Translate

Friday 14 September 2018

PUISI


KASTA
Anggun Septiana / PGSD ‘16

Langit mendung
Hujan tak terbendung
Mentari terselubung
Awan kian membumbung
Deru angin menusuk hingga kedasar rasa
Rasa yang tak berjodoh dengan semesta
Lantas kasta masih saja berkuasa
Meninggi diantara barisan kata tentang derajat yang beda
Lantas kasta masih saja berkuasa
Bahkan adab seolah tak ada tuk dirasa
Lantas kasta masih saja berkuasa
Menjamah asa bahkan raga yang kian nelangsa
Lantas hanya kasta
Tolak ukur manusia akan sebuah rasa
Pada asa yang tertimbun oleh rasa rendah karena kasta
Derajat sebagai pembeda tentang rasa semu hingga asa semata

RESENSI BUKU


Bukan Genius Tapi Pekerja Keras Yang Setia


            Pemuda Indonesia inilah yang akan menjadi salah seorang yang mengubah dirgantara dunia dengan perhitungannya mampu menurunkan angka kecelakaan pesawat. Datang dari bentukan visi besar orangtuanya, pengorbanan keluarga, dukungan para sahabat, dan inspirasi terbesarnya : Indonesia.
            Bermula dari penerbangan pertama di tahun 1955, Rudy berangkat ke Jerman. Tubuh kecil pendek dengan wajah polos terlihat kontras diantara penumpang lain yang banyak dari bangsa Eropa. Kekagumannya dengan pesawat tak mereda hingga dia di angkasa. Kenyataan bahwa ia anak Indonesia yang baru kali pertama naik pesawat tak bisa disembunyikan lagi. Ketika Rudy melihat percikan-percikan api di baling-baling pesawat, dengan spontan dia teriak “api…api…” dalam bahasa Belanda. Seketika pramugari mendekati dia dan menjelaskan bahwa memang seperti itu keadaan pesawatnya. Para penumpang lain menertawakan kepolosan bocah Indonesia ini. Tidak ada yang menduga, bocah Indonesia yang mereka tertawakan ini, kelak menjadi salah seorang yang mengubah dirgantara dunia dengan perhitungannya.


            Perjuangan Rudy yang ditulis begitu menginspirasi. Dari Rudy kecil yang suka bertanya aneh kepada papinya, petualangannya dengan papi, kepolosan, keingintahuan, rasa penasaran bocah kecil yang meniup kondom dikira balon udara. Rasa kehilangan anggota keluarga, Ali, adiknya dan papi, menjadikan hati Rudy lebih tegar. Sumpah mami didepan mayat papi yang sekolah anak-anaknya tak pernah putus. Ketika Rudy sekolah di HBS dan harus terpaksa pindah je Jakarta karena sekolahnya akan ditutup. Saat itulah kali pertama Rudy merantau seorang diri di Jawa.
            Perjalanan dari kecil hingga kisah-kisah yang belum diketahui sebelumnya. Kisah asmara di Jerman hingga kisah bertemunya Rudy dengan istri tercintanya, Hasri Ainun Habibie, bisa tersusun apik dibuku ini. Pembaca bisa menjiwai. Apa yang dibaca bisa terbayangkan.
            Haru pilu ketika papi meninggal. Seperti biasa rutinitas dikeluarga, sholat berjamaah. Ketika sujud papi tidak kunjung bangun. Saat itu Rudy paham, tidak seperti ketika Ali meninggal. Tawa bahak pembaca bisa dikisah penerbangan pertama Rudy, dan tingkah laku Rudy dan Fanny. Rudy sebagai otak dan Fanny ototnya. Konsep yang sudah mereka anut sejak kecil tanpa perjanjian.
            Antara tangis dan tawa seiring berganti ikut hanyut oleh cerita. Kesederhanaan bahasa yang disajikan membuat pembaca rileks untuk memahami isi cerita. Tidak merasa bosan ketika membaca dan ingin mengulang ketika di halaman terakhir. Benar-benar seperti merasakan tetapi tidak dengan kerumitan bahasa. Selain itu, di dalam buku ini juga dilengkapi dengan foto-foto Rudy, keluarga, sahabat dan ketika Rudy menikah dengan Ainun.
            Dari buku ini, menurut saya sedikit kekurangannya. Seperti catatan yang dibagian belakang. Pembaca harus bolak-balik dari halaman baca ke halaman catatan. Jadi focus pembaca terpecah dari depan ke belakang. Sudah cukup sempurna bagi saya untuk buku ini. Benar-benar meginspirasi.
            Rudy, kisah masa muda sang visioner rekomended untuk dibaca para pejuang cita-cita. Karena buku ini didedikasikan untuk para pejuang yang tekun berusaha demi bangsa yang lebih baik dan yang terus percaya bahwa bangsa ini selalu punya harapan. Bukan kata “mimpi” karena itu bisa berubah menjadi “mimpi buruk”. Tetapi “cita-cita”, kata yang lebih menjejak dan nyata. Karena hidup ini nyata, bukan ilusi. Selamat membaca, Sang Visioner.

