Translate

Wednesday 22 March 2017

CERPEN


Bukan Dia Tapi Kita

Nivia Putri/PBI'14

Rumah luas dengan halaman dipenuhi tanaman beraneka warna. Rapi dan terawat. Tidak sedikitpun terlihat dedaunan berserakan disana. Dua buah kursi taman terletak dipojok halaman dengan meja dihiasi mawar merah. Sesekali terdengar rayuan hangat burung – burung siempunya. Berlomba–lomba memamerkan suara merdu mereka. Semburat hangat cahaya mentari pagi menerpa cendela–cendela bening. Menerobos dengan lantangnya menuju tanpa batas. Pukul 05.30.
Tok tok tok ...
“Ayla, bangun!”
“Ayla, bangun ay!”
Tok tok tok ....
Terdengar bising suara pintu bersautan dengan bunda.
“Ay, buka pintunya apa bunda masak kelinci – kelinci kamu?”
Tok tok tok tok .......
Dengan mata yang masih kriyip – kriyip , Ayla segera membukakan pintu kamar sebelum kelinci – kelinci kesayangannya lenyap dimasak bunda.
 “huh ... huh.. huh..” (terdengar nafas Ayla yang tidak teratur)
“Iya bunda, ini Ayla bangun.”
Dengan entengnya bunda masuk kamar Ayla, dan seperti sudah menjadi rutinitas setiap hari Bunda selalu ngomel – ngomel melihat keadaan sekeliling kamar putrinya itu. Berantakan, buku berceceran dimana – mana, laptop entah masih bernyawa atau tidak dengan enaknya diletakkan di bawah kursi. Boneka – boneka mungkin memang menjadi ratu di kasur Ayla, berserakan entah tak terurus.
“Ay, bisa kali ay setiap Bunda masuk kamar. Kamar kamu itu rapi.”
“Bunda, ini udah rapi. Mereka nya aja yang nakal ngga mau kalau Ay beresin.”
“Mereka siapa sih Ay?”
“Iya itu, benda – benda penghuni kamar Ay.”
“Alasan, udah buruan mandi. Kamu kuliah jam 07.00 kan?”
Dengan langkah gontai, Ay menyambar handuk dan segera menuju ke kamar mandi sebelum Bunda ngomel – ngomel tanpa batas. Bunda dengan cakap nya merapikan piring – piring di meja makan. Menyiapkan nasi goreng kesukaan Ayla. Ayla, adalah anak kesayangan Bunda. Dia menjadi putri satu – satunya yang selalu dimanja oleh Bunda dan Ayahnya. 06.50 pagi. Dengan nafas terengah – engah Ayla berlari dengan membawa tumpukan tugas – tugas kuliah yang berada di tangannya. Disambarnya kursi makan dengan sigapnya.
“Ay, bisa kan pelan – pelan.”
“Iya bunda maaf, Ay buru – buru ini bun. Takut nggak dapet angkutan.”
Bunda meletakkan piring dengan nasi goreng diatasnya, segelas susu hangat tak tertinggal.
“Ayah, pulang kapan bun? Masih lama ya?”
“Dua minggu lagi Ayah juga pulang, udah itu sarapannya dimakan. Hp terus sih Ay.”
“Iya – iya bunda.”
Dengan langkah yang tergesa – gesa Ay berjalan meninggalkan rumah kesayangannya. Burung – burung saling bersautan melihat Ay keluar dari gerbang rumahnya. Pagi ini adalah hari super sibuk menurut Ayla. Seperti biasa kuliah dari pukul 07.00 sampai pukul 14.20 harus ia jalani hari ini. Suatu rutinitas yang cukup membosankan disaat jam mepet seperti ini, angkutan sulit dijumpai. Mungkin sudah menjadi rahasia umum kalau kuliah pagi Ay pasti telat.
Setengah jam berlalu dengan sia – sia. Angkutan yang dinanti – nati Ay tak kunjung datang. Setengah jam waktu ia habiskan di depan kaca untuk merias diri, nampaknya kini hanya sia – sia. Ia berdiri sambil menggerutu sendirian. Kaki kanannya ia goyah – goyahkan pertanda bahwa ia sedang murung hatinya. Ayolah ayolaaaah. Kalimat singkat selalu ia ucapkan dalam hati seperti jimat dikala pagi. Sesekali ia melihat angkutan, namun dengan muatan yang berlebih.
