Translate

Tuesday 1 March 2016

Antara Suara dan Neraka

Cerpen


“Sakit, sakit, sakit”, rintihan suaraku terus menggelegar di tempat yang sempit ini, gelap,

kotor dan menjijijkan. Dibarengi dengan hentakan pecut dari seseorang yang belum pernah aku lihat

sebelumnya. Dia nampak  ganas, hitam kelam, kekar dan beringas. Aku tak tahu siapa sebenarnya

makhluk yang keji itu. berani sekali dia mencambuk tubuhku hingga luka seperti ini. diriku serasa

ingin memberontak dengan keadaan ini. namun tubuhku sulit untuk memberontaknya, aku hanya

lesu menerima semua keadaan. “Hei manusia, aku tanya sekali lagi siapa Tuhanmu?”, tanyanya

kepadaku. sedari tadi dia hanya mencambuk tubuhku karena tidak bisa menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang dilontarkanya padaku. “Tuhan?? Aku tidak tahu apa itu Tuhan? Lagian buat apa kau

bertanya padaku siapa itu Tuhan? Apakah itu penting?”. Kali ini pecutannya semakin keras, aku tak

bisa menahan tangisku.

“Siapa Nabimu?” Dia bertanya lagi padaku dengan wajah yang ganas dan tak bersahabat.

Tapi lagi-lagi pertanyaannya membuatku menjadi takut, aku takut sebuah cambukan menghantam

tubuhku lagi karena tidak bisa menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba lidahku memaksaku berkata,

“Aku tidak tahu, lagian kenapa kamu bertanya padaku seperti itu? Tidak adakah pertanyaan yang

lebih mudah dari itu?? Mungkin kau bisa bertanya padaku berapa hartaku, kekayaanku di dunia atau

mungkin kau bisa tanya sebagus apa suara menyanyiku?? Dengan senang hati aku akan

menjawabnya dan mungkin saja kamu akan kagum padaku.” Lagi-lagi pecutan kerasnya menerjang

tubuh mungilku.

…………................................................................................

“Gubrag!”

Aku sangat benci dengan garis takdir yang sudah Allah tetapkan untukku. Untuk apa Tuhan

menciptakanku? sedangkan aku hanya ditakdirkan untuk menyandang predikat BODOH dari semua

orang yang mengenalku . Bahkan tak sedkit orang yang sangat membenci dan menjauhi diriku.

Begitu pula dengan orang tua kandungku. Dia sangat membenciku dibanding dengan fauzan.adik

kandungku, dia selalu membanding-bandingkan kepandaianku dengan kepandaiannya. sebab itulah

aku menjadi sangat benci dan muak pada  fauzan,adikku. Kemana-mana orang tuaku pergi,

fauzanlah yang selalu diajaknya, sedangkan aku hanya disuruh jaga rumah untuk belajar, cukup. Aku

masih ingat dengan kejadian kemarin pagi, saat ayahku dengan gerang memukulku setelah

pengambilan nilai raport semester 1.

“Dasar anak bodoh, kenapa nilai-nilaimu memalukan seperti ini? Lihat, hanya satu nilai

pelajaran saja yang tidak merah, dan yang lainnya, merah semuanya... Apa kau tak punya malu

dengan adikmu? Dia peringkat 1 di kelasnya, sedangkan kamu?? peringkat terakhir, huu bodoh....!

ayah malu punya anak seperti kamu Rozak ”, hardik ayahku. Tidak heran kalau ayah dan ibu akan

marah besar ketika melihat nilaiku. Nilaiku semuanya merah, kecuali nilai kesenian saja  yang cukup

menonjol bagus.beginilah, Ayah selalu memukulku ketika melihat nilaiku. Kali ini ayah tidak hanya

memukulku, tapi uang jajankupun juga dikurangi, sedang uang jajan adikku malah ditambah. Aku

jadi semakin benci sekali dengan adikku.

“Maafkan aku, Ayah,,,” kataku.

“Pokoknya, kalau sampai nilaimu seperti ini lagi, Ayah tidak akan memaafkanmu”.

Hah.. terlihat di pojok ruangan depan, fauzan yang sedari tadi sedang melihatku dengan

canggung, dia terlihat mengasihi diriku. Ketika ayah meninggalkanku, fauzan menghampiriku dengan

penuh iba “Kakak sabar saja ya, maafkan perilaku Ayah yang tadi”, kata fauzan lugu.  Kutinggalakan

dia sendirian, kulempar senyum kebencian padanya, dan aku pun lebih memilih mengurung diri di

kamar. Sambil memetik gitar dan menyayikan beberapa lagu. ya karena hanya dengan menyanyi

suasana menjadi tenang dan damai.

