Translate

Tuesday 1 March 2016

Mimpi Bersama yang Belum Terwujud

Tetesan embun yang membasahi di pagi buta. Hawa dinginpun kini masih terasa sampai

ke tulang-tulang. Kondisi tubuh yang kurang begitu segar karena kecapekan, ingin rasanya masih

bermanja-manja dengan berselimut yang tebal dan menikmati tidur dengan nyenyak, malas mulai

menghantuiku namun apalah dayaku ? Aku tak bisa untuk bermalas-malas seperti ini. Aku harus

bangkit, menggerakan tubuhku dan bergegas untuk meninggalkan ranjang tempat tidurku. Ku

ambil gemercik air yang begitu dingin untuk berwudhu, dan bergegas untuk menunaikan ibadah

sholat shubuh. Bapak dan ibu selalu mengingatkanku untuk menunaikan sholat. Jarak sekolah

tempatku mengajar dari rumah yang aku tinggali sangat jauh, aku harus berangkat lebih awal.

Disaat teman guru-guru lainya masih pada menikmati tidur yang nyenyak, tapi aku harus sudah

berangkat ke sekolah. Setiap hari aku harus mengayuh sepeda mini ku dengan sepenuh tenaga,

ketika memakai rok itu ribet pasti. Tidak leluasa seperti memakai celana, ketika sedang

mengayuh sepeda. Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah  jarang banget yang namanya

pakai rok kemana-mana selalu memakai celana. Namun sekarang ini memakai rok sudah

menjadi kebiasaan pada diriku. Toh, pada dasarnya berubah dalam kebaikan itu memang harus

hahahaha, tegas dalam hatiku.

Setelah melewati hamparan sawah yang sangat luas, suasana perdesaan yang masih

begitu asri dengan menyajikan warna kehijauan dan sangat berbeda dengan suasana kota yang

mulai ramai, padat, karna orang-orang sudah mulai beraktivitas dan menjadikan jalan macet.

Walapun aku berada di kota sama saja macet tidak berlaku untuk diriku, karena sepeda miniku

bisa menerobos rambu-rambu jalan lalu lintas dengan cepat dan aman. Mengajar dan mendidik,

itulah pekerjaan ku saat ini. Aku sangat mencintai pekerjaanku ini walupun gaji nya tak seberapa

dan terkadang masih menghandalkan kiriman dari bapak dan ibuk untuk bekal hidup di kota

yang terpencil ini. Setelah wisuda pada setahun yang lalu, aku langsung diterima menjadi guru

honorer di sekolah yang terpencil di kota ini sangat jauh dengan keramaian. Bapak dan ibu

sebenarnya tidak memberikan izin aku mengajar di kota ini. Karena takut kalo anaknya ini

terjadi apa-apa. Namun setelah aku menyakinkan mereka, dan hasilnya aku di izinkan untuk

mengajar dan mendidik, mencerdaskan anak-anak di kota ini. Di SD dan SMA, disitulah aku

Setiap hari senin sampai rabu aku selalu mengajar di SD. Dari pihak sekolah memberiku

amanah untuk mengajar di kelas 1 , yang anak-anak nya masih begitu polos seperti kertas kosong

putih, belum ternoda dengan tinta. Satu kelas berisikan 10 anak mengajariku arti kesabaran yang

begitu luar biasa. Walaupun hanya 10 orang anak saja, terkadang aku merasa kewalahan. Mereka

lebih suka bermain, sedikit dari mereka yang suka untuk belajar. Untuk itu, aku memberikan

pelajaran dengan permainan. Melatihnya untuk menulis, membaca itulah keseharianku mengajari

mereka. Bahkan ketika aku mengajar dikelas ini aku harus bisa menjadi teman mereka bukan

menjadi seorang gurunya.

Berbeda lagi ketika aku mengajar di SMA. Setiap hari kamis sampai sabtu itulah jadwal

kerjaku untuk mengajar di SMA. Di SMA ini aku mengajar kelas XI Ipa Kewalahan itu sudah

pasti, karena mereka sudah dewasa jadi terkadang se enak nya sendiri sulit untuk diatur. Dalam

hal mengenai sopan santun, etika, tata karma mereka masih kurang. Dengan murid yang

berjumlah 20 anak, aku belum bisa mengendalikan kelas. Ketika proses pembelajaran

berlangsung, mereka lebih asyik mengobrol, bercanda dengan temanya sendiri. Hanya sedikit

dari mereka yang memperhatikanku ketika aku menjelaskan materi. Ketika mereka ramai dan

aku tegur, mereka selalu memaki-maki dan berkata kasar padaku. Terkadang, ingin rasanya aku

marah sama mereka dan bertindak kasar kepada mereka, supaya mereka dapat jera dan

menghargaiku menjadi guru nya. Namun apalah dayaku ? Aku tak berhak untuk melakukan hal

itu. Ku asingkan pikiran buruk ku itu. Setelah aku merenungkanya , “oh iya, aku ini seorang guru

yang harus bisa mengarahkan mereka ke dalam kebaikan bukan melawannya mereka dengan

kekerasan” dalam batinku. Aku disini benar-benar dituntut untuk ekstra bersabar.