Setelah penantian panjang, angkutan yang ia tunggu kehadirannya nampak juga. Segera ia berlari menuju pintu dan mengambil tempat duduk yang nyaman menurutnya. 15 menit ia habiskan didalam angkutan tersebut. Segera ia turun dan berlari menuju kampus. Dengan membawa tumpukan buku ditangannya tak sengaja ia menabrak seorang laki – laki yang berlari didepannya.
“Aduh.” (suara laki – laki itu)
“Aduh, maaf ngga sengaja. Buru – buru soalnya.” Jawab Ayla sembari merapikan buku – bukunya yang terjatuh.
“Sini gue bantu.”
“Oke makasih.”
Segera setelah buku – buku terkumpul di tangannya, ay berlari menuju kelas. Pukul 07.40. Koridor gedung itu mulai sepi karena semua memasuki ruang kelas masing – masing. Tinggal Ay seorang yang dengan langkah tergesa – gesa menuju ruang C.301.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, langsung duduk Ay. Ibuk tau kamu telat 40 menit. Sekali lagi kamu ulangi, Ibuk tidak mengizinkan kamu masuk kelas.”
“Iya, buk maaf.”
Akhirnya  perkuliahan hari ini usai juga. Ayla terlihat berjalan bersam teman – temannya menuju kantin belakang kampus. Sambil menikmati perjalanan sesekali terdengar ocehan Ayla menggoda teman – teman ceweknya untuk bergurau. Ayla memang terkenal sebagai gadis yang periang, dia selalu saja memounyai cara untuk membuat teman – temannya tertawa.
Sesampainya di kantin, Ayla nampak berjalan paling depan. Dia selalu menjadi juru pencari tempat strategis untuk menikmati makanan di kantin sambil sesekali bergosip layaknya anak perempuan pada umumnya. Setelah dirasa mendapatkan tempat yang paling strategis mereka segera menyusul langkah Ayla. Tak lupa salah satu dari mereka membawa daftar makanan. Sambil menunggu pesanan mereka tiba, Ayla dengan semangat yang menggebu – gebu menceritakan kejadiannya tadi pagi dari awal berangkat sampai tiba disaat ia menabrak seseorang entah itu siapa.
“Eh, bukannya lo yang tadi pagi nabrak gue?”
“Emm, nabrak?”
“Iya, lo yang tadi pagi lari – lari sampai ngga sadar nabrak gue kan?”
“Oh ya ampun, maaf – maaf baru inget. Hahaa iya, duh maaf banget lho tadi pagi.”
“Hehee iya gapapa juga kok, lho lo anak sastra juga?”
“Em, iya gue anak sastra. Kok lo tau?”
“Gue juga anak sastra.”
Perbincangan mereka terus berlanjut sampai akhirnya mereka sadar bahwa mereka sedang berada di jalan kantin tersebut. Ayla pun memutuskan untuk bergabung kembali dengan teman – teman yang sedari tadi hanya melihat tingkah Ayla dan laki – laki itu dari bangku makan mereka. Laki – laki itu adalah Reyhan. Teman satu angkatan dengan Ayla, hanya saja mereka beda kelas. Wajar saja jika Ay tidak pernah melihat Reyhan, solanya mereka sama – sama aktivis kampus dan tidak pernah disatukan dalam satu kelas.
Pukul 17.00. Ayla berjalan menuju gerbang kampus. Memang jam pulang Ay hampir setiap harinya selalu sore. Bahkan, apabila ada suatu kegiatan di kampus ia terpaksa pulang malam. Entah apa yang sedang difikirkan Ayla, tak sengaja ia menabrak seseorang yang berdiri tepat di depannya. Dan dengan santai nya laki – laki di depannya itu diam. Ayla baru menyadari ketika tanpa sadar ia berjalan namun tetap tidak beranjak dari tempat semula. Barulah ia menyadari bahwa di depannya ada Reyhan yang berdiri tegap menatap Ay.
