Bukan
Dia Tapi Kita
Nivia Putri/PBI'14
Rumah
luas dengan halaman dipenuhi tanaman beraneka warna. Rapi dan terawat. Tidak
sedikitpun terlihat dedaunan berserakan disana. Dua buah kursi taman terletak
dipojok halaman dengan meja dihiasi mawar merah. Sesekali terdengar rayuan
hangat burung – burung siempunya. Berlomba–lomba memamerkan suara merdu mereka.
Semburat hangat cahaya mentari pagi menerpa cendela–cendela bening. Menerobos
dengan lantangnya menuju tanpa batas. Pukul 05.30.
Tok tok tok ...
“Ayla, bangun!”
“Ayla, bangun ay!”
Tok tok tok ....
Terdengar bising suara
pintu bersautan dengan bunda.
“Ay, buka pintunya apa
bunda masak kelinci – kelinci kamu?”
Tok tok tok tok .......
Dengan mata yang masih kriyip – kriyip , Ayla segera membukakan
pintu kamar sebelum kelinci – kelinci kesayangannya lenyap dimasak bunda.
“huh ... huh.. huh..” (terdengar nafas Ayla
yang tidak teratur)
“Iya bunda, ini Ayla
bangun.”
Dengan
entengnya bunda masuk kamar Ayla, dan seperti sudah menjadi rutinitas setiap
hari Bunda selalu ngomel – ngomel melihat keadaan sekeliling kamar putrinya
itu. Berantakan, buku berceceran dimana – mana, laptop entah masih bernyawa
atau tidak dengan enaknya diletakkan di bawah kursi. Boneka – boneka mungkin
memang menjadi ratu di kasur Ayla, berserakan entah tak terurus.
“Ay, bisa kali ay
setiap Bunda masuk kamar. Kamar kamu itu rapi.”
“Bunda, ini udah rapi.
Mereka nya aja yang nakal ngga mau kalau Ay beresin.”
“Mereka siapa sih Ay?”
“Iya itu, benda – benda
penghuni kamar Ay.”
“Alasan, udah buruan
mandi. Kamu kuliah jam 07.00 kan?”
Dengan
langkah gontai, Ay menyambar handuk dan segera menuju ke kamar mandi sebelum
Bunda ngomel – ngomel tanpa batas. Bunda dengan cakap nya merapikan piring –
piring di meja makan. Menyiapkan nasi goreng kesukaan Ayla. Ayla, adalah anak
kesayangan Bunda. Dia menjadi putri satu – satunya yang selalu dimanja oleh
Bunda dan Ayahnya. 06.50 pagi. Dengan nafas terengah – engah Ayla berlari
dengan membawa tumpukan tugas – tugas kuliah yang berada di tangannya.
Disambarnya kursi makan dengan sigapnya.
“Ay, bisa kan pelan –
pelan.”
“Iya bunda maaf, Ay
buru – buru ini bun. Takut nggak dapet angkutan.”
Bunda meletakkan piring
dengan nasi goreng diatasnya, segelas susu hangat tak tertinggal.
“Ayah, pulang kapan
bun? Masih lama ya?”
“Dua minggu lagi Ayah
juga pulang, udah itu sarapannya dimakan. Hp terus sih Ay.”
“Iya – iya bunda.”
Dengan
langkah yang tergesa – gesa Ay berjalan meninggalkan rumah kesayangannya. Burung
– burung saling bersautan melihat Ay keluar dari gerbang rumahnya. Pagi ini
adalah hari super sibuk menurut Ayla. Seperti biasa kuliah dari pukul 07.00
sampai pukul 14.20 harus ia jalani hari ini. Suatu rutinitas yang cukup
membosankan disaat jam mepet seperti ini, angkutan sulit dijumpai. Mungkin
sudah menjadi rahasia umum kalau kuliah pagi Ay pasti telat.
Setengah
jam berlalu dengan sia – sia. Angkutan yang dinanti – nati Ay tak kunjung
datang. Setengah jam waktu ia habiskan di depan kaca untuk merias diri,
nampaknya kini hanya sia – sia. Ia berdiri sambil menggerutu sendirian. Kaki
kanannya ia goyah – goyahkan pertanda bahwa ia sedang murung hatinya. Ayolah
ayolaaaah. Kalimat singkat selalu ia ucapkan dalam hati seperti jimat dikala
pagi. Sesekali ia melihat angkutan, namun dengan muatan yang berlebih.
