Cerpen
“Sakit, sakit, sakit”, rintihan suaraku terus menggelegar di tempat yang sempit ini, gelap,
kotor dan menjijijkan. Dibarengi dengan hentakan pecut dari seseorang yang belum pernah aku lihat
sebelumnya. Dia nampak ganas, hitam kelam, kekar dan beringas. Aku tak tahu siapa sebenarnya
makhluk yang keji itu. berani sekali dia mencambuk tubuhku hingga luka seperti ini. diriku serasa
ingin memberontak dengan keadaan ini. namun tubuhku sulit untuk memberontaknya, aku hanya
lesu menerima semua keadaan. “Hei manusia, aku tanya sekali lagi siapa Tuhanmu?”, tanyanya
kepadaku. sedari tadi dia hanya mencambuk tubuhku karena tidak bisa menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang dilontarkanya padaku. “Tuhan?? Aku tidak tahu apa itu Tuhan? Lagian buat apa kau
bertanya padaku siapa itu Tuhan? Apakah itu penting?”. Kali ini pecutannya semakin keras, aku tak
bisa menahan tangisku.
“Siapa Nabimu?” Dia bertanya lagi padaku dengan wajah yang ganas dan tak bersahabat.
Tapi lagi-lagi pertanyaannya membuatku menjadi takut, aku takut sebuah cambukan menghantam
tubuhku lagi karena tidak bisa menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba lidahku memaksaku berkata,
“Aku tidak tahu, lagian kenapa kamu bertanya padaku seperti itu? Tidak adakah pertanyaan yang
lebih mudah dari itu?? Mungkin kau bisa bertanya padaku berapa hartaku, kekayaanku di dunia atau
mungkin kau bisa tanya sebagus apa suara menyanyiku?? Dengan senang hati aku akan
menjawabnya dan mungkin saja kamu akan kagum padaku.” Lagi-lagi pecutan kerasnya menerjang
tubuh mungilku.
…………................................................................................
“Gubrag!”
Aku sangat benci dengan garis takdir yang sudah Allah tetapkan untukku. Untuk apa Tuhan
menciptakanku? sedangkan aku hanya ditakdirkan untuk menyandang predikat BODOH dari semua
orang yang mengenalku . Bahkan tak sedkit orang yang sangat membenci dan menjauhi diriku.
Begitu pula dengan orang tua kandungku. Dia sangat membenciku dibanding dengan fauzan.adik
kandungku, dia selalu membanding-bandingkan kepandaianku dengan kepandaiannya. sebab itulah
aku menjadi sangat benci dan muak pada fauzan,adikku. Kemana-mana orang tuaku pergi,
fauzanlah yang selalu diajaknya, sedangkan aku hanya disuruh jaga rumah untuk belajar, cukup. Aku
masih ingat dengan kejadian kemarin pagi, saat ayahku dengan gerang memukulku setelah
pengambilan nilai raport semester 1.
“Dasar anak bodoh, kenapa nilai-nilaimu memalukan seperti ini? Lihat, hanya satu nilai
pelajaran saja yang tidak merah, dan yang lainnya, merah semuanya... Apa kau tak punya malu
dengan adikmu? Dia peringkat 1 di kelasnya, sedangkan kamu?? peringkat terakhir, huu bodoh....!
ayah malu punya anak seperti kamu Rozak ”, hardik ayahku. Tidak heran kalau ayah dan ibu akan
marah besar ketika melihat nilaiku. Nilaiku semuanya merah, kecuali nilai kesenian saja yang cukup
menonjol bagus.beginilah, Ayah selalu memukulku ketika melihat nilaiku. Kali ini ayah tidak hanya
memukulku, tapi uang jajankupun juga dikurangi, sedang uang jajan adikku malah ditambah. Aku
jadi semakin benci sekali dengan adikku.
“Maafkan aku, Ayah,,,” kataku.
“Pokoknya, kalau sampai nilaimu seperti ini lagi, Ayah tidak akan memaafkanmu”.
Hah.. terlihat di pojok ruangan depan, fauzan yang sedari tadi sedang melihatku dengan
canggung, dia terlihat mengasihi diriku. Ketika ayah meninggalkanku, fauzan menghampiriku dengan
penuh iba “Kakak sabar saja ya, maafkan perilaku Ayah yang tadi”, kata fauzan lugu. Kutinggalakan
dia sendirian, kulempar senyum kebencian padanya, dan aku pun lebih memilih mengurung diri di
kamar. Sambil memetik gitar dan menyayikan beberapa lagu. ya karena hanya dengan menyanyi
suasana menjadi tenang dan damai.