....................................................

Tibalah hari pertama aku masuk sekolah setelah liburan panjang semester 1 ini . Namun, kali

ini ayah tidak bisa mengantarkan aku dan fauzan untuk berangkat sekolah. Dan akupun harus

berangkat ke sekolah bersama dengannya, kebetulan sekolahku dengannya sama, yang

membedakan hanya tingkatannya saja. Aku kelas 6 SD, sedangkan dia masih kelas 4 SD. Sebenarnya

aku malas satu sekolah dengannya,namun ini semua kemauan orang tuaku. Supaya aku bisa

mengawasi fauzan di sekolah.

Di perjalanan menuju sekolah, aku hanya bernyanyi-nyayi sendiri ketimbang berbicara dengan

fauzan.

”Kakak kok diam terus ketika fauzan ngajak bicara”, katanya lugu.

“Terserah kakak dong”, jawabku singkat sembari berlari meninggalkannya. Aku berlari menuju

gerbang sekolah yang sudah terlihat di sana. Aku tidak mempedulikan nasib fauzan. Yang aku

pikirkan hanya cepat-cepat sampai gerbang sekolah dan menjauh darinya. “Akhirnya sampai

juga....”, batinku. Aku mencoba melihat fauzan kebelakang, namun sayat-sayat mataku tertuju pada

sebuah kerumunan. Setelah aku lihat, dan ternyata itu fauzan,adikku.

Ternyata nasib baik tidak menimpa adikku, ketika dia mau mengejarku, dia terjatuh di

tengah jalan, dan saat itulah ada sebuah mobil yang sedang melaju kencang, dan akhirnya dengan

cepat mobil itu menyambar tubuh fauzan dan dia pun terpental jauh dari mobil itu.

fauzan langsung dilarikan ke rumah sakit oleh warga setempat, nafasnya masih tersengal-

sengal. Ayah dan ibu belum juga datang, hanya aku yang menemani fauzan di mobil ambulance.

Tiba-tiba saja hati kecilku merasa terbuka dan iba, aku merasa sangat kasihan dengan adikku, baru

kali ini aku bisa sayang fauzan. Ya, baru kali ini. Air matakupun semakin menjadi jadi  saat melihat

darah yang mengalir di dahi fauzan.

“Kak rozaq.. Fauzan sangat sayang sama kakak”, katanya.

“Kakak juga kok, Zan”. kataku paruh.

“Maafkan Fauzan  ya kak, jika selama ini Fauzan belum bisa menjadi adik yang baik buat kakak”.

Tubuhku kaku, wajahku ikut pasi. Mobil ambulance tetap melaju kencang, kira-kira 7 menit lagi akan

sampai di rumah sakit.

“Kakak,,, bolehkah Fauzan  berpesan pada kakak..”, katanya pasrah.

“Iya, silahkan Fauzan”, tanganku masih berpegangan dengan tangannya, dan semakin kuat aku

memegangnya.

“Sejak dulu Fauzan tahu, nilai kakak selalu mengecewakan ayah dan ibu. Dan di situ, Fauzan sendiri

kadang bisa terharu pada perjuangan kakak untuk bisa berubah menjadi lebih baik. Fauzan tahu kok

kakak sering bangun malam, sholat tahajjud, setelah itu belajar sampai Subuh. Fauzan tau itu kak,

tapi sayangnya, Allah selalu berkehendak lain, nilai kakak selalu saja jelek, hingga ayah, ibu, dan

semua orang menjauhi kakak”.

Suaranya paruh, darah masih tetap membasahi tubuh fauzan yang masih terbilang mungil.

Matanya terlihat menahan air mata untuk jatuh, sedangkan aku, air mataku terpancar deras tak

terbendung. Aku salut dengan adikku, aku baru sadar bahwa selama ini adikku selalu

memperhatikan aktifitasku.

“Namun di satu sisi, disadari atau tidak, sebenarnya bakat kakak itu tidak di bidang mata pelajaran,

tapi bakat kakak itu di suara emas kakak”. Katanya sambil tersenyum kecil.

