Tetesan embun yang membasahi di pagi buta. Hawa dinginpun kini masih terasa sampai
ke tulang-tulang. Kondisi tubuh yang kurang begitu segar karena kecapekan, ingin rasanya masih
bermanja-manja dengan berselimut yang tebal dan menikmati tidur dengan nyenyak, malas mulai
menghantuiku namun apalah dayaku ? Aku tak bisa untuk bermalas-malas seperti ini. Aku harus
bangkit, menggerakan tubuhku dan bergegas untuk meninggalkan ranjang tempat tidurku. Ku
ambil gemercik air yang begitu dingin untuk berwudhu, dan bergegas untuk menunaikan ibadah
sholat shubuh. Bapak dan ibu selalu mengingatkanku untuk menunaikan sholat. Jarak sekolah
tempatku mengajar dari rumah yang aku tinggali sangat jauh, aku harus berangkat lebih awal.
Disaat teman guru-guru lainya masih pada menikmati tidur yang nyenyak, tapi aku harus sudah
berangkat ke sekolah. Setiap hari aku harus mengayuh sepeda mini ku dengan sepenuh tenaga,
ketika memakai rok itu ribet pasti. Tidak leluasa seperti memakai celana, ketika sedang
mengayuh sepeda. Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah jarang banget yang namanya
pakai rok kemana-mana selalu memakai celana. Namun sekarang ini memakai rok sudah
menjadi kebiasaan pada diriku. Toh, pada dasarnya berubah dalam kebaikan itu memang harus
hahahaha, tegas dalam hatiku.
Setelah melewati hamparan sawah yang sangat luas, suasana perdesaan yang masih
begitu asri dengan menyajikan warna kehijauan dan sangat berbeda dengan suasana kota yang
mulai ramai, padat, karna orang-orang sudah mulai beraktivitas dan menjadikan jalan macet.
Walapun aku berada di kota sama saja macet tidak berlaku untuk diriku, karena sepeda miniku
bisa menerobos rambu-rambu jalan lalu lintas dengan cepat dan aman. Mengajar dan mendidik,
itulah pekerjaan ku saat ini. Aku sangat mencintai pekerjaanku ini walupun gaji nya tak seberapa
dan terkadang masih menghandalkan kiriman dari bapak dan ibuk untuk bekal hidup di kota
yang terpencil ini. Setelah wisuda pada setahun yang lalu, aku langsung diterima menjadi guru
honorer di sekolah yang terpencil di kota ini sangat jauh dengan keramaian. Bapak dan ibu
sebenarnya tidak memberikan izin aku mengajar di kota ini. Karena takut kalo anaknya ini
terjadi apa-apa. Namun setelah aku menyakinkan mereka, dan hasilnya aku di izinkan untuk
mengajar dan mendidik, mencerdaskan anak-anak di kota ini. Di SD dan SMA, disitulah aku
Setiap hari senin sampai rabu aku selalu mengajar di SD. Dari pihak sekolah memberiku
amanah untuk mengajar di kelas 1 , yang anak-anak nya masih begitu polos seperti kertas kosong
putih, belum ternoda dengan tinta. Satu kelas berisikan 10 anak mengajariku arti kesabaran yang
begitu luar biasa. Walaupun hanya 10 orang anak saja, terkadang aku merasa kewalahan. Mereka
lebih suka bermain, sedikit dari mereka yang suka untuk belajar. Untuk itu, aku memberikan
pelajaran dengan permainan. Melatihnya untuk menulis, membaca itulah keseharianku mengajari
mereka. Bahkan ketika aku mengajar dikelas ini aku harus bisa menjadi teman mereka bukan
menjadi seorang gurunya.