....................................................
Tibalah hari pertama aku masuk sekolah setelah liburan panjang semester 1 ini . Namun, kali
ini ayah tidak bisa mengantarkan aku dan fauzan untuk berangkat sekolah. Dan akupun harus
berangkat ke sekolah bersama dengannya, kebetulan sekolahku dengannya sama, yang
membedakan hanya tingkatannya saja. Aku kelas 6 SD, sedangkan dia masih kelas 4 SD. Sebenarnya
aku malas satu sekolah dengannya,namun ini semua kemauan orang tuaku. Supaya aku bisa
mengawasi fauzan di sekolah.
Di perjalanan menuju sekolah, aku hanya bernyanyi-nyayi sendiri ketimbang berbicara dengan
fauzan.
”Kakak kok diam terus ketika fauzan ngajak bicara”, katanya lugu.
“Terserah kakak dong”, jawabku singkat sembari berlari meninggalkannya. Aku berlari menuju
gerbang sekolah yang sudah terlihat di sana. Aku tidak mempedulikan nasib fauzan. Yang aku
pikirkan hanya cepat-cepat sampai gerbang sekolah dan menjauh darinya. “Akhirnya sampai
juga....”, batinku. Aku mencoba melihat fauzan kebelakang, namun sayat-sayat mataku tertuju pada
sebuah kerumunan. Setelah aku lihat, dan ternyata itu fauzan,adikku.
Ternyata nasib baik tidak menimpa adikku, ketika dia mau mengejarku, dia terjatuh di
tengah jalan, dan saat itulah ada sebuah mobil yang sedang melaju kencang, dan akhirnya dengan
cepat mobil itu menyambar tubuh fauzan dan dia pun terpental jauh dari mobil itu.
fauzan langsung dilarikan ke rumah sakit oleh warga setempat, nafasnya masih tersengal-
sengal. Ayah dan ibu belum juga datang, hanya aku yang menemani fauzan di mobil ambulance.
Tiba-tiba saja hati kecilku merasa terbuka dan iba, aku merasa sangat kasihan dengan adikku, baru
kali ini aku bisa sayang fauzan. Ya, baru kali ini. Air matakupun semakin menjadi jadi saat melihat
darah yang mengalir di dahi fauzan.
“Kak rozaq.. Fauzan sangat sayang sama kakak”, katanya.
“Kakak juga kok, Zan”. kataku paruh.
“Maafkan Fauzan ya kak, jika selama ini Fauzan belum bisa menjadi adik yang baik buat kakak”.
Tubuhku kaku, wajahku ikut pasi. Mobil ambulance tetap melaju kencang, kira-kira 7 menit lagi akan
sampai di rumah sakit.
“Kakak,,, bolehkah Fauzan berpesan pada kakak..”, katanya pasrah.
“Iya, silahkan Fauzan”, tanganku masih berpegangan dengan tangannya, dan semakin kuat aku
memegangnya.
“Sejak dulu Fauzan tahu, nilai kakak selalu mengecewakan ayah dan ibu. Dan di situ, Fauzan sendiri
kadang bisa terharu pada perjuangan kakak untuk bisa berubah menjadi lebih baik. Fauzan tahu kok
kakak sering bangun malam, sholat tahajjud, setelah itu belajar sampai Subuh. Fauzan tau itu kak,
tapi sayangnya, Allah selalu berkehendak lain, nilai kakak selalu saja jelek, hingga ayah, ibu, dan
semua orang menjauhi kakak”.
Suaranya paruh, darah masih tetap membasahi tubuh fauzan yang masih terbilang mungil.
Matanya terlihat menahan air mata untuk jatuh, sedangkan aku, air mataku terpancar deras tak
terbendung. Aku salut dengan adikku, aku baru sadar bahwa selama ini adikku selalu
memperhatikan aktifitasku.
“Namun di satu sisi, disadari atau tidak, sebenarnya bakat kakak itu tidak di bidang mata pelajaran,
tapi bakat kakak itu di suara emas kakak”. Katanya sambil tersenyum kecil.
