Pahit yang menjadi Manis
Oleh
:
NUR IRMAWANTI / Pend. Matematika’14
Globalisasi memang sangat
mempengaruhi perkembangan
zaman apalagi
bagi aku yang masih menyandang
usia remaja menuju tahap kedewasaan. Disinilah masa-masa galau terbentuk. Aku
adalah siswa SMA yang hampir lulus tetapi belum mempunyai mimpi yang pasti.
Dari mulai SD, SMP hingga SMA aku memiliki mimpi yang hampir selalu
berubah-ubah sesuai eksistensi pada saat itu. Tingkat cemas pun semakin
meningkat. Bagaimana tidak? Pengumuman kelulusan tinggal tersisa tiga hari
sedangkan mimpipun belum aku pegang.
Pada
suatu malam tepatnya pukul 21.30 WIB aku beranjak dari bangku belajar setelah
bosan seharian menatap foto SMA. Kemudian aku berjalan ke arah jendela sudut
kamar. Menatap langit yang nyaman di atas sana. Bulan dan bintang pun terlihat
sangat bersahabat dan cerah ceria.
Malam yang sangat indah ini seakan-akan hanya lewat sepintas saja di depan mata. Semua ini karena mimpi yang masih abstrak dalam
angan.
Tidak lama kemudian tiba-tiba terdengar suara dari sudut belakang sana yang
sepertinya suara tepakan kaki. Secara perlahan-lahan suara itu sepertinya
semakin terdengar keras mengampiri ku. Tiba saatnya aku langsung menoleh
kebelakang untuk menyerang secara cepat dengan meraih tangan yang sudah berada tepat
diatas punggung ku. “Awwwww” suara lirih yang aku dengar. Ternyata itu adalah
ibu. “maafkan aku bu” (tutur wanti). Hampir saja aku menyerang ibu dengan jurus
handal karate yang aku miliki. “ko kamu belum tidur nak?” tanya ibu. “hmmmmmm...
tidak apa-apa bu” jawab wanti. aku tidak ingin membuat ibu selalu khawatir
dengan permasalahan yang sedang aku hadapi. Akan tetapi dalam hati kecil ku
tidak
sabar untuk mengatakannya
(tutur wanti dalam hati). Pada akhirnya ibu pun bertanya dalam
lamunan dua menit itu. “tidak mungkin kalau tidak ada masalah jika kamu
bersikap seperti ini” tutur ibu. Memang ibu bisa dibilang sebagai sosok yang
perhatian dalam keluarga.
Hal ini
berbeda dengan sifat ayah yang
terlihat
begitu cuek dengan kondisi anak-anaknya. Aku sadar bahwa cuek yang ayah berikan
dalam artian agar aku bisa menjadi orang yang lebih mandiri dan kuat dalam menghadapi pelik
kehidupan.
“begini bu wanti masih bingung dengan mimpi yang harus dicapai” jawab wanti.
Memang dari dulu impiannya selalu berubah-ubah. Selain menjadi dokter, guru dan
pebisnis aku pun pernah bermimpi untuk menjadi polwan. Impian-impian tersebut
selalu berubah seiring berjalannya waktu.
Waktupun
sudah larut malam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Akhirnya ibu menyuruhku untuk
segera tidur dan nantinya bangun di sepertiga malam untuk menunaikan shalat
tahajud dan istikharah agar diberikan petunjuk yang baik dan tepat tentang
impian itu. “setiap orang pasti mempunyai mimpi”. Hanya kalimat itulah yang aku
peroleh dari ibu sebagai penyemangat pada saat ini. Dari situlah aku
mulai yakin bahwa ada impian yang harus aku raih. “not immpossible” adalah
salah satu kalimat motivasi yang datang dari diriku sendiri.
Ayam-ayam dikandang pun
mulai beraksi menunjukkan waktu sudah pagi. Aku pun mulai beranjak dari tempat
tidur untuk memulai aktifitas pagi. Tanpa berpikir lama aku
langsung bergegas ke dapur untuk mulai membantu ibu di bagian tugas rumah. Tidak heran jika setiap hari kegiatan
ku seperti ini. Ibuku adalah seorang pedagang sarapan di pagi hari. Tidak
mungkin jika aku berleha-leha di tempat tidur menunggu datangnya sarapan pagi.
Aku sibuk dengan kerjaan rumah sedangkan ibu sibuk dengan dagangannya. Hanya
itulah tenaga yang bisa aku bantu untuk meringankan tugas ibu.
Tidak
lama kemudian ayah pun pamit untuk bergegas menuju ke sawah. Benar.. bahwasanya ayahku adalah seorang
petani yang setiap paginya harus segera bergegas ke sawah guna mencari nafkah
untuk keluarganya. Tidak lupa juga aku dan ibu selalu mempersiapkannya sarapan
untuk dibawanya sebagi bekal. Memang kami dari keluarga sederhana tidak
berlimpah harta tapi kami selalu bahagia karena kesederhanaan inilah yang
menjadikan kami semua bisa seperti ini. Hidup ku diantara sosok-sosok yang
hebat, ibu adalah seseorang yang perhatian dan ayah adalah sosok yang kuat.