Setengah tahun sudah aku mengabdi di kota ini, namun aku tak bisa memberikan

perubahan yang banyak pada murid-muridku. Pernah terlintas dalam benakku, untuk mengakhir i

ini semua. Namun hati kecilku masih menginginkan untukku mengajar di kota ini.  Mengajar,

mendidik mereka dengan fasilitas yang kurang memadai, disini aku diharuskan memakai media

pembelajaran dengan seadanya. Bangunan sekolah yang kurang begitu kokoh, atap sekolah

ketika hujan bocor, tembok yang terbuat dari bambu berbeda dengan kota yang fasilitasnya

memadai, bangunanya kokoh dan sangat menunjang untuk proses pembelajaran. Sumber buku

disini hanya terbatas, sekolah tidak memiliki perpustakaan. Perpustakaan hanya berada di pusat

kota saja. Bapak dan ibu guru disini mereka mengajar dengan menggunakan sumber ilmu yang

mereka punya, tidak semuanya dari mereka memiliki buku sebagai pegangan untuk mengajar

kalo pun memiliki itu sudah edisi lama.  Disini aku merupakan guru yang paling muda sendiri,

“Bu Gadis” itulah nama panggilanku disini. Mereka memanggilku bu gadis karena disini aku

merupakan guru yang paling muda dan belum menikah. Bapak dan ibu guru disini sebagian

besar usianya sudah memasuki setengah abad.

Aku sangat bangga dengan beliau semuanya, mereka mampu bertahan untuk mengabdi di

kota yang terpencil ini. Menghabiskan masa tua nya disini. Mereka tidak pernah putus asa,

walaupun anak-anak didiknya sangat susah diatur namun mereka semua tetap bersabar dan

menjalani semuanya dengan ikhlas. Aku harus bisa seperti mereka. Aku yakin pasti bisa.

Kuyakinkan diriku untuk bertahan di kota ini. Aku harus merubah cara mengajarku dengan

memanfaat kan media pembelajaran yang tersedia di sini. Aku harus bisa  berbaur dengan

mereka sepenuh hati. Uang dari gajiku tiap bulan, aku sisihkan untuk membeli buku-buku

penunjang pelajaran. Uang kiriman dari orang tua, aku berikan ke sekolah untuk membangun

ruang kelas agar lebih kokoh. Sehingga murid-murid dapat belajar dengan nyaman. Ketika Ujian

Nasional, di SD, SMP dan SMA yang berada didaerah ini tidak bisa menyelenggarakan. Maka

untuk bisa mengikuti Ujian Nasional, harus pergi ke kota menumpang dengan sekolah yang

berada di pusat kota. Menyedihkan itu pasti, ingin rasanya aku berjuang menjadikan sekolah ini

agar bisa menyelenggarakan Ujian Nasional di sekolah sendiri. Pihak sekolah, murid-murid dan

pihak warga setempat menginginkan sekolah daerah sini dapat menyelenggarakan Ujian

Nasional sendiri. Karena ketika anak-anaknya melaksanakan  Ujian Naional di sekolah yang

berada di pusat kota itu memerlukan biaya yang banyak, sedangkan warga disini mata

pencahariannya sebagai petani. Pendapatannnya hanya sedikit dan mereka hanya mengandalkan

dari hasil panen untuk biaya anaknya sekolah.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. “Alhamdulillah,

buku-buku pelajaran sudah terkumpul banyak, semoga dapat bermanat bagi murid-muridku”

gumamku dalam hati. Buku-buku yang sudah terkumpul sudah banyak, setiap harinya selalu ku

bawa ke sekolah. Setiap harinya mereka selalu aku wajibkan untuk membaca buku. Namun

untuk murid yang SD mereka tidak suka membaca buku, mereka lebih senang mendengarkan

aku bercerita dongeng dan cerita-cerita  rakyat lainnya. Setelah beberapa bulan kemudian,

mereka sudah bisa menerima ku menjadi guru nya. Murid yang SMA kelas XI Ipa sudah bisa

menghargaiku menjadi guru, setiap aku menjelaskan materi mereka selalu mendengarkan dengan

baik. Untuk murid yang SD sekarang lebih gemar berlatih membaca dan hasilnya mereka semua

sekarang bisa membaca dengan lancar dan benar. Dalam proses pembelajaran mereka sangat

aktif. Senang nya hati ini, melihat perubahan yang baik dari murid-murid.