“Suara kakak itu hebat, namun kakak tidak pernah berani menunjukan suara kakak di depan orang
lain, hanya kakak sendiri yang bisa menikmati suara kakak. Nyatanya, nilai kesenian kakak kemarin
bagus kan? Dan tidak merah sendiri! Itulah sebabnya, ternyata Allah memberikan bakat kakak itu
pada suara kakak, bukan di bidang yang lain. Jadi Fauzan berpesan, terus kembangkan bakat kakak,
buktikan kalau kakak punya bakat dan kakak bisa sukses dengan suara ka...kak...........”, suara fauzan
putus, aku semakin khawatir, matanya tidak berkedip, nafasnya yang tadinya tersendal-sendal kini
tidak ada lagi nafasnya. Tubuhnya kaku, jantungnya tak berdetak sedikitpun. Ya Allah, kenapa fauzan
meninggalkanku. Kenapa dia meninggalkanku di saat aku bisa menyayanginya sebagai adik
kandungku? Ya, ini semua salahku, salahku karena aku tidak bisa menjaganya dengan baik.
..................................................
Pagi ini aku berangkat sekolah sendirian. sejak kejadian meninggalnya adikku kemarin, ayah
tak mau lagi mengantarku pergi ke sekolah. Di saat seperti inilah aku selalu merindukan
fauzan,adikku. Aku merenung, kenapa dulu aku membencinya? Bodoh sekali diriku. ”Fauzan, kakak
kangen sekali sama kamu”, gumamku. Sesampainya di sekolah, terdengar alunan suara musik yang
membahana di halaman sekolah dan sekitarnya. Aku menghampirinya, dan kudekati temanku.
“Ahmad, ada acara apa ini, kok rame banget?!”, tanyaku pada Ahmad. Dia teman sebangkuku.
Dialah satu-satunya orang yang mau berteman denganku.
“Oh, ini ada lomba menyanyi antar siswa dan guru”, jawabnya, sambil mempersilahkan aku duduk
bersanding dengannya.
“Oke anak-anak, bagaimana penampilan bagas dari kelas 5A tadi? Bagus tidak? Tepuk tangannya
dong!”, kata pemandu acara dalam lomba itu. “Oke langsung saja kita panggilkan peserta
selanjutnya adalah Rozak dari kelas 6B”, katanya.
Aku bingung, kenapa bisa aku? padahal aku belum pernah mendaftarkan diri sebagai peserta lomba
ini ? Tahu acara ini pun baru saja tadi? Terus siapa yang mendaftarkan aku?.
“Tidak usah kaget kawan,sebenarnya sebelum adikmu fauzan meninggal, dia memintaku
menemaninya untuk mendaftarkan dirimu untuk ikut lomba ini, karena dia ingin sekali membantu
kamu untuk menemukan bakat aslimu. Buruan sana maju!jangan kecewakan keinginan
adikmu,fauzan”.
“Adikku???...”, hatiku terasa remuk redam, rasanya air mataku tak bisa terbendung. Segitunya
adikku memperhatikanku. Maafkan kakakmu ini, Fauzan.
“Kamu pasti bisa!”, suara Ahmad membangunkan lamunanku.
Aku naik ke atas panggung dengan degub jantung yang menegangkan, keringat-keringat
berseluncuran membasahi tubuhku. dan lihatlah...! Banyak sekali yang meremehkan aku, sepertinya
mereka semua memandangku dengan sebelah mata. Tapi tidak apalah, semua demi Fauzan apapun
akan kulakukan. Akhirnya, kulantunkan sebuah lagu kesukaan Fauzan yang sering ia nyanyikan di
saat senja tiba.
“Lagu ini berjudul, merindukanmu”. Dan lagu ini saya persembahkan untuk adik saya tercinta,
Fauzan”.
…..............................…
Beberapa tahun kemudian, akhirnya aku bisa memperoleh kebahagiaan dalam hidupku,
setelah berbanting-banting peluh, aku dinobatkan menjadi seorang penyayi yang bisa go
international. Siapa juga yang tidak senang dengan predikat itu. Ternyata suaraku bisa diterima
dengan baik oleh masyarakat, hidupku pun dipenuhi dengan kegiatan jadwal manggung. Hingga
akupun lalai akan perintah agama. Kehidupanku pun sangat mewah.dalam waktu sebulan, bisa saja
aku mendapatkan bayaran sebanyak 100 juta, atau malah kalau lagi ada manggung di luar bisa saja
sampai 2 Milyar perbulan. Sekarang hidupku serba terpenuhi. Wanita-wanita pun sangat mudah aku
dapatkan. Sedangkan nasib orang tuaku? Ah, aku sudah tidak mau merajuk pada mereka. Aku sudah
tidak menghiraukan mereka, entah mereka masih hidup atau sudah mati, tidak peduli aku pada
mereka. 1 tahun yang lalu mereka mencariku dan memohon-mohon padaku untuk pulang, tapi buat
apa aku kembali? Dulu mereka memperlakukan diriku sedemikian rupa, bahkan mereka sendiri yang
berani mengusirku dari rumah waktu masih SMA. Sedangkan sekarang? Hidupku sudah bahagia,
dengan harta, dengan segalanya. Sesekali setelah manggung usai, tak ketinggalan diriku berpesta
pesta dengan beberapa botol minuman berakohol. Ya,.. buat merefreskan pikiranku sejenak.