“Suara kakak itu hebat, namun kakak tidak pernah berani menunjukan suara kakak di depan orang

lain, hanya kakak sendiri yang bisa menikmati suara kakak. Nyatanya, nilai kesenian kakak kemarin

bagus kan? Dan tidak merah sendiri! Itulah sebabnya, ternyata Allah memberikan bakat kakak itu

pada suara kakak, bukan di bidang yang lain. Jadi Fauzan berpesan, terus kembangkan bakat kakak,

buktikan kalau kakak punya bakat dan kakak bisa sukses dengan suara ka...kak...........”, suara fauzan

putus, aku semakin khawatir, matanya tidak berkedip, nafasnya yang tadinya tersendal-sendal kini

tidak ada lagi nafasnya. Tubuhnya kaku, jantungnya tak berdetak sedikitpun. Ya Allah, kenapa fauzan

meninggalkanku. Kenapa dia meninggalkanku di saat aku bisa menyayanginya sebagai adik

kandungku? Ya, ini semua salahku, salahku karena aku tidak bisa menjaganya dengan baik.

..................................................

Pagi ini aku berangkat sekolah sendirian. sejak kejadian meninggalnya adikku kemarin,  ayah

tak mau lagi mengantarku pergi ke sekolah. Di saat seperti inilah aku selalu merindukan

fauzan,adikku. Aku merenung, kenapa dulu aku membencinya? Bodoh sekali diriku. ”Fauzan, kakak

kangen sekali sama kamu”, gumamku. Sesampainya di sekolah, terdengar alunan suara musik yang

membahana di halaman sekolah dan sekitarnya. Aku menghampirinya, dan kudekati temanku.

“Ahmad, ada acara apa ini, kok rame banget?!”, tanyaku pada Ahmad. Dia teman sebangkuku.

Dialah satu-satunya orang yang mau berteman denganku.

“Oh, ini ada lomba menyanyi antar siswa dan guru”, jawabnya, sambil mempersilahkan aku duduk

bersanding dengannya.

“Oke anak-anak, bagaimana penampilan bagas dari kelas 5A tadi? Bagus tidak? Tepuk tangannya

dong!”, kata pemandu acara dalam lomba itu. “Oke langsung saja kita panggilkan peserta

selanjutnya adalah Rozak dari kelas 6B”, katanya.

Aku bingung, kenapa bisa aku? padahal aku belum pernah mendaftarkan diri sebagai peserta lomba

ini ? Tahu acara ini pun baru saja tadi? Terus siapa yang mendaftarkan aku?.

“Tidak usah kaget kawan,sebenarnya sebelum adikmu fauzan meninggal, dia memintaku

menemaninya untuk mendaftarkan dirimu untuk ikut lomba ini, karena dia ingin sekali membantu

kamu untuk menemukan bakat aslimu. Buruan sana maju!jangan kecewakan keinginan

adikmu,fauzan”.

“Adikku???...”, hatiku terasa remuk redam, rasanya air mataku tak bisa terbendung. Segitunya

adikku memperhatikanku. Maafkan kakakmu ini, Fauzan.

“Kamu pasti bisa!”, suara Ahmad membangunkan lamunanku.

Aku naik ke atas panggung dengan degub jantung yang menegangkan, keringat-keringat

berseluncuran membasahi tubuhku. dan lihatlah...! Banyak sekali yang meremehkan aku, sepertinya

mereka semua memandangku dengan sebelah mata. Tapi tidak apalah, semua demi Fauzan apapun

akan kulakukan. Akhirnya, kulantunkan sebuah lagu kesukaan Fauzan yang sering ia nyanyikan di

saat senja tiba.

“Lagu ini berjudul, merindukanmu”. Dan lagu ini saya persembahkan untuk adik saya tercinta,

Fauzan”.

…..............................…

Beberapa tahun kemudian, akhirnya aku bisa memperoleh kebahagiaan dalam hidupku,

setelah berbanting-banting peluh, aku dinobatkan menjadi seorang penyayi yang bisa go

international. Siapa juga yang tidak senang dengan predikat itu. Ternyata suaraku bisa diterima

dengan baik oleh masyarakat, hidupku pun dipenuhi dengan kegiatan jadwal manggung. Hingga

akupun lalai akan perintah agama. Kehidupanku pun sangat mewah.dalam waktu sebulan, bisa saja

aku mendapatkan bayaran sebanyak 100 juta, atau malah kalau lagi ada manggung di luar bisa saja

sampai 2 Milyar perbulan. Sekarang hidupku serba terpenuhi. Wanita-wanita pun sangat mudah aku

dapatkan. Sedangkan nasib orang tuaku? Ah, aku sudah tidak mau merajuk pada mereka. Aku sudah

tidak menghiraukan mereka, entah mereka masih hidup atau sudah mati, tidak peduli aku pada

mereka. 1 tahun yang lalu mereka mencariku dan memohon-mohon padaku untuk pulang, tapi buat

apa aku kembali? Dulu mereka memperlakukan diriku sedemikian rupa, bahkan mereka sendiri yang

berani mengusirku dari rumah waktu masih SMA. Sedangkan sekarang? Hidupku sudah bahagia,

dengan harta, dengan segalanya. Sesekali setelah manggung usai, tak ketinggalan diriku berpesta

pesta dengan beberapa botol minuman berakohol. Ya,.. buat merefreskan pikiranku sejenak.

