Translate

Wednesday 22 March 2017

RESENSI BUKU

PAHLAWAN DALAM KEKERINGAN
IDENTITAS BUKU 1
Judul Buku      : Kemarau
Pengarang       : A.A. Navis (17 November 1924)
Penerbit           : Pustaka Jaya
Tahun              : 1957; Cetakan II, 1977

SINOPSIS
            Musim kemarau panjang membuat penduduk desa mengeluh dan berputus asa. Sawah-sawah menjadi kering dan panasanya matahari terus memanggang desa itu. Namun, keputusasaan penduduk tidak disertai dengan usaha. Mereka lebih senang bermain kartu di lepau-lepau daripada berusaha untuk membuat sawah mereka tetap hidup. Lain halnya Sutan Duano, dua kali sehari ia mengairi sawahnya agar tetap hidup meskipun Ia harus bersusah payah bolak-balik dari danau ke sawah demi mendapatkan air.
            Sutan Duano adalah seorang pendatang baru di desa itu. Ia tinggal di sebuah surau atas izin Wali Negeri. Pada mulanya, ia adalah seorang yang tertutup. Ia hidup menyisih. Suatu ketika datang Haji Tumbijo, salah seorang pemimpin revolusi akibat perang membuat beliau mengungsi ke desa itu dan tinggal bersama Sutan Duano. Kedatangan Haji Tumbijo, yang masih bersaudara dengan Sutan Duano, mampu mengubah Sutan Duano dan menjadikannya panutan penduduk desa.
            Sebagai panutan penduduk desa, Sutan Duano menggunakan pengaruhnya untuk mengubah cara hidup serta pola pikir penduduk yang beku. Sutan Duano melakukan berbagai usaha agar penduduk mengikuti apa yang selama ini telah ia lakukan untuk mempertahankan tanaman padi agar tidak mati. Dihubunginya orang-orang penting di desa itu. Diceramahinya ibu-ibu dalam pengajian yang diadakan di suraunya. Namun, semua warga menganggap apa yang dilakukan Sutan Duano adalah hal yang sia-sia. Sehingga  Sutan Duano melakukan apa yang diyakininya itu sendirian.
            Namun kesendirian Sutan Duano dalam mengairi sawahnya tidak berlangsung lama karena ia ditemani seorang bocah kecil, Acin namanya. Mereka saling bekerjasama dan saling bergantian untuk mengairi sawah, namun hal tersebut justru menimbulkan gunjingan yang tidak sedap. Penduduk beranggapan hal tersebut digunakan Sutan Duano untuk mengambil hati Gundam, Ibu Acin, seorang janda yang sudah lama ditinggal mati suaminya. Gunjingan tersebut semakin berkembang semenjak seorang janda lain yang menyukai Sutan Duano menaggapi.
            Persoalan semakin melebar ketika Sutan Duano menerima telegram dari Masri, telegram tersebut berisi bahwa anaknya merindukan serta menginginkan ayahnya datang ke Surabaya. Dilema datang menghampiri Sutan Duano, disatu sisi ia ingin bertemu dengan anaknya yang sudah ia sia-siakan selama dua puluh tahun. Namun, disisi lain ia tak ingin meninggalkan Acin sendirian karena ia merasa tugasnya belum selesai. Seperti halnya penduduk desa, mereka merasa takut jika Sutan Duano meninggalkan mereka. Penduduk desa tersebut sudah menyadari bahwa apa yang diusahakan oleh Sutan Duano memang ada benarnya, baik tentang ajaran agama yang selama ini mereka salah tafsirkan serta upaya Sutan Duano untuk mempertahankan tanaman padi agar tidak mati. Ketika melihat keadaan di desanya yang kurang enak hingga akhirnya Sutan Duano menetapkan hatinya untuk pergi ke Surabaya. Ia beranggapan dengan cara pergi ke Surabaya akan mengobati rasa rindunya terhadap sang anak serta menghindari gunjingan yang beredar tentang dirinya, kenyataan yang ada justru membuat Sutan Duano seperti menelan pil yang sangat pahit. Sutan Duano sangat marah ketika mengetahui Mertua Masri ternyata bekas istrinya, serta tindakan bekas istrinya yang menikahkan sesama saudara.