“Roy, buruan nanti pesawatnya berangkat jam 09.00”, kata managerku.
“Siap”, kataku.
Oh ya, perlu diketahui bahwa namaku bukan lagi Rozak, namun semenjak menjadi populer, namaku
berubah menjadi Roy, sebuah nama yang sangat keren tentunya. Kali ini kebetulan jadwal
manggungku di Amerika. Ya, beginilah kalau sudah menjadi orang sukses.
Pesawatpun berangkat, melaju sangat kencang seperti roket. Aku sudah tidak sabar
menginjak tanah Amerika lagi. 2 tahun yang lalu aku juga pernah manggung di Amerika, dan
sekarang ingin rasanya segera berjumpa dengan penggemarku di sana lagi dan bisa merayakan pesta
di sana. Di tengah-tengah perjalanan, sepertinya pesawat yang aku naiki ada sedikit kerusakan pada
mesinnya, aku merasa takut. Perlahan pesawat terbang tanpa keseimbangan, dan
akhirnya........................
...................................................................
Sedang di mana diriku? Kenapa orang tuaku dan semuanya menangisiku. Loh, kenapa bunga-
bunga tersebar di tempat ini, acara apaan ini, kenapa yang ada hanya suara senandung ayat-ayat
suci al-Qur’an. Aku ingin memberontak, kenapa tidak laguku saja yang dilantunkan?
“Yang sabar ya, Pak, Buk.. biarkan dia tenang bersama adiknya di surga”, kata sesorang untuk
menghibur orang tuaku.
Air mataku tak terbendung lagi. Aku baru sadar, ternyata aku sudah meninggal dunia dan
tentunya aku sudah meninggalkan kemewahan dunia ini. Aku juga tak ingat kenapa aku bisa
meninggal dunia? Ah, bibirku berusaha bertanya-tanya. Tapi percuma saja, langkah demi langkah,
jasadku disemayamkan di tempat yang mungil, gelap, jijik. Dan sedikit demi sedikit tubuhku
tertimbun dengan gelapnya tanah.
................................................................
Cambukan selalu mengenai tubuhku, belum ada pertanyaan dari orang itu yang bisa aku
jawab.
“Manusia apa-apaan kamu ini, pertanyaanku belum ada yang bisa kamu jawab. Sekarang aku tanya
lagi, apa agamamu? “ Lagi-lagi aku bingung, rasanya diriku ingin memprotes dengan semua ini.
“Aduh..... sakit tau... kenapa kamu tidak menyuruhku menyanyi saja, dari pada harus menjawab
pertanyaanmu yang tidak berguna itu?”, kataku dengan tegas. Namun, dia hanya tersenyum basi, ia
memberikanku cambukan yang semakin keras.
”Aduh.. kamu itu benar-benar tidak tahu siapa saya ya..! Bisa saja nanti saya membayar lebih pada
para bodyguardku untuk membalasmu, tunggu saja!”.
Aku terkejut dengan apa yang aku lihat di depan mataku, aku ingin meronta-ronta sejadi-
jadinya. Sehiliran api yang membara menerjang tubuhku. Namun di satu sisi aku bisa melihat jauh di
sana, di taman yang indah ada seorang bocah yang sedang bermanjakan diri dengan keindahan
taman itu. Ya, dia tak lain adalah Fauzan, adikku. Perlahan ia mendekatiku dan berkata padaku,
”Fauzan kecewa sekali dengan apa yang Kakak perbuat. Kesuksesan telah menipu kehidupan Kakak,
Fauzan kecewa, Kak”.