“Mau kamana lo?”
“Eh ya ampun Rey, kira – kira dong kalau berdiri. Ketabrak aku lagi kan?”
“Ye, lo juga kali yang jalan bisa nya sambil ngalamun.”
Entah mulai dari kejadian tadi pagi, setiap kali Ayla bertemu dengan Reyhan pasti mereka tidak pernah akur. Ada saja hal – hal kecil yang mereka perbuat. Hingga akhirnya Reyhan memberanikan diri meminta nomer telephon Ayla.
“Ay, lo punya handphone?”
“Emang kenapa sih, mau beliin yang baru?”
“Bisa dihubungin ngga?”
“Apa sih Rey, ya bisa lah.”
“Yaudah sini kasih nomer lo ke gue.”
Bermula dari kejadian itu, sekarang Reyhan dan Ayla menjadi dekat. Entah hanya sekedar menanyakan kabar, Rey stidak pernah absen menelpon Ayla. Mungkin rasa nyaman telah mereka rasakan satu sama lain.
Kini Ayla mempunyai kebiasaan baru, setiap paginya ia selalu rajin bangun pagi tanpa Bunda yang harus mengomel. Ay juga semakin hari semakin cakap dalam merias diri. Berlenggak – lenggok di depan cermin seolah ia sedang menjadi model. Bunda yang melihatnya dari balin pintu kamar hanya tersenyum menatap tingkah polah putrinya.
“Ayah, lihat tuh yah. Ayla sekarang jadi rajin bangun pagi.’
“Iya kan alhamdullilah bunda.’
“Hahaa iya , yah. Dia juga berjam – jam di depan cermin entah pa yamng difikirkan nya yah.”
Setelah dirasa perfect , Ayla segera segera bergabung bersama Ayah dan Bunda nya dimeja makan. Seperti biasa nasi goreng dengan susu coklat tersedia di depan Ayla. Ayah yang telah rapi penampilannya siap untuk pergi ke kantor, setelah sebulan lamanya workshop di luar kota.
“Ay, nanti berangkat sama Ayah aja biar nggak telat.”
‘Duh maaf, yah. Lain kali aja deh. Soalnya nanti Ay ada yang jemput.’
“Siapa Ay? Cowok?” tanya bunda
“Adadeh, bunda kepo ya.”
Seperti itulah, setiap harinya Ay duduk manis di depan rumah sambil menunggu Reyhan menjemputnya untuk berangkat kuliah. Mulai dari berangkat ke kampus, makan, jalan sampai pulang ke rumah, Ay lakukan bersama dengan Reyhan. Satu kata yang menggambarkan keadaaan mereka saat ini. Nyaman.
Cuaca siang ini nampaknya kurang bersahabat, terik matahari yang begitu menyengat. Ayla duduk seorang diri di kantin kampus sambil menikmati jus buah yang dipesannya. Ia nampak simbuk dengan menatap layar laptop didepannya. Nampaknya Reyhan sedang masuk kuliah sehingga tidak bisa menemani Ayla mengerjakan tugas di kantin kampus. Karena asyiknya mengerjakan tugas, Ayla tidak menyadari ada seorang gadis cantik yang berdiri di depannya.
“Lo yang namanya Ayla?”
Karena tidak mendengar suara suara gadis itu, jus buah yang tinggal setengah itu disiramlah ke wajah Ayla. Ayla nampak terkejut dengan kejadian itu.
“Eh, apa – apaan ini?” sambil mengibas – ibaskan bajunya yang basah.
“Lo yang namanya Ayla?”
“Lo siapa? Iya gue Ayla.”
“Oh, jadi lo cewek centil yang ngerusak hubungan gue sama Reyhan?”
“Hah, lo siapa? Bisa – bisa nya nuduh gue sembarangan.”
Teriknya matahari semakin panas ditambah dengan peristiwa tersebut. Suasana kantin menjadi gaduh, semua mahasiswa nampaknya sedang asik melihat pertengkaran mereka. Bukan nya melerai, mereka biarkan saja hal tersebut terjadi. Ayla yang emosi menddapat perlakuan tidak menyenangkan dari seorang gadis yang tidak ia kenali. Chika, nama gadis tersebut. Dia adalah mantan kekasih Reyhan.