Berbeda lagi ketika aku mengajar di SMA. Setiap hari kamis sampai sabtu itulah jadwal
kerjaku untuk mengajar di SMA. Di SMA ini aku mengajar kelas XI Ipa Kewalahan itu sudah
pasti, karena mereka sudah dewasa jadi terkadang se enak nya sendiri sulit untuk diatur. Dalam
hal mengenai sopan santun, etika, tata karma mereka masih kurang. Dengan murid yang
berjumlah 20 anak, aku belum bisa mengendalikan kelas. Ketika proses pembelajaran
berlangsung, mereka lebih asyik mengobrol, bercanda dengan temanya sendiri. Hanya sedikit
dari mereka yang memperhatikanku ketika aku menjelaskan materi. Ketika mereka ramai dan
aku tegur, mereka selalu memaki-maki dan berkata kasar padaku. Terkadang, ingin rasanya aku
marah sama mereka dan bertindak kasar kepada mereka, supaya mereka dapat jera dan
menghargaiku menjadi guru nya. Namun apalah dayaku ? Aku tak berhak untuk melakukan hal
itu. Ku asingkan pikiran buruk ku itu. Setelah aku merenungkanya , “oh iya, aku ini seorang guru
yang harus bisa mengarahkan mereka ke dalam kebaikan bukan melawannya mereka dengan
kekerasan” dalam batinku. Aku disini benar-benar dituntut untuk ekstra bersabar.
Setengah tahun sudah aku mengabdi di kota ini, namun aku tak bisa memberikan
perubahan yang banyak pada murid-muridku. Pernah terlintas dalam benakku, untuk mengakhir i
ini semua. Namun hati kecilku masih menginginkan untukku mengajar di kota ini. Mengajar,
mendidik mereka dengan fasilitas yang kurang memadai, disini aku diharuskan memakai media
pembelajaran dengan seadanya. Bangunan sekolah yang kurang begitu kokoh, atap sekolah
ketika hujan bocor, tembok yang terbuat dari bambu berbeda dengan kota yang fasilitasnya
memadai, bangunanya kokoh dan sangat menunjang untuk proses pembelajaran. Sumber buku
disini hanya terbatas, sekolah tidak memiliki perpustakaan. Perpustakaan hanya berada di pusat
kota saja. Bapak dan ibu guru disini mereka mengajar dengan menggunakan sumber ilmu yang
mereka punya, tidak semuanya dari mereka memiliki buku sebagai pegangan untuk mengajar
kalo pun memiliki itu sudah edisi lama. Disini aku merupakan guru yang paling muda sendiri,
“Bu Gadis” itulah nama panggilanku disini. Mereka memanggilku bu gadis karena disini aku
merupakan guru yang paling muda dan belum menikah. Bapak dan ibu guru disini sebagian
besar usianya sudah memasuki setengah abad.
Aku sangat bangga dengan beliau semuanya, mereka mampu bertahan untuk mengabdi di
kota yang terpencil ini. Menghabiskan masa tua nya disini. Mereka tidak pernah putus asa,
walaupun anak-anak didiknya sangat susah diatur namun mereka semua tetap bersabar dan
menjalani semuanya dengan ikhlas. Aku harus bisa seperti mereka. Aku yakin pasti bisa.