“Roy, buruan nanti pesawatnya berangkat jam 09.00”, kata managerku.

“Siap”, kataku.

Oh ya, perlu diketahui bahwa namaku bukan lagi Rozak, namun semenjak menjadi populer, namaku

berubah menjadi Roy, sebuah nama yang sangat keren tentunya. Kali ini kebetulan jadwal

manggungku di Amerika. Ya, beginilah kalau sudah menjadi orang sukses.

Pesawatpun berangkat, melaju sangat kencang seperti roket. Aku sudah tidak sabar

menginjak tanah Amerika lagi. 2 tahun yang lalu aku juga pernah manggung di Amerika, dan

sekarang ingin rasanya segera berjumpa dengan penggemarku di sana lagi dan bisa merayakan pesta

di sana. Di tengah-tengah perjalanan, sepertinya pesawat yang aku naiki ada sedikit kerusakan pada

mesinnya, aku merasa takut. Perlahan pesawat terbang tanpa keseimbangan, dan

akhirnya........................

...................................................................

Sedang di mana diriku? Kenapa orang tuaku dan semuanya menangisiku. Loh, kenapa bunga-

bunga tersebar di tempat ini, acara apaan ini, kenapa yang ada hanya suara senandung ayat-ayat

suci al-Qur’an. Aku ingin memberontak, kenapa tidak laguku saja yang dilantunkan?

“Yang sabar ya, Pak, Buk.. biarkan dia tenang bersama adiknya di surga”, kata sesorang untuk

menghibur orang tuaku.

Air mataku tak terbendung lagi. Aku baru sadar, ternyata aku sudah meninggal dunia dan

tentunya aku sudah meninggalkan kemewahan dunia ini. Aku juga tak ingat kenapa aku bisa

meninggal dunia? Ah, bibirku berusaha bertanya-tanya. Tapi percuma saja, langkah demi langkah,

jasadku disemayamkan di tempat yang mungil, gelap, jijik. Dan sedikit demi sedikit tubuhku

tertimbun dengan gelapnya tanah.

................................................................

Cambukan selalu mengenai tubuhku, belum ada pertanyaan dari orang itu yang bisa aku

jawab.

“Manusia apa-apaan kamu ini, pertanyaanku belum ada yang bisa kamu jawab. Sekarang aku tanya

lagi, apa agamamu? “ Lagi-lagi aku bingung, rasanya diriku ingin memprotes dengan semua ini.

“Aduh..... sakit tau... kenapa kamu tidak menyuruhku menyanyi saja, dari pada harus menjawab

pertanyaanmu yang tidak berguna itu?”, kataku dengan tegas. Namun, dia hanya tersenyum basi, ia

memberikanku cambukan yang semakin keras.

”Aduh.. kamu itu benar-benar tidak tahu siapa saya ya..! Bisa saja nanti saya membayar lebih pada

para bodyguardku untuk membalasmu, tunggu saja!”.

Aku terkejut dengan apa yang aku lihat di depan mataku, aku ingin meronta-ronta sejadi-

jadinya. Sehiliran api yang membara menerjang tubuhku. Namun di satu sisi aku bisa melihat jauh di

sana, di taman yang indah ada seorang bocah yang sedang bermanjakan diri dengan keindahan

taman itu. Ya, dia tak lain adalah Fauzan, adikku. Perlahan ia mendekatiku dan berkata padaku,

”Fauzan kecewa sekali dengan apa yang Kakak perbuat. Kesuksesan telah menipu kehidupan Kakak,

Fauzan kecewa, Kak”.

Fauzan meninggalkanku dengan jejak tangis yang mendalam. Dia terlihat sedih melihatku

begini. Aku jadi merasa bersalah dengan adikku, Fauzan. “Maafkan Kakak, Fauzan!”. Suara tangisku

meronta-ronta, rasanya aku ingin memeluk tubuh Fauzan. Meminta maaf atas kebodohanku selama

ini. ”Fauzan......” ucapku. Namun kobaran api selalu saja menyembur badanku, cambukan demi

cambukan pun semakin keras. Jujur aku sudah tak tahan lagi dengan semua ini.[]

Goresan pena : Muhammad Rais Syakur

No comments:

Ads Inside Post