Dua-duanya seorang yang pekerja keras demi anak-anaknya. Aku adalah anak
terakhir dari dua bersaudara. Kakak ku merupakan mahasiswa jurusan teknik dari universitas terbaik di Indonesia. Ia
merupakan salah satu mahasiswa yang mendapatkan beasiswa karena predikat
kecerdasannya.
Aku
bersama dengan kakak sama-sama mempunyai tekad untuk merubah hidup keluarga
menjadi lebih baik. Pada akhirnya aku pun mendapatkan jawaban atas do’a yang selalu saya panjatkan lewat shalat tahajud dan istikharah.
Terpampang sangat nyata dalam hatiku bahwasanya untuk meraih mimpi. Jawaban yang
aku dapatkan merupakan salah satu mimpi yang
pernah menjadi daftar dalam hidupku. Mimpi ini juga merupakan salah satu
keinginan dari ayah sejak aku duduk di bangku SD. Namun pada akhirnya semua kembali ke
pribadiku lagi. Ibu dan ayah
tidak menargetkan agar aku menjadi orang yang mereka inginkan akan tetapi
mereka selalu percaya bahwa pilihan yang aku pilih adalah yang terbaik. Maklum
jika orang tua ku berfikir seperti itu karena mereka kurang paham dengan
jurusan-jurusan perguruan tinggi. Orang tua ku hanya lulusan SD sehingga mereka
hanya tahu tentang jurusan-jurusan yang sudah terlihat jelas seperti polwan, dokter dan guru. Pada waktu
aku masih duduk dibangku SD
ayah berpesan kepada
ku agar besok nantinya untuk
menjadi seorang polwan. Ayah menggap ku sebagai seseorang yang kuat. Dari
situlah diriku mulai yakin
dan percaya diri. Sementara ini tidak hanya pendapat
dari ayah saja yang aku dapatkan tetapi petunjuk dari Tuhan Pemilik
Semesta pun aku genggam
atas do’a yang selalu aku panjatkan.
Tiba
saatnya pengumuman hasil ujian di depan mata. Keringat terus bercucuran
membasahi tubuh. Adrenalin pun ikut
meningkat
dengan
ditemani tangan yang gemeteran,
namun disaat saya seperti itu ada sosok ibu yang selalu menenangkan. Ibu duduk tepat disamping saya sebagai wali murid. “sudah
nak tidak ada hasil yang menghianati usaha” ucap ibu dengan nada yang pasti.
Saya pun mulai sedikit tenang
dan akhirnya benar bahwa tidak ada hasil yang menghinati usaha selagi yang di
atas menghendaki. Pada akhirnya saya pun lulus dengan nilai yang memuaskan dan sekaligus pada saat itu sebuah
mimpi sudah saya pegang dengan pasti.
Setelahnya
aku sangat optimis dan semangat untuk meraih mimpi yaitu menjadi seorang polwan. Setiap
harinya aku berolahraga guna melatih fisik karena yang aku tahu bahwa untuk menjadi seorang polwan tidak semudah membalikan kedua telapak tangan.
Semangat adalah tekad ku sekarang. Setiap harinya di pagi hari aku selalu
jogging memutari pedesaan di sekitar rumah. Maklum rumah ku jauh dari stadion
yang mewah dan megah. Cukup latihan jogging di sekeliling sawah-sawah yang
indah di desa saja.
Sungguh luar biasa indahnya udara di pagi hari membuat aku tambah semangat untuk
berlari apalagi
ditambah pemandangan yang elok di sebelah kanan-kiri ini. Tidak heran jika pagi-pagi saja
jalan sudah ramai dipenuhi
motor dan pejalan kaki. Mayoritas penduduk di desa ku bermata
pencaharian petani
dan pedagang. Saling sapa menyapa pun sudah tidak asing lagi ketika berpapasan
bahkan katanya sudah menjadi budaya. Hal seperti inilah yng menjadikan aku
hidup bahagia di desa. Selain itu disamping
orangnya ramah tamah sikap rasa sosial pun tinggi.
Dua
minggu kemudian keluarga ku mendapatkan musibah. Ayahku yang tadinya sehat
bugar tiba-tiba jatuh sakit. Akhirnya porsi kerja ibu pun bertambah yaitu harus
merawat ayah. Ditengah-tengah semangat aku berjuang ternyata kondisi ayah sangat tidak memungkinkan. Padahal
posisi ku sekarang sedang mendaftar polwan dimana butuh sosok ayah untuk
menemani. Bisa dibilang aku masih awam dalam hal pendaftaran seperti ini.