Kuyakinkan diriku untuk bertahan di kota ini. Aku harus merubah cara mengajarku dengan
memanfaat kan media pembelajaran yang tersedia di sini. Aku harus bisa berbaur dengan
mereka sepenuh hati. Uang dari gajiku tiap bulan, aku sisihkan untuk membeli buku-buku
penunjang pelajaran. Uang kiriman dari orang tua, aku berikan ke sekolah untuk membangun
ruang kelas agar lebih kokoh. Sehingga murid-murid dapat belajar dengan nyaman. Ketika Ujian
Nasional, di SD, SMP dan SMA yang berada didaerah ini tidak bisa menyelenggarakan. Maka
untuk bisa mengikuti Ujian Nasional, harus pergi ke kota menumpang dengan sekolah yang
berada di pusat kota. Menyedihkan itu pasti, ingin rasanya aku berjuang menjadikan sekolah ini
agar bisa menyelenggarakan Ujian Nasional di sekolah sendiri. Pihak sekolah, murid-murid dan
pihak warga setempat menginginkan sekolah daerah sini dapat menyelenggarakan Ujian
Nasional sendiri. Karena ketika anak-anaknya melaksanakan Ujian Naional di sekolah yang
berada di pusat kota itu memerlukan biaya yang banyak, sedangkan warga disini mata
pencahariannya sebagai petani. Pendapatannnya hanya sedikit dan mereka hanya mengandalkan
dari hasil panen untuk biaya anaknya sekolah.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. “Alhamdulillah,
buku-buku pelajaran sudah terkumpul banyak, semoga dapat bermanat bagi murid-muridku”
gumamku dalam hati. Buku-buku yang sudah terkumpul sudah banyak, setiap harinya selalu ku
bawa ke sekolah. Setiap harinya mereka selalu aku wajibkan untuk membaca buku. Namun
untuk murid yang SD mereka tidak suka membaca buku, mereka lebih senang mendengarkan
aku bercerita dongeng dan cerita-cerita rakyat lainnya. Setelah beberapa bulan kemudian,
mereka sudah bisa menerima ku menjadi guru nya. Murid yang SMA kelas XI Ipa sudah bisa
menghargaiku menjadi guru, setiap aku menjelaskan materi mereka selalu mendengarkan dengan
baik. Untuk murid yang SD sekarang lebih gemar berlatih membaca dan hasilnya mereka semua
sekarang bisa membaca dengan lancar dan benar. Dalam proses pembelajaran mereka sangat
aktif. Senang nya hati ini, melihat perubahan yang baik dari murid-murid.
Sepulang dari mengajar, ku sempatkan mencari bambu di sekitar kebun dekat rumah
yang aku tinggali sekarang ini. Aku ingin membuat perpustakaan mini, sebagai tempat untuk
mereka membaca dan belajar. Karena jarak rumah satu dengan satunya begitu jauh, tak banyak
dari warga yang tau ketika aku menebang bambu sendirian dan hasilnya aku harus mengerjakan
semuanya ini dengan sendiri. Tapi, aku tidak boleh mengeluh dan putus asa. Tetap semangat dan
terus bekerja keras itulah motivasi ku, ketika aku merasa lelah. Setelah bambu terkumpul
banyak, ku buat rumah mini dengan sebisaku dengan model rumah panggung. Yang bawah
kujadikan sebagai tempat mereka untuk bermain. Sebulan kemudian, rumah panggung mini
sudah jadi. Bapak dan ibu aku suruh untuk berkunjung kesini dengan membawa buku-buku
bacaan, buku pelajaran dan buku dongeng. Bapak dan ibu selalu mendukungku. Senang sekali
rasanya, bisa membangun perpustakaan ini. Setiap hari, setelah pulang sekolah murid-murid SD
dan SMA selalu mengunjungi perpustakaan ini, mereka sekarang lebih gemar membaca. Setiap
hari minggu, aku mengajari mereka untuk berlatih menulis entah itu pantun, puisi, cerpen dan
masih banyak sekali.
“Alhamdulliah, aku sekarang bisa memberikan manfaat yang baik untuk orang-orang
disini, namun aku belum bisa mewujudkan mimpi dari mereka yaitu bisa menyelenggrakan Ujian
Nasional di sekolah sendiri tanpa harus menumpang di sekolah yang berada di pusat kota”
gumamku dalam hati. Setelah beberapa hari kemarin aku mengirimkan surat pada
kepemerintahan pusat kota namun tidak ada respond an perkembanganya. Pagi-pagi ini aku
memberanikan diri untuk pergi ke pusat kota dengan sepeda mini yang selalu menemaniku
kemana-mana, berangkat dari rumah sebelum matahari terbit dan sampai di pusat kota, matahari
sudah menampakkan sinar teriknya. Tak lama kemudian aku sampai di kantor dinas pendidikan
dan kantor pemerintahan yang kebetulan gedungnya bersebelahan. Gedungnya sangat mewah,
berdiri dengan kokoh dan terdiri dari beberapai lantai yang menjulang ke atas. Aku langsung
mengajukan pada dinas pendidikan dan pemerintah kota, untuk bisa menyelenggarakan Ujian
Nasional di sekolahku mengajar. Tapi mereka belum bisa memberikan izin, karena akses jalan
menuju ke sekolah itu belum memadai, fasilitas masih kurang dan masih banyak lagi alasan dari
mereka . Walaupun aku tetap bersisi kukuh meminta izin, mereka tetap menolaknya. Tetes demi
tetes membasahi mata ini, disini aku hanyalah orang kecil yang tidak bisa bergumam apa-apa.