Setelah
penantian panjang, angkutan yang ia tunggu kehadirannya nampak juga. Segera ia
berlari menuju pintu dan mengambil tempat duduk yang nyaman menurutnya. 15
menit ia habiskan didalam angkutan tersebut. Segera ia turun dan berlari menuju
kampus. Dengan membawa tumpukan buku ditangannya tak sengaja ia menabrak
seorang laki – laki yang berlari didepannya.
“Aduh.” (suara laki –
laki itu)
“Aduh, maaf ngga
sengaja. Buru – buru soalnya.” Jawab Ayla sembari merapikan buku – bukunya yang
terjatuh.
“Sini gue bantu.”
“Oke makasih.”
Segera setelah buku –
buku terkumpul di tangannya, ay berlari menuju kelas. Pukul 07.40. Koridor
gedung itu mulai sepi karena semua memasuki ruang kelas masing – masing. Tinggal
Ay seorang yang dengan langkah tergesa – gesa menuju ruang C.301.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,
langsung duduk Ay. Ibuk tau kamu telat 40 menit. Sekali lagi kamu ulangi, Ibuk
tidak mengizinkan kamu masuk kelas.”
“Iya, buk maaf.”
Akhirnya
perkuliahan hari ini usai juga. Ayla
terlihat berjalan bersam teman – temannya menuju kantin belakang kampus. Sambil
menikmati perjalanan sesekali terdengar ocehan Ayla menggoda teman – teman
ceweknya untuk bergurau. Ayla memang terkenal sebagai gadis yang periang, dia
selalu saja memounyai cara untuk membuat teman – temannya tertawa.
Sesampainya
di kantin, Ayla nampak berjalan paling depan. Dia selalu menjadi juru pencari
tempat strategis untuk menikmati makanan di kantin sambil sesekali bergosip
layaknya anak perempuan pada umumnya. Setelah dirasa mendapatkan tempat yang
paling strategis mereka segera menyusul langkah Ayla. Tak lupa salah satu dari
mereka membawa daftar makanan. Sambil menunggu pesanan mereka tiba, Ayla dengan
semangat yang menggebu – gebu menceritakan kejadiannya tadi pagi dari awal
berangkat sampai tiba disaat ia menabrak seseorang entah itu siapa.
“Eh, bukannya lo yang
tadi pagi nabrak gue?”
“Emm, nabrak?”
“Iya, lo yang tadi pagi
lari – lari sampai ngga sadar nabrak gue kan?”
“Oh ya ampun, maaf –
maaf baru inget. Hahaa iya, duh maaf banget lho tadi pagi.”
“Hehee iya gapapa juga
kok, lho lo anak sastra juga?”
“Em, iya gue anak
sastra. Kok lo tau?”
“Gue juga anak sastra.”
Perbincangan
mereka terus berlanjut sampai akhirnya mereka sadar bahwa mereka sedang berada
di jalan kantin tersebut. Ayla pun memutuskan untuk bergabung kembali dengan
teman – teman yang sedari tadi hanya melihat tingkah Ayla dan laki – laki itu
dari bangku makan mereka. Laki – laki itu adalah Reyhan. Teman satu angkatan
dengan Ayla, hanya saja mereka beda kelas. Wajar saja jika Ay tidak pernah
melihat Reyhan, solanya mereka sama – sama aktivis kampus dan tidak pernah
disatukan dalam satu kelas.
Pukul
17.00. Ayla berjalan menuju gerbang kampus. Memang jam pulang Ay hampir setiap
harinya selalu sore. Bahkan, apabila ada suatu kegiatan di kampus ia terpaksa
pulang malam. Entah apa yang sedang difikirkan Ayla, tak sengaja ia menabrak
seseorang yang berdiri tepat di depannya. Dan dengan santai nya laki – laki di
depannya itu diam. Ayla baru menyadari ketika tanpa sadar ia berjalan namun
tetap tidak beranjak dari tempat semula. Barulah ia menyadari bahwa di depannya
ada Reyhan yang berdiri tegap menatap Ay.
“Mau kamana lo?”