Fauzan meninggalkanku dengan jejak tangis yang mendalam. Dia terlihat sedih melihatku
begini. Aku jadi merasa bersalah dengan adikku, Fauzan. “Maafkan Kakak, Fauzan!”. Suara tangisku
meronta-ronta, rasanya aku ingin memeluk tubuh Fauzan. Meminta maaf atas kebodohanku selama
ini. ”Fauzan......” ucapku. Namun kobaran api selalu saja menyembur badanku, cambukan demi
cambukan pun semakin keras. Jujur aku sudah tak tahan lagi dengan semua ini.[]
Goresan pena : Muhammad Rais Syakur
“Sakit, sakit, sakit”, rintihan suaraku terus menggelegar di tempat yang sempit ini, gelap,
kotor dan menjijijkan. Dibarengi dengan hentakan pecut dari seseorang yang belum pernah aku lihat
sebelumnya. Dia nampak ganas, hitam kelam, kekar dan beringas. Aku tak tahu siapa sebenarnya
makhluk yang keji itu. berani sekali dia mencambuk tubuhku hingga luka seperti ini. diriku serasa
ingin memberontak dengan keadaan ini. namun tubuhku sulit untuk memberontaknya, aku hanya
lesu menerima semua keadaan. “Hei manusia, aku tanya sekali lagi siapa Tuhanmu?”, tanyanya
kepadaku. sedari tadi dia hanya mencambuk tubuhku karena tidak bisa menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang dilontarkanya padaku. “Tuhan?? Aku tidak tahu apa itu Tuhan? Lagian buat apa kau
bertanya padaku siapa itu Tuhan? Apakah itu penting?”. Kali ini pecutannya semakin keras, aku tak
bisa menahan tangisku.
“Siapa Nabimu?” Dia bertanya lagi padaku dengan wajah yang ganas dan tak bersahabat.
Tapi lagi-lagi pertanyaannya membuatku menjadi takut, aku takut sebuah cambukan menghantam
tubuhku lagi karena tidak bisa menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba lidahku memaksaku berkata,
“Aku tidak tahu, lagian kenapa kamu bertanya padaku seperti itu? Tidak adakah pertanyaan yang
lebih mudah dari itu?? Mungkin kau bisa bertanya padaku berapa hartaku, kekayaanku di dunia atau
mungkin kau bisa tanya sebagus apa suara menyanyiku?? Dengan senang hati aku akan
menjawabnya dan mungkin saja kamu akan kagum padaku.” Lagi-lagi pecutan kerasnya menerjang
tubuh mungilku.
…………................................................................................
“Gubrag!”
Aku sangat benci dengan garis takdir yang sudah Allah tetapkan untukku. Untuk apa Tuhan
menciptakanku? sedangkan aku hanya ditakdirkan untuk menyandang predikat BODOH dari semua
orang yang mengenalku . Bahkan tak sedkit orang yang sangat membenci dan menjauhi diriku.
Begitu pula dengan orang tua kandungku. Dia sangat membenciku dibanding dengan fauzan.adik
kandungku, dia selalu membanding-bandingkan kepandaianku dengan kepandaiannya. sebab itulah
aku menjadi sangat benci dan muak pada fauzan,adikku. Kemana-mana orang tuaku pergi,
fauzanlah yang selalu diajaknya, sedangkan aku hanya disuruh jaga rumah untuk belajar, cukup. Aku
masih ingat dengan kejadian kemarin pagi, saat ayahku dengan gerang memukulku setelah
pengambilan nilai raport semester 1.
“Dasar anak bodoh, kenapa nilai-nilaimu memalukan seperti ini? Lihat, hanya satu nilai
pelajaran saja yang tidak merah, dan yang lainnya, merah semuanya... Apa kau tak punya malu
dengan adikmu? Dia peringkat 1 di kelasnya, sedangkan kamu?? peringkat terakhir, huu bodoh....!
ayah malu punya anak seperti kamu Rozak ”, hardik ayahku. Tidak heran kalau ayah dan ibu akan
marah besar ketika melihat nilaiku. Nilaiku semuanya merah, kecuali nilai kesenian saja yang cukup
menonjol bagus.beginilah, Ayah selalu memukulku ketika melihat nilaiku. Kali ini ayah tidak hanya
memukulku, tapi uang jajankupun juga dikurangi, sedang uang jajan adikku malah ditambah. Aku
jadi semakin benci sekali dengan adikku.
“Maafkan aku, Ayah,,,” kataku.
“Pokoknya, kalau sampai nilaimu seperti ini lagi, Ayah tidak akan memaafkanmu”.