Sepulang dari mengajar, ku sempatkan mencari bambu di sekitar kebun dekat rumah

yang aku tinggali sekarang ini. Aku ingin membuat perpustakaan mini, sebagai tempat untuk

mereka membaca dan belajar. Karena jarak rumah satu dengan satunya begitu jauh, tak banyak

dari warga yang tau ketika aku menebang bambu sendirian dan hasilnya aku harus mengerjakan

semuanya ini dengan sendiri. Tapi, aku tidak boleh mengeluh dan putus asa. Tetap semangat dan

terus bekerja keras itulah motivasi ku, ketika aku merasa lelah. Setelah bambu terkumpul

banyak, ku buat rumah mini dengan sebisaku dengan model rumah panggung. Yang bawah

kujadikan sebagai tempat mereka untuk bermain. Sebulan kemudian, rumah panggung mini

sudah jadi. Bapak dan  ibu aku suruh untuk berkunjung kesini dengan membawa buku-buku

bacaan, buku pelajaran dan buku dongeng. Bapak dan ibu selalu mendukungku. Senang sekali

rasanya, bisa membangun perpustakaan ini. Setiap hari, setelah pulang sekolah murid-murid SD

dan SMA selalu mengunjungi perpustakaan ini, mereka sekarang lebih gemar membaca. Setiap

hari minggu, aku mengajari mereka untuk berlatih menulis entah itu pantun, puisi, cerpen dan

masih banyak sekali.

“Alhamdulliah, aku sekarang bisa memberikan manfaat yang baik untuk orang-orang

disini, namun aku belum bisa mewujudkan mimpi dari mereka yaitu bisa menyelenggrakan Ujian

Nasional di sekolah sendiri tanpa harus menumpang di sekolah yang berada di pusat kota”

gumamku dalam hati. Setelah beberapa hari kemarin aku mengirimkan surat pada

kepemerintahan pusat kota namun tidak ada respond an perkembanganya. Pagi-pagi ini aku

memberanikan diri  untuk pergi ke pusat kota dengan sepeda mini yang selalu menemaniku

kemana-mana, berangkat dari rumah sebelum matahari terbit dan sampai di pusat kota, matahari

sudah menampakkan sinar teriknya. Tak lama kemudian aku sampai di kantor dinas pendidikan

dan kantor pemerintahan yang kebetulan gedungnya bersebelahan. Gedungnya sangat mewah,

berdiri dengan kokoh dan terdiri dari beberapai lantai yang menjulang ke atas. Aku langsung

mengajukan pada dinas pendidikan dan pemerintah kota, untuk bisa menyelenggarakan Ujian

Nasional di sekolahku mengajar. Tapi mereka belum bisa memberikan izin, karena akses jalan

menuju ke sekolah itu belum memadai, fasilitas masih kurang dan masih banyak lagi alasan dari

mereka . Walaupun aku tetap bersisi kukuh meminta izin, mereka tetap menolaknya. Tetes demi

tetes membasahi mata ini, disini aku hanyalah orang kecil yang tidak bisa bergumam apa-apa.

Aku sangat sedih karena belum bisa mewujudkan mimpi mereka. Mengapa ketika pemerintah

kota beralasan akses jalan menuju ke sekolah itu belum memadai, fasilitas sekolah belum

menunjang dan masih banyak lagi alasan dari mereka. Tapi kenapa mereka, tidak mempunyai

gagasan untuk membangun sekolah, membangun akses yang berhubungan dengan sekolah ini

yang berada di daerah terpencil ini. Mereka tidak perduli dengan hal ini, mereka lebih perduli

dan memperhatikan sekolah yang berada di pusat kota. Aku pulang dari tempat ini dengan

perasaan yang benar-benar kecewa. Karena disini pemerintah tidak bisa adil. Maafkan aku

murid-murid ku. Maafkan aku bapak dan ibu guru yang lainya karena pada saat ini belum bisa

mewujudkan mimpi kita bersama yaitu bisa menyelenggarakan Ujian Nasional di sekolah

sendiri. “Semangatku jangan sampai terhenti disini. Berusahalah sekuat tenaga yang kamu miliki

dan berdoalah” motivasiku dalam diriku.




Ani Oktavia ( Pendidikan Biologi’14 )

No comments:

Ads Inside Post