            Sutan Duano bersikeras untuk memberitahukan perihal adanya ikatan darah dalam perkawinan Masri dan Arni, sesuatu yang selalu ditutupi Iyah, bekas istrinya. Namun, Iyah menentang serta mencoba membunuh bekas suaminya dengan cara memukul kepalanya hingga terkapar. Iyah akan terus memukul kepala Sutan Duano jika Arni tidak merebut kayu dari tangannya. Hingga akhirnya Iyah meninggal setelah membuka rahasia pernikahan Masri dan Arni. Masri dan Arni kemudian bercerai dan menikah kembali dengan pilihan masing-masing. Sutan Duano pun kembali ke desa yang ia tempati selama ini serta melangsungkan pernikahan dengan Gundam. Ia juga tetap memperjuangkan usahanya selama ini serta menegakkan keyakinan untuk mengubah pola pikir masyarakat yang beku, tidak peduli dengan lingkungan.“Hidup berjuang dengan keikhlasan adalah jalan untuk menemui Tuhan Yang Maha Esa.” (Hlm. 117).
ULASAN:
            Kemarau adalah novel pertama karya A.A.Navis setelah cerpennya yang terkenal Robohnya Surau Kami (1956) serta mendapat banyak sorotan, tanggapan dari para kritikus sastra. Kemarau menceritakan kegigihan seorang tokoh yang bernama Sutan Duano. Sebenarnya tersirat sebuah kritikkan untuk para petani yang tak mau berpikir ketika masalah datang melanda sawah-sawah mereka. Para petani hanya mengeluh serta menanti datangnya hujan atau melakukan kegiatan yang tidak ada manfaatnya sperti berjudi tanpa adanya usaha untuk mengairi sawah-sawah mereka agar tetap hidup. Akibatnya mereka dililit hutang, kemiskinan serta kesengsaraan. Selain itu, pengetahuan tentang keagamaan mereka juga sempit, sering pula seringkali perbuatan mereka  bertentangan dengan ajaran agama. Serta sikap pasrah akan nasib meskipun mereka belum melakukan usaha apapun, seperti itulah keadaan yang sedang dihadapi oleh tokoh Sutan Duano.
            Di akhir cerita, dikisahkan bahwa Masri, anak Sutan Duano, beristrikan anak Sutan Duano sendiri, yang waktu itu bercerai dengan istrinya, Arni-istri Masri sekarang-masih dalam kandungan ibunyaa. Jadi, telah terjadi perkawinan inses yang sebenarnya diketahui oleh Iyah, bekas istri Sutan Duano, ibu kandung Masri dan Arni. Apa yang telah terjadi pada diri kakak-beradik itu sebenarnya akibat kesalahan kedua orang tuanya juga. Bahwa perceraian tidak hanya membuat anak-anaknya terlantar, tetapi juga dapat mendatangkan perkawinan inses, perkawinan sesama saudara. Dalam hal itulah, Kemarau boleh dikatakan menampilkan tema baru dalam novel Indonesia modern.

            Sejauh ini, studi terhadap karya-karya A.A. Navis lebih banyak membahas tentang cerpen-cerpennya. Sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, dan Malaysia daripada novel-novelnya, seperti Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (1970) memperoleh hadiah dalam sayembara mengarang UNESCO/IKAPI, 1968. Penelitian yang cukup mendalam terhadap karya-karya A.A. Navis, baik cerpen maupun novel, pernah dilakukan B.L. Robbina dan ANU, Australia, dalam tesis berjudul Religion and Human Issues in the Works of A.A. Navis, a west Sumatran Author.


Yuliana Rahayu/PBI'14

No comments:

Ads Inside Post