Aku sangat sedih karena belum bisa mewujudkan mimpi mereka. Mengapa ketika pemerintah
kota beralasan akses jalan menuju ke sekolah itu belum memadai, fasilitas sekolah belum
menunjang dan masih banyak lagi alasan dari mereka. Tapi kenapa mereka, tidak mempunyai
gagasan untuk membangun sekolah, membangun akses yang berhubungan dengan sekolah ini
yang berada di daerah terpencil ini. Mereka tidak perduli dengan hal ini, mereka lebih perduli
dan memperhatikan sekolah yang berada di pusat kota. Aku pulang dari tempat ini dengan
perasaan yang benar-benar kecewa. Karena disini pemerintah tidak bisa adil. Maafkan aku
murid-murid ku. Maafkan aku bapak dan ibu guru yang lainya karena pada saat ini belum bisa
mewujudkan mimpi kita bersama yaitu bisa menyelenggarakan Ujian Nasional di sekolah
sendiri. “Semangatku jangan sampai terhenti disini. Berusahalah sekuat tenaga yang kamu miliki
dan berdoalah” motivasiku dalam diriku.
Ani Oktavia ( Pendidikan Biologi’14 )
ke tulang-tulang. Kondisi tubuh yang kurang begitu segar karena kecapekan, ingin rasanya masih
bermanja-manja dengan berselimut yang tebal dan menikmati tidur dengan nyenyak, malas mulai
menghantuiku namun apalah dayaku ? Aku tak bisa untuk bermalas-malas seperti ini. Aku harus
bangkit, menggerakan tubuhku dan bergegas untuk meninggalkan ranjang tempat tidurku. Ku
ambil gemercik air yang begitu dingin untuk berwudhu, dan bergegas untuk menunaikan ibadah
sholat shubuh. Bapak dan ibu selalu mengingatkanku untuk menunaikan sholat. Jarak sekolah
tempatku mengajar dari rumah yang aku tinggali sangat jauh, aku harus berangkat lebih awal.
Disaat teman guru-guru lainya masih pada menikmati tidur yang nyenyak, tapi aku harus sudah
berangkat ke sekolah. Setiap hari aku harus mengayuh sepeda mini ku dengan sepenuh tenaga,
ketika memakai rok itu ribet pasti. Tidak leluasa seperti memakai celana, ketika sedang
mengayuh sepeda. Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah jarang banget yang namanya
pakai rok kemana-mana selalu memakai celana. Namun sekarang ini memakai rok sudah
menjadi kebiasaan pada diriku. Toh, pada dasarnya berubah dalam kebaikan itu memang harus
hahahaha, tegas dalam hatiku.
Setelah melewati hamparan sawah yang sangat luas, suasana perdesaan yang masih
begitu asri dengan menyajikan warna kehijauan dan sangat berbeda dengan suasana kota yang
mulai ramai, padat, karna orang-orang sudah mulai beraktivitas dan menjadikan jalan macet.