Hah.. terlihat di pojok ruangan depan, fauzan yang sedari tadi sedang melihatku dengan
canggung, dia terlihat mengasihi diriku. Ketika ayah meninggalkanku, fauzan menghampiriku dengan
penuh iba “Kakak sabar saja ya, maafkan perilaku Ayah yang tadi”, kata fauzan lugu. Kutinggalakan
dia sendirian, kulempar senyum kebencian padanya, dan aku pun lebih memilih mengurung diri di
kamar. Sambil memetik gitar dan menyayikan beberapa lagu. ya karena hanya dengan menyanyi
suasana menjadi tenang dan damai.
....................................................
Tibalah hari pertama aku masuk sekolah setelah liburan panjang semester 1 ini . Namun, kali
ini ayah tidak bisa mengantarkan aku dan fauzan untuk berangkat sekolah. Dan akupun harus
berangkat ke sekolah bersama dengannya, kebetulan sekolahku dengannya sama, yang
membedakan hanya tingkatannya saja. Aku kelas 6 SD, sedangkan dia masih kelas 4 SD. Sebenarnya
aku malas satu sekolah dengannya,namun ini semua kemauan orang tuaku. Supaya aku bisa
mengawasi fauzan di sekolah.
Di perjalanan menuju sekolah, aku hanya bernyanyi-nyayi sendiri ketimbang berbicara dengan
fauzan.
”Kakak kok diam terus ketika fauzan ngajak bicara”, katanya lugu.
“Terserah kakak dong”, jawabku singkat sembari berlari meninggalkannya. Aku berlari menuju
gerbang sekolah yang sudah terlihat di sana. Aku tidak mempedulikan nasib fauzan. Yang aku
pikirkan hanya cepat-cepat sampai gerbang sekolah dan menjauh darinya. “Akhirnya sampai
juga....”, batinku. Aku mencoba melihat fauzan kebelakang, namun sayat-sayat mataku tertuju pada
sebuah kerumunan. Setelah aku lihat, dan ternyata itu fauzan,adikku.
Ternyata nasib baik tidak menimpa adikku, ketika dia mau mengejarku, dia terjatuh di
tengah jalan, dan saat itulah ada sebuah mobil yang sedang melaju kencang, dan akhirnya dengan
cepat mobil itu menyambar tubuh fauzan dan dia pun terpental jauh dari mobil itu.
fauzan langsung dilarikan ke rumah sakit oleh warga setempat, nafasnya masih tersengal-
sengal. Ayah dan ibu belum juga datang, hanya aku yang menemani fauzan di mobil ambulance.
Tiba-tiba saja hati kecilku merasa terbuka dan iba, aku merasa sangat kasihan dengan adikku, baru
kali ini aku bisa sayang fauzan. Ya, baru kali ini. Air matakupun semakin menjadi jadi saat melihat
darah yang mengalir di dahi fauzan.
“Kak rozaq.. Fauzan sangat sayang sama kakak”, katanya.
“Kakak juga kok, Zan”. kataku paruh.
“Maafkan Fauzan ya kak, jika selama ini Fauzan belum bisa menjadi adik yang baik buat kakak”.
Tubuhku kaku, wajahku ikut pasi. Mobil ambulance tetap melaju kencang, kira-kira 7 menit lagi akan
sampai di rumah sakit.
“Kakak,,, bolehkah Fauzan berpesan pada kakak..”, katanya pasrah.
“Iya, silahkan Fauzan”, tanganku masih berpegangan dengan tangannya, dan semakin kuat aku
memegangnya.
“Sejak dulu Fauzan tahu, nilai kakak selalu mengecewakan ayah dan ibu. Dan di situ, Fauzan sendiri
kadang bisa terharu pada perjuangan kakak untuk bisa berubah menjadi lebih baik. Fauzan tahu kok
kakak sering bangun malam, sholat tahajjud, setelah itu belajar sampai Subuh. Fauzan tau itu kak,
tapi sayangnya, Allah selalu berkehendak lain, nilai kakak selalu saja jelek, hingga ayah, ibu, dan
semua orang menjauhi kakak”.
Suaranya paruh, darah masih tetap membasahi tubuh fauzan yang masih terbilang mungil.
Matanya terlihat menahan air mata untuk jatuh, sedangkan aku, air mataku terpancar deras tak
terbendung. Aku salut dengan adikku, aku baru sadar bahwa selama ini adikku selalu
memperhatikan aktifitasku.
“Namun di satu sisi, disadari atau tidak, sebenarnya bakat kakak itu tidak di bidang mata pelajaran,
tapi bakat kakak itu di suara emas kakak”. Katanya sambil tersenyum kecil.