Banyak berkas-berkas yang
harus
dikumpulkan
mulai dari legalisir raport
SD sampai SMA; legalisir akta kelahiran, KTP, Kartu Keluarga sampai dengan tes
SKCK. Semua itu sepertinya tidak mungkin jika aku mengurusnya sendiri. Ibu selalu memberikan semangat agar aku mampu
melawati semuanya tanpa bantuan dari orang tua. Dari situlah aku mulai yakin bahwa aku pasti bisa dan berjanji bahwasanya esok hari pasti
akan berhasil.
Suatu
malam aku menuju kamar ayah yang sedang makan malam bersama dengan ibu. Langkah perlahan
aku pun akhirnya tiba di depan ayah dan ibu. Sedih melihat keadaan ayah seperti
ini ditengah aku sedang berjuang menjadi polwan. “duduk sini nak” pinta ayah
dengan lirih. “maafkan ayah ya nak, ayah
tidak bisa menemani kamu berjuang” tutur ayah sambil meneteskan air mata.
“tidak apa-apa ayah yang penting ayah cepat sembuh dan do’akan agar wanti berhasil meraih mimpi yang ayah inginkan” jawab wanti dengan
tegar.” Ayah, ibu.. besok wanti tes penyeleksian polwan di semarang do’a kan
wanti ya semoga sukses” tutur
wanti.
“doa ibu dan bapak selalu menyertaimu nak” tutur ibu. Suasana terharu pun
tambah terasa ketika semuanya
saling berpelukan.
Keesokan harinya akhirnya aku sampai di ibukota jawa tengah yaitu Semarang. Tanpa
menyia-nyiakan waktu maka aku langsung bergegas menuju ke ruang tes. Antusias dari pendaftar sangat tinggi. Hal ini
terbukti dengan penuhnya volume ruang tes. Mayoritas dari mereka semuanya
didampingi orang tuanya, berbeda dengan aku yang berangkat sendirian dari Brebes menuju Semarang.
Bagi
ku mendaftar sendirian bukanlah masalah tetapi yang penting berhasil tidaknya dari suatu perjuangan.
Aku
senang walaupun tanpa di dampingi ayah dan ibu tetapi saya bisa sampai disini.
Bekal semangat dan pantang menyerah yang selalu aku ingat dari mereka. Aku mempunyai
tekad bahwasanya ketika pulang harus membawa hasil yang baik. Seminggu kemudian
akhirnya tahap tes pun telah selesai.
Pukul
20.00 aku sampai dirumah. Kedatangan kau pun disambut bahagia oleh ibu dan
ayah. “ibu, ayah alhamdulillah tes telah selesai tinggal menunggu lima hari
hasil tes akan diumumkan” kata wanti. “semoga hasilnya tidak menghianati usaha
mu ya nak” tutur ibu dan ayah. Kalimat itulah yang selalu keluar dari perkataan
ibu dan ayah setelah aku menyelesaikan misi. “aminnn Ya Rabb” jawab wanti.
Lima
hari memang sungguh tidak terasa, akhirnya hasil tes pun telah di umumkan
melalui websate pendaftaran. Ini
adalah
ke-dua kalinya aku dibikin panik dalam hal pengumuman setelah pengumuman Ujian Nasional. Aku berharap hasilnya
pun sesuai dengan harapan
karena aku ingin hasil ini
adalah kado terindah untuk
ayah yang sedang berjuang
melawan rasa sakit
stroke.
Tepat pukul
16.00 aku pamit keluar
rumah untuk pergi
ke warnet untuk mengetahui hasil pengumumannya. Tidak lupa aku membuka websetnya dengan bacaan basmalah sambil mengetik nama dan ID
pendaftarannya.
Disitu tertuliskan selamat kepada saudari Nur Irmawanti anda telah lulus tes dan
resmi menempuh pendidikan polwan di Semarang. Sungguh perasaan ku menjadi bercampur aduk entah antara senang, bahagia dan
terharu yang sedang aku rasakan.
Hanya bermodal uang Rp 3.500/jam akhirnya
hasil tes bisa diketahui. Kemudian aku langsung bergegas pulang dengan berlari
kencang membawa kabar gembira untuk keluarga terkhusus untuk ayah. “assalamu’alaikum” kata
wanti. “wa’alaikumsalam” jawab ibu dan ayah. Aku pun langsung memeluk mereka
dengan pelukan yang sangat erat dibalut kesenangan yang luar biasa. “ibu, bapak
alhamdulillah wanti berhasil meraih mimpi untuk menempuh pendidikan polwan di
Semarang dan kado ini aku persemabahkan untuk ayah” tutur wanti sambil mengusap
air matanya. “terimakasih nak semoga dengan kado ini ayah bisa lekas sembuh”
jawab ayah. “kamu memang anak yang hebat nak” kata ibu. “terimakasih ibu dan
ayah tanpa kalian wanti tidak bisa seperti ini” kata wanti.
Keesokan harinya ayah
langsung sembuh. Akhirnya aku, ibu dan ayah bisa hidup bahagia dan ayah bisa
bekerja seperti semula. “Terimakasih Ya Rabb...”
No comments:
Post a Comment