Walapun aku berada di kota sama saja macet tidak berlaku untuk diriku, karena sepeda miniku
bisa menerobos rambu-rambu jalan lalu lintas dengan cepat dan aman. Mengajar dan mendidik,
itulah pekerjaan ku saat ini. Aku sangat mencintai pekerjaanku ini walupun gaji nya tak seberapa
dan terkadang masih menghandalkan kiriman dari bapak dan ibuk untuk bekal hidup di kota
yang terpencil ini. Setelah wisuda pada setahun yang lalu, aku langsung diterima menjadi guru
honorer di sekolah yang terpencil di kota ini sangat jauh dengan keramaian. Bapak dan ibu
sebenarnya tidak memberikan izin aku mengajar di kota ini. Karena takut kalo anaknya ini
terjadi apa-apa. Namun setelah aku menyakinkan mereka, dan hasilnya aku di izinkan untuk
mengajar dan mendidik, mencerdaskan anak-anak di kota ini. Di SD dan SMA, disitulah aku
Setiap hari senin sampai rabu aku selalu mengajar di SD. Dari pihak sekolah memberiku
amanah untuk mengajar di kelas 1 , yang anak-anak nya masih begitu polos seperti kertas kosong
putih, belum ternoda dengan tinta. Satu kelas berisikan 10 anak mengajariku arti kesabaran yang
begitu luar biasa. Walaupun hanya 10 orang anak saja, terkadang aku merasa kewalahan. Mereka
lebih suka bermain, sedikit dari mereka yang suka untuk belajar. Untuk itu, aku memberikan
pelajaran dengan permainan. Melatihnya untuk menulis, membaca itulah keseharianku mengajari
mereka. Bahkan ketika aku mengajar dikelas ini aku harus bisa menjadi teman mereka bukan
menjadi seorang gurunya.
Berbeda lagi ketika aku mengajar di SMA. Setiap hari kamis sampai sabtu itulah jadwal
kerjaku untuk mengajar di SMA. Di SMA ini aku mengajar kelas XI Ipa Kewalahan itu sudah
pasti, karena mereka sudah dewasa jadi terkadang se enak nya sendiri sulit untuk diatur. Dalam
hal mengenai sopan santun, etika, tata karma mereka masih kurang. Dengan murid yang
berjumlah 20 anak, aku belum bisa mengendalikan kelas. Ketika proses pembelajaran
berlangsung, mereka lebih asyik mengobrol, bercanda dengan temanya sendiri. Hanya sedikit
dari mereka yang memperhatikanku ketika aku menjelaskan materi. Ketika mereka ramai dan
aku tegur, mereka selalu memaki-maki dan berkata kasar padaku. Terkadang, ingin rasanya aku
marah sama mereka dan bertindak kasar kepada mereka, supaya mereka dapat jera dan
menghargaiku menjadi guru nya. Namun apalah dayaku ? Aku tak berhak untuk melakukan hal
itu. Ku asingkan pikiran buruk ku itu. Setelah aku merenungkanya , “oh iya, aku ini seorang guru
yang harus bisa mengarahkan mereka ke dalam kebaikan bukan melawannya mereka dengan
kekerasan” dalam batinku. Aku disini benar-benar dituntut untuk ekstra bersabar.
Setengah tahun sudah aku mengabdi di kota ini, namun aku tak bisa memberikan
perubahan yang banyak pada murid-muridku. Pernah terlintas dalam benakku, untuk mengakhir i
ini semua. Namun hati kecilku masih menginginkan untukku mengajar di kota ini. Mengajar,
mendidik mereka dengan fasilitas yang kurang memadai, disini aku diharuskan memakai media
pembelajaran dengan seadanya. Bangunan sekolah yang kurang begitu kokoh, atap sekolah
ketika hujan bocor, tembok yang terbuat dari bambu berbeda dengan kota yang fasilitasnya
memadai, bangunanya kokoh dan sangat menunjang untuk proses pembelajaran. Sumber buku
disini hanya terbatas, sekolah tidak memiliki perpustakaan. Perpustakaan hanya berada di pusat
kota saja. Bapak dan ibu guru disini mereka mengajar dengan menggunakan sumber ilmu yang
mereka punya, tidak semuanya dari mereka memiliki buku sebagai pegangan untuk mengajar
kalo pun memiliki itu sudah edisi lama. Disini aku merupakan guru yang paling muda sendiri,
“Bu Gadis” itulah nama panggilanku disini. Mereka memanggilku bu gadis karena disini aku
merupakan guru yang paling muda dan belum menikah. Bapak dan ibu guru disini sebagian
besar usianya sudah memasuki setengah abad.