“Suara kakak itu hebat, namun kakak tidak pernah berani menunjukan suara kakak di depan orang
lain, hanya kakak sendiri yang bisa menikmati suara kakak. Nyatanya, nilai kesenian kakak kemarin
bagus kan? Dan tidak merah sendiri! Itulah sebabnya, ternyata Allah memberikan bakat kakak itu
pada suara kakak, bukan di bidang yang lain. Jadi Fauzan berpesan, terus kembangkan bakat kakak,
buktikan kalau kakak punya bakat dan kakak bisa sukses dengan suara ka...kak...........”, suara fauzan
putus, aku semakin khawatir, matanya tidak berkedip, nafasnya yang tadinya tersendal-sendal kini
tidak ada lagi nafasnya. Tubuhnya kaku, jantungnya tak berdetak sedikitpun. Ya Allah, kenapa fauzan
meninggalkanku. Kenapa dia meninggalkanku di saat aku bisa menyayanginya sebagai adik
kandungku? Ya, ini semua salahku, salahku karena aku tidak bisa menjaganya dengan baik.
..................................................
Pagi ini aku berangkat sekolah sendirian. sejak kejadian meninggalnya adikku kemarin, ayah
tak mau lagi mengantarku pergi ke sekolah. Di saat seperti inilah aku selalu merindukan
fauzan,adikku. Aku merenung, kenapa dulu aku membencinya? Bodoh sekali diriku. ”Fauzan, kakak
kangen sekali sama kamu”, gumamku. Sesampainya di sekolah, terdengar alunan suara musik yang
membahana di halaman sekolah dan sekitarnya. Aku menghampirinya, dan kudekati temanku.
“Ahmad, ada acara apa ini, kok rame banget?!”, tanyaku pada Ahmad. Dia teman sebangkuku.
Dialah satu-satunya orang yang mau berteman denganku.
“Oh, ini ada lomba menyanyi antar siswa dan guru”, jawabnya, sambil mempersilahkan aku duduk
bersanding dengannya.
“Oke anak-anak, bagaimana penampilan bagas dari kelas 5A tadi? Bagus tidak? Tepuk tangannya
dong!”, kata pemandu acara dalam lomba itu. “Oke langsung saja kita panggilkan peserta
selanjutnya adalah Rozak dari kelas 6B”, katanya.
Aku bingung, kenapa bisa aku? padahal aku belum pernah mendaftarkan diri sebagai peserta lomba
ini ? Tahu acara ini pun baru saja tadi? Terus siapa yang mendaftarkan aku?.
“Tidak usah kaget kawan,sebenarnya sebelum adikmu fauzan meninggal, dia memintaku
menemaninya untuk mendaftarkan dirimu untuk ikut lomba ini, karena dia ingin sekali membantu
kamu untuk menemukan bakat aslimu. Buruan sana maju!jangan kecewakan keinginan
adikmu,fauzan”.
“Adikku???...”, hatiku terasa remuk redam, rasanya air mataku tak bisa terbendung. Segitunya
adikku memperhatikanku. Maafkan kakakmu ini, Fauzan.
“Kamu pasti bisa!”, suara Ahmad membangunkan lamunanku.
Aku naik ke atas panggung dengan degub jantung yang menegangkan, keringat-keringat
berseluncuran membasahi tubuhku. dan lihatlah...! Banyak sekali yang meremehkan aku, sepertinya
mereka semua memandangku dengan sebelah mata. Tapi tidak apalah, semua demi Fauzan apapun
akan kulakukan. Akhirnya, kulantunkan sebuah lagu kesukaan Fauzan yang sering ia nyanyikan di
saat senja tiba.
“Lagu ini berjudul, merindukanmu”. Dan lagu ini saya persembahkan untuk adik saya tercinta,
Fauzan”.