Ariqoh Rizki / PG PAUD ‘17

RESENSI FILM


“Be With You”


Judul: Be With You / Jigeum Mannareo Gabmida
Sutradara: Lee Jang-Hoon
Produser: Yang Soo-Jung, Kim Jae Joong
Penulis naskah: Takuji Ichikawa (novel)
Tanggal Rilis: 14 Maret, 2018
Durasi: 131 menit
Bahasa: Korea
Negara: Korea Selatan
Film Be With You adalah hasil adaptasi dari novel Jepang yang berjudul “Ima Ai ni Yukimasu” karangan Takuji Ichikawa yang terbit pada 27 Februari, 2003. Bercerita tentang Woo-Jin (So Ji Sub) yang mengasuh putranya Ji-Ho (Kim Ji-Hwan) seorang diri setelah istrinya Soo-A (Son Ye Jin) meninggal dunia. Sebelum meninggal istrinya berpesan bahwa akan kembali saat musim hujan.
Mirip dengan dongeng Penguin di Negeri Awan yang selalu Soo-A bacakan pada Ji-Ho. Dan tepat setahun, saat hari pertama musim hujan Soo-A kembali muncul namun, ia tidak mengingat apapun tentang Ji-Ho dan Woo-Jin. Seiring berjalannya hari, Soo-A mulai menyadari bahwa ia seorang ibu dan istri. Mereka kembali bersenang-senang layaknya keluarga yang utuh. Tetapi, Soo-A akan kehabisan waktunya di dunia. Ia pun mengajari Ji-Ho tentang cara mencuci baju sendiri, membersihkan rumah, memasak, dan membersihkan diri. Agar Ji-Ho tumbuh menjadi laki-laki yang bisa menjaga diri dan ayahnya jika Soo-A tidak ada. Setiap hari ulang tahun, Hong Go (Ko Chang Seok) selalu memberi Ji-Ho kue ulang tahun dan ucapan seperti apa yang diamanahkan Soo-A. Di usia 20 tahun Ji-Ho dewasa (Park Seo Joon) mendapat kencan pertamanya dengan seorang gadis tepat pada hari ulang tahunnya.
Dari film ini menceritakan bagaimana rindunya seorang anak yang ditinggalkan ibunya sementara ia masih dalam usia yang sangat membutuhkan peran seorang ibu. Dan juga seorang laki-laki yang tidak ingin menikah lagi karena begitu dalam rasa cintanya pada sang istri. Berbakti pada seorang ibu lah yang sangat diinginkan oleh Ji-Ho, namun untuk mewujudkan impiannya ia selalu menjaga ayahnya yang menderita ketidakstabilan otak untuk mengontrol hormonnya. Genre romance-family sangat kental di film ini. Dan juga perjuangan Woo-Jin untuk melawan penyakitnya selain melalui terapi dan obat. Dorongan untuk membahagiakan seseorang yang ia cintai bisa membuatnya sembuh dari penyakitnya.
Film ini meraih rating yang cukup bagus saat ditayangkan. Kehadiran Park Seo Joon dan Kong Hyo-Jin sebagai cameo bisa mendongkrak kepopuleran film ini. Tidak hanya menonjolkan adegan romantis, tapi juga tentang keberanian seseorang untuk menghadapi ketakutan akan suatu hal yang bisa saja membahayakan nyawanya. Dari film ini, kita bisa belajar bahwa melawan penyakit tidak harus dengan obat atau terapi yang mungkin bisa memperparah keadaan. Tapi dengan semangat yang besar bisa membuat kita berani melawan penyakit tersebut.

Hanik Noviyanti / P. Bahasa Inggris ‘16

Ads Inside Post