Aku sangat bangga dengan beliau semuanya, mereka mampu bertahan untuk mengabdi di
kota yang terpencil ini. Menghabiskan masa tua nya disini. Mereka tidak pernah putus asa,
walaupun anak-anak didiknya sangat susah diatur namun mereka semua tetap bersabar dan
menjalani semuanya dengan ikhlas. Aku harus bisa seperti mereka. Aku yakin pasti bisa.
Kuyakinkan diriku untuk bertahan di kota ini. Aku harus merubah cara mengajarku dengan
memanfaat kan media pembelajaran yang tersedia di sini. Aku harus bisa berbaur dengan
mereka sepenuh hati. Uang dari gajiku tiap bulan, aku sisihkan untuk membeli buku-buku
penunjang pelajaran. Uang kiriman dari orang tua, aku berikan ke sekolah untuk membangun
ruang kelas agar lebih kokoh. Sehingga murid-murid dapat belajar dengan nyaman. Ketika Ujian
Nasional, di SD, SMP dan SMA yang berada didaerah ini tidak bisa menyelenggarakan. Maka
untuk bisa mengikuti Ujian Nasional, harus pergi ke kota menumpang dengan sekolah yang
berada di pusat kota. Menyedihkan itu pasti, ingin rasanya aku berjuang menjadikan sekolah ini
agar bisa menyelenggarakan Ujian Nasional di sekolah sendiri. Pihak sekolah, murid-murid dan
pihak warga setempat menginginkan sekolah daerah sini dapat menyelenggarakan Ujian
Nasional sendiri. Karena ketika anak-anaknya melaksanakan Ujian Naional di sekolah yang
berada di pusat kota itu memerlukan biaya yang banyak, sedangkan warga disini mata
pencahariannya sebagai petani. Pendapatannnya hanya sedikit dan mereka hanya mengandalkan
dari hasil panen untuk biaya anaknya sekolah.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. “Alhamdulillah,
buku-buku pelajaran sudah terkumpul banyak, semoga dapat bermanat bagi murid-muridku”
gumamku dalam hati. Buku-buku yang sudah terkumpul sudah banyak, setiap harinya selalu ku
bawa ke sekolah. Setiap harinya mereka selalu aku wajibkan untuk membaca buku. Namun
untuk murid yang SD mereka tidak suka membaca buku, mereka lebih senang mendengarkan
aku bercerita dongeng dan cerita-cerita rakyat lainnya. Setelah beberapa bulan kemudian,
mereka sudah bisa menerima ku menjadi guru nya. Murid yang SMA kelas XI Ipa sudah bisa
menghargaiku menjadi guru, setiap aku menjelaskan materi mereka selalu mendengarkan dengan
baik. Untuk murid yang SD sekarang lebih gemar berlatih membaca dan hasilnya mereka semua
sekarang bisa membaca dengan lancar dan benar. Dalam proses pembelajaran mereka sangat
aktif. Senang nya hati ini, melihat perubahan yang baik dari murid-murid.