“Eh ya ampun Rey, kira
– kira dong kalau berdiri. Ketabrak aku lagi kan?”
“Ye, lo juga kali yang
jalan bisa nya sambil ngalamun.”
Entah
mulai dari kejadian tadi pagi, setiap kali Ayla bertemu dengan Reyhan pasti
mereka tidak pernah akur. Ada saja hal – hal kecil yang mereka perbuat. Hingga
akhirnya Reyhan memberanikan diri meminta nomer telephon Ayla.
“Ay, lo punya
handphone?”
“Emang kenapa sih, mau
beliin yang baru?”
“Bisa dihubungin ngga?”
“Apa sih Rey, ya bisa
lah.”
“Yaudah sini kasih
nomer lo ke gue.”
Bermula
dari kejadian itu, sekarang Reyhan dan Ayla menjadi dekat. Entah hanya sekedar
menanyakan kabar, Rey stidak pernah absen menelpon Ayla. Mungkin rasa nyaman
telah mereka rasakan satu sama lain.
Kini
Ayla mempunyai kebiasaan baru, setiap paginya ia selalu rajin bangun pagi tanpa
Bunda yang harus mengomel. Ay juga semakin hari semakin cakap dalam merias
diri. Berlenggak – lenggok di depan cermin seolah ia sedang menjadi model.
Bunda yang melihatnya dari balin pintu kamar hanya tersenyum menatap tingkah
polah putrinya.
“Ayah, lihat tuh yah.
Ayla sekarang jadi rajin bangun pagi.’
“Iya kan alhamdullilah
bunda.’
“Hahaa iya , yah. Dia
juga berjam – jam di depan cermin entah pa yamng difikirkan nya yah.”
Setelah
dirasa perfect , Ayla segera segera
bergabung bersama Ayah dan Bunda nya dimeja makan. Seperti biasa nasi goreng
dengan susu coklat tersedia di depan Ayla. Ayah yang telah rapi penampilannya
siap untuk pergi ke kantor, setelah sebulan lamanya workshop di luar kota.
“Ay, nanti berangkat
sama Ayah aja biar nggak telat.”
‘Duh maaf, yah. Lain
kali aja deh. Soalnya nanti Ay ada yang jemput.’
“Siapa Ay? Cowok?”
tanya bunda
“Adadeh, bunda kepo
ya.”
Seperti
itulah, setiap harinya Ay duduk manis di depan rumah sambil menunggu Reyhan
menjemputnya untuk berangkat kuliah. Mulai dari berangkat ke kampus, makan,
jalan sampai pulang ke rumah, Ay lakukan bersama dengan Reyhan. Satu kata yang
menggambarkan keadaaan mereka saat ini. Nyaman.
Cuaca
siang ini nampaknya kurang bersahabat, terik matahari yang begitu menyengat.
Ayla duduk seorang diri di kantin kampus sambil menikmati jus buah yang
dipesannya. Ia nampak simbuk dengan menatap layar laptop didepannya. Nampaknya
Reyhan sedang masuk kuliah sehingga tidak bisa menemani Ayla mengerjakan tugas
di kantin kampus. Karena asyiknya mengerjakan tugas, Ayla tidak menyadari ada seorang
gadis cantik yang berdiri di depannya.
“Lo yang namanya Ayla?”
Karena tidak mendengar
suara suara gadis itu, jus buah yang tinggal setengah itu disiramlah ke wajah
Ayla. Ayla nampak terkejut dengan kejadian itu.
“Eh, apa – apaan ini?”
sambil mengibas – ibaskan bajunya yang basah.
“Lo yang namanya Ayla?”
“Lo siapa? Iya gue
Ayla.”
“Oh, jadi lo cewek
centil yang ngerusak hubungan gue sama Reyhan?”
“Hah, lo siapa? Bisa –
bisa nya nuduh gue sembarangan.”
Teriknya
matahari semakin panas ditambah dengan peristiwa tersebut. Suasana kantin
menjadi gaduh, semua mahasiswa nampaknya sedang asik melihat pertengkaran
mereka. Bukan nya melerai, mereka biarkan saja hal tersebut terjadi. Ayla yang emosi
menddapat perlakuan tidak menyenangkan dari seorang gadis yang tidak ia kenali.
Chika, nama gadis tersebut. Dia adalah mantan kekasih Reyhan.