Chika, gadis berambut ikal dengan mata yang bulat nan sayu. Tubuh tinggi dengan kulit sawo matang. Dia adalah mantan kekasih Reyhan. Sudah 5 bulan ini ia dan Reyhan tidak menjalin hubungan lagi. Entah karena apa mereka mengakhirinya. Namun, selama 5 bulan ini nampaknya Chika belum bisa melupakan Rey dn tidak terima jika Rey dekat dengan gadis lain.
Kamar Ayla nampak berantakan. Pukul 15.00, tidak seperti biasanya Ay pulang ke rumah. Sesampainya di rumah ia segera berlari menuju kamar. Ia hempaskan tubuh mungilnya ke keranjang tidur. Terdengar isakan tangis. Ayla masih tidak bisa menyangka Rey lakukan ini kepadanya. Ia sudah terlanjur menaruh hati pada laki – laki itu. Namun, Rey merusak segalanya. Ay hanya dijadikan sebagai pelampiasan kekesalan Rey pada Chika. Dering telephon Ay berbunyi berulang kali, namun siempunya enggan untuk mengangkatnya.
Sudah beberapa hari ini, Ayla tidak nampak di kampus. Rey sudah berulang kali mencari kabarnya namun tak kunjung dapat. Ia putuskan hari ini untuk datang ke rumah Ay. Menurut beberapa teman nya, Ay nampak masih marah karena kejadian di kantin kampus itu. Rey tidak menyangka Chika akan melakukan hal tersebut. Rey semakin geram ke Chika. Memang sudah 5 bulan ini Rey tidak menjalin hubungan lagi dengan Chika. Namun, pertengkaran Rey dengan Chika tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Ayla. Rey baru mengenal Ayla 3bulan terakhir ini. Dan bisa – bisanya Chika datang merusak hubungan Rey dengan Ayla yang baru seumur jagung itu.
“Assalamualaikum tante.”
“Waalaikumsalam, eh nak Reyhan ya?”
“Iya tante saya Reyhan.”
“ayo – ayo sini masuk. Kalian marahan ya, ada masalah apa?”
“Cuma salah paham sih tante. Ayla nya ada tante.”
“Anak muda ya, iya tante panggilkan sebentar ya. Kamu tunggu disini.”
“Baik tante.”
15 menit berlalu, nampaknya Ay belum mau untuk menemui Reyhan. Namun dengan bujuk rayu Bunda, ia dengan enggan keluar kamar untuk menemui laki – laki yang sedang membuat hatinya terluka itu. Wajahnya nampak kusam, tidak seperti Ayla yang biasanya Rey kenal. Matanya sembab, terlihat jelas ada bekas tangis disana. Guratan wajah yang menggambarkan kekecewaan Ay kepada Reyhan. Namun, dengan sabarnya Rey menunggu Ayla. Rey, benar – benar merasa bersalah atas kejadian tersebut. Itu hanya salah paham, yang disebabkan oleh Chika.
“Ay, maafin aku ya. Aku tau kamu marah banget sama aku. Aku udah coba jelasin semuanya ke kamu Ay.”
“Ay, ini salah paham. Aku sama Chika udah lama putus, dan itupun bukan karena kamu. Ay, please jawab jangan diem aja.”
“Udah lah Rey, aku capek kamu bohongin terus.’
“Ay, baru 2 bulan ini aku kenal kamu. Tapi entah kenapa ada suatu rasa nyaman kalau aku ada di dekat kamu.”

Nampaknya suasana hati Ayla mulai membaik. Rey sudah menjelaskan semuanya. Kini mereka kembali berbagi tawa sama seperti kemarin. Luka hati Ay sudah sembuh terobati. Bukan paras yang menawan namun suatu nyaman yang dicari. Hari – hari mereka lewati bersama, semakin hari mereka saling mengenal satu sama lain. Marah itu menjadi hal wajar untuk melengkapi kisah klasik mereka. Pertemuan yang tidak sengaja kini membawa mereka untuk menuliskan kisah klasik berdua. Bukan tentang dia masa lalu, namun cerita kita yang merasa nyaman dengan semua ini. 

No comments:

Ads Inside Post