Sepulang dari mengajar, ku sempatkan mencari bambu di sekitar kebun dekat rumah
yang aku tinggali sekarang ini. Aku ingin membuat perpustakaan mini, sebagai tempat untuk
mereka membaca dan belajar. Karena jarak rumah satu dengan satunya begitu jauh, tak banyak
dari warga yang tau ketika aku menebang bambu sendirian dan hasilnya aku harus mengerjakan
semuanya ini dengan sendiri. Tapi, aku tidak boleh mengeluh dan putus asa. Tetap semangat dan
terus bekerja keras itulah motivasi ku, ketika aku merasa lelah. Setelah bambu terkumpul
banyak, ku buat rumah mini dengan sebisaku dengan model rumah panggung. Yang bawah
kujadikan sebagai tempat mereka untuk bermain. Sebulan kemudian, rumah panggung mini
sudah jadi. Bapak dan ibu aku suruh untuk berkunjung kesini dengan membawa buku-buku
bacaan, buku pelajaran dan buku dongeng. Bapak dan ibu selalu mendukungku. Senang sekali
rasanya, bisa membangun perpustakaan ini. Setiap hari, setelah pulang sekolah murid-murid SD
dan SMA selalu mengunjungi perpustakaan ini, mereka sekarang lebih gemar membaca. Setiap
hari minggu, aku mengajari mereka untuk berlatih menulis entah itu pantun, puisi, cerpen dan
masih banyak sekali.
“Alhamdulliah, aku sekarang bisa memberikan manfaat yang baik untuk orang-orang
disini, namun aku belum bisa mewujudkan mimpi dari mereka yaitu bisa menyelenggrakan Ujian
Nasional di sekolah sendiri tanpa harus menumpang di sekolah yang berada di pusat kota”
gumamku dalam hati. Setelah beberapa hari kemarin aku mengirimkan surat pada
kepemerintahan pusat kota namun tidak ada respond an perkembanganya. Pagi-pagi ini aku
memberanikan diri untuk pergi ke pusat kota dengan sepeda mini yang selalu menemaniku
kemana-mana, berangkat dari rumah sebelum matahari terbit dan sampai di pusat kota, matahari
sudah menampakkan sinar teriknya. Tak lama kemudian aku sampai di kantor dinas pendidikan
dan kantor pemerintahan yang kebetulan gedungnya bersebelahan. Gedungnya sangat mewah,
berdiri dengan kokoh dan terdiri dari beberapai lantai yang menjulang ke atas. Aku langsung
mengajukan pada dinas pendidikan dan pemerintah kota, untuk bisa menyelenggarakan Ujian
Nasional di sekolahku mengajar. Tapi mereka belum bisa memberikan izin, karena akses jalan
menuju ke sekolah itu belum memadai, fasilitas masih kurang dan masih banyak lagi alasan dari
mereka . Walaupun aku tetap bersisi kukuh meminta izin, mereka tetap menolaknya. Tetes demi
tetes membasahi mata ini, disini aku hanyalah orang kecil yang tidak bisa bergumam apa-apa.
Aku sangat sedih karena belum bisa mewujudkan mimpi mereka. Mengapa ketika pemerintah
kota beralasan akses jalan menuju ke sekolah itu belum memadai, fasilitas sekolah belum
menunjang dan masih banyak lagi alasan dari mereka. Tapi kenapa mereka, tidak mempunyai
gagasan untuk membangun sekolah, membangun akses yang berhubungan dengan sekolah ini
yang berada di daerah terpencil ini. Mereka tidak perduli dengan hal ini, mereka lebih perduli
dan memperhatikan sekolah yang berada di pusat kota. Aku pulang dari tempat ini dengan
perasaan yang benar-benar kecewa. Karena disini pemerintah tidak bisa adil. Maafkan aku
murid-murid ku. Maafkan aku bapak dan ibu guru yang lainya karena pada saat ini belum bisa
mewujudkan mimpi kita bersama yaitu bisa menyelenggarakan Ujian Nasional di sekolah
sendiri. “Semangatku jangan sampai terhenti disini. Berusahalah sekuat tenaga yang kamu miliki
dan berdoalah” motivasiku dalam diriku.
Ani Oktavia ( Pendidikan Biologi’14 )
No comments:
Post a Comment