Chika,
gadis berambut ikal dengan mata yang bulat nan sayu. Tubuh tinggi dengan kulit
sawo matang. Dia adalah mantan kekasih Reyhan. Sudah 5 bulan ini ia dan Reyhan
tidak menjalin hubungan lagi. Entah karena apa mereka mengakhirinya. Namun,
selama 5 bulan ini nampaknya Chika belum bisa melupakan Rey dn tidak terima
jika Rey dekat dengan gadis lain.
Kamar
Ayla nampak berantakan. Pukul 15.00, tidak seperti biasanya Ay pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah ia segera berlari menuju kamar. Ia hempaskan tubuh
mungilnya ke keranjang tidur. Terdengar isakan tangis. Ayla masih tidak bisa
menyangka Rey lakukan ini kepadanya. Ia sudah terlanjur menaruh hati pada laki
– laki itu. Namun, Rey merusak segalanya. Ay hanya dijadikan sebagai
pelampiasan kekesalan Rey pada Chika. Dering telephon Ay berbunyi berulang
kali, namun siempunya enggan untuk mengangkatnya.
Sudah
beberapa hari ini, Ayla tidak nampak di kampus. Rey sudah berulang kali mencari
kabarnya namun tak kunjung dapat. Ia putuskan hari ini untuk datang ke rumah
Ay. Menurut beberapa teman nya, Ay nampak masih marah karena kejadian di kantin
kampus itu. Rey tidak menyangka Chika akan melakukan hal tersebut. Rey semakin
geram ke Chika. Memang sudah 5 bulan ini Rey tidak menjalin hubungan lagi
dengan Chika. Namun, pertengkaran Rey dengan Chika tidak ada sangkut pautnya
sama sekali dengan Ayla. Rey baru mengenal Ayla 3bulan terakhir ini. Dan bisa –
bisanya Chika datang merusak hubungan Rey dengan Ayla yang baru seumur jagung
itu.
“Assalamualaikum
tante.”
“Waalaikumsalam, eh nak
Reyhan ya?”
“Iya tante saya
Reyhan.”
“ayo – ayo sini masuk.
Kalian marahan ya, ada masalah apa?”
“Cuma salah paham sih
tante. Ayla nya ada tante.”
“Anak muda ya, iya
tante panggilkan sebentar ya. Kamu tunggu disini.”
“Baik tante.”
15
menit berlalu, nampaknya Ay belum mau untuk menemui Reyhan. Namun dengan bujuk
rayu Bunda, ia dengan enggan keluar kamar untuk menemui laki – laki yang sedang
membuat hatinya terluka itu. Wajahnya nampak kusam, tidak seperti Ayla yang
biasanya Rey kenal. Matanya sembab, terlihat jelas ada bekas tangis disana.
Guratan wajah yang menggambarkan kekecewaan Ay kepada Reyhan. Namun, dengan
sabarnya Rey menunggu Ayla. Rey, benar – benar merasa bersalah atas kejadian
tersebut. Itu hanya salah paham, yang disebabkan oleh Chika.
“Ay, maafin aku ya. Aku
tau kamu marah banget sama aku. Aku udah coba jelasin semuanya ke kamu Ay.”
“Ay, ini salah paham.
Aku sama Chika udah lama putus, dan itupun bukan karena kamu. Ay, please jawab
jangan diem aja.”
“Udah lah Rey, aku
capek kamu bohongin terus.’
“Ay, baru 2 bulan ini
aku kenal kamu. Tapi entah kenapa ada suatu rasa nyaman kalau aku ada di dekat
kamu.”
Nampaknya
suasana hati Ayla mulai membaik. Rey sudah menjelaskan semuanya. Kini mereka
kembali berbagi tawa sama seperti kemarin. Luka hati Ay sudah sembuh terobati.
Bukan paras yang menawan namun suatu nyaman yang dicari. Hari – hari mereka
lewati bersama, semakin hari mereka saling mengenal satu sama lain. Marah itu
menjadi hal wajar untuk melengkapi kisah klasik mereka. Pertemuan yang tidak
sengaja kini membawa mereka untuk menuliskan kisah klasik berdua. Bukan tentang
dia masa lalu, namun cerita kita yang merasa nyaman dengan semua ini.
No comments:
Post a Comment