulis di buku agenda yang mulai usang.  Ia bak ikon primier dalam kafe kami, bukan hanya seorang pelanggan nomor satu lagi bahkan dia menjadi bagian sejarah kafe ini. Dulunya tempat ini hanya toko sembako yang didirikan oleh keluarga pecinan yang harus tergusur bersama runtuhnya orde baru. Kami hanya tahu namanya linda fatmawati tetapi  Kami lebih sering memanggilnya madam ling, mungkin karena pakaiannya yang nyentrik. Lepas dari lima tahun peristiwa pahit itu, tempat ini di ubah menjadi kafe dan tempat nongkrong anak-anak muda oleh pengusaha pribumi. Sejak saat itulah madam ling sering datang ke kafe ini sembari memesan kopi arabika atau ekspreso susu, wanita karir. Madam ling dulunya adalah seorang wanita karir, yang bekerja sebagai pegawai akuntan di suatu prusahaan besar di kota ini. Tak banyak yang tahu tentang latar belakangnya, yang kami tahu ia masih menunggu-nunggu kekasihnya yang tak kunjung pulang.
Banyak kabar burung beredar kalau kapal yang di naiki kekasihnya karam di terjang badai saat dia akan pulang. ada juga yang mengatakan bahwa kekasihnya di asingkan oleh kolonial dan di bunuh kemudian mayatnya di buang di laut lepas. Banyak cerita-cerita yang simpang siur dengan keberadaanya, akan tetapi  wanita tua itu tetap tak bergeming, keyakinannya akan kekasih yang di cintainya akan pulang. Para pegawai kafe sangat menghormati madam ling, bahkan sang pemilik kafe menyediakan kursi spesial itu khusus untuk madam ling. Hari itu kafe hampir tutup dan seperti biasa kami memberi tahu madam ling dengan sopannya. “permisi madam, kafe ini akan segera tutup” dengan sopan seorang pegawai memberi tahunya, ia tersenyum “oh, sudah mau tutup?, mungkin secangkir kopi susu lagi untukku?”. Pegwai itu menjelaskan dengan sopannya, takut akan menyinggung wanita terhormat itu. Kembali lagi dengan wajah sedih madam ling memaksakan senyumnya “baiklah anak muda, mungkin bukan hari ini” katanya sambil berdiri dari tempat duduknya. Ia pergi dengan mobil bmw klasik tahun 50-an yang membuatnya nampak lebih nyentrik saat mengendarainya. Ia melesat meninggalkan cerita sore lagi bagi kami.
Pagi itu lebih dingin dari pagi-pagi sebelumnya di musim kemarau ini. Kafe dibuka lebih siang dari biasanya, kafe ini nampak lebih sepi. Sudah lebih dari seminggu ikon kafe ini tak hadir di tempat ini. Seperti telah terjalin suatu benang merah diantara kami, para pegawai dengan madam ling. Sebelum kafe di tutup para pegawai membuat forum kecil, membicarakan tentang madam ling yang tak muncul beberapa hari di kafe tersebut. Bams angkat bicara, ia tahu tempat tinggal madam ling, ia memberikan pendapat agar beberapa orang bersamanya datang di kediaman madam ling. Sari menyetujuinya, ia berfirasat bahwa madam ling sakit, dan itu mungkin dirasakan oleh yang lainnya juga. Keputusan diambil beberapa perwakilan pegawai malam itu pergi ke kediaman madam ling di sudut kota. Banyak buah dan makan, kue kue kecil serta beberapa bungkus kopi sedu hangat dalam kantong-kantong plastik di bawa rombongn kecil itu ketempat madam ling.
Pintu terketuk beberpa kali, dari jauh terdengar langkah langkah kecil dengan tongkat kayu yang di hentakkan ke lantai beberapa kali (karena terlalu sepi malam itu suara kecil pun terdengar) muncul seorang lelaki seumuran madam ling di hadapan para pegawai, dengan wajah yang penuh luka bakar, wajah yang penuh dengan sayatan dan mata yang masih tajam tanpa meningalkan kulit yang masih utuh mulus. Kerumunan rombongan itu  tersentak, hingga muncul orang yang ingin mereka temui di balik badan seorang lelaki tua tersebut.


by : Tri Afif  Jantan/Divisi Litbang/PBI'14

No comments:

Ads Inside Post