…..............................…
Beberapa tahun kemudian, akhirnya aku bisa memperoleh kebahagiaan dalam hidupku,
setelah berbanting-banting peluh, aku dinobatkan menjadi seorang penyayi yang bisa go
international. Siapa juga yang tidak senang dengan predikat itu. Ternyata suaraku bisa diterima
dengan baik oleh masyarakat, hidupku pun dipenuhi dengan kegiatan jadwal manggung. Hingga
akupun lalai akan perintah agama. Kehidupanku pun sangat mewah.dalam waktu sebulan, bisa saja
aku mendapatkan bayaran sebanyak 100 juta, atau malah kalau lagi ada manggung di luar bisa saja
sampai 2 Milyar perbulan. Sekarang hidupku serba terpenuhi. Wanita-wanita pun sangat mudah aku
dapatkan. Sedangkan nasib orang tuaku? Ah, aku sudah tidak mau merajuk pada mereka. Aku sudah
tidak menghiraukan mereka, entah mereka masih hidup atau sudah mati, tidak peduli aku pada
mereka. 1 tahun yang lalu mereka mencariku dan memohon-mohon padaku untuk pulang, tapi buat
apa aku kembali? Dulu mereka memperlakukan diriku sedemikian rupa, bahkan mereka sendiri yang
berani mengusirku dari rumah waktu masih SMA. Sedangkan sekarang? Hidupku sudah bahagia,
dengan harta, dengan segalanya. Sesekali setelah manggung usai, tak ketinggalan diriku berpesta
pesta dengan beberapa botol minuman berakohol. Ya,.. buat merefreskan pikiranku sejenak.
“Roy, buruan nanti pesawatnya berangkat jam 09.00”, kata managerku.
“Siap”, kataku.
Oh ya, perlu diketahui bahwa namaku bukan lagi Rozak, namun semenjak menjadi populer, namaku
berubah menjadi Roy, sebuah nama yang sangat keren tentunya. Kali ini kebetulan jadwal
manggungku di Amerika. Ya, beginilah kalau sudah menjadi orang sukses.
Pesawatpun berangkat, melaju sangat kencang seperti roket. Aku sudah tidak sabar
menginjak tanah Amerika lagi. 2 tahun yang lalu aku juga pernah manggung di Amerika, dan
sekarang ingin rasanya segera berjumpa dengan penggemarku di sana lagi dan bisa merayakan pesta
di sana. Di tengah-tengah perjalanan, sepertinya pesawat yang aku naiki ada sedikit kerusakan pada
mesinnya, aku merasa takut. Perlahan pesawat terbang tanpa keseimbangan, dan
akhirnya........................
...................................................................
Sedang di mana diriku? Kenapa orang tuaku dan semuanya menangisiku. Loh, kenapa bunga-
bunga tersebar di tempat ini, acara apaan ini, kenapa yang ada hanya suara senandung ayat-ayat
suci al-Qur’an. Aku ingin memberontak, kenapa tidak laguku saja yang dilantunkan?
“Yang sabar ya, Pak, Buk.. biarkan dia tenang bersama adiknya di surga”, kata sesorang untuk
menghibur orang tuaku.
Air mataku tak terbendung lagi. Aku baru sadar, ternyata aku sudah meninggal dunia dan
tentunya aku sudah meninggalkan kemewahan dunia ini. Aku juga tak ingat kenapa aku bisa
meninggal dunia? Ah, bibirku berusaha bertanya-tanya. Tapi percuma saja, langkah demi langkah,
jasadku disemayamkan di tempat yang mungil, gelap, jijik. Dan sedikit demi sedikit tubuhku
tertimbun dengan gelapnya tanah.
................................................................
Cambukan selalu mengenai tubuhku, belum ada pertanyaan dari orang itu yang bisa aku
jawab.
“Manusia apa-apaan kamu ini, pertanyaanku belum ada yang bisa kamu jawab. Sekarang aku tanya
lagi, apa agamamu? “ Lagi-lagi aku bingung, rasanya diriku ingin memprotes dengan semua ini.
“Aduh..... sakit tau... kenapa kamu tidak menyuruhku menyanyi saja, dari pada harus menjawab
pertanyaanmu yang tidak berguna itu?”, kataku dengan tegas. Namun, dia hanya tersenyum basi, ia
memberikanku cambukan yang semakin keras.
”Aduh.. kamu itu benar-benar tidak tahu siapa saya ya..! Bisa saja nanti saya membayar lebih pada
para bodyguardku untuk membalasmu, tunggu saja!”.
Aku terkejut dengan apa yang aku lihat di depan mataku, aku ingin meronta-ronta sejadi-
jadinya. Sehiliran api yang membara menerjang tubuhku. Namun di satu sisi aku bisa melihat jauh di
sana, di taman yang indah ada seorang bocah yang sedang bermanjakan diri dengan keindahan
taman itu. Ya, dia tak lain adalah Fauzan, adikku. Perlahan ia mendekatiku dan berkata padaku,
”Fauzan kecewa sekali dengan apa yang Kakak perbuat. Kesuksesan telah menipu kehidupan Kakak,
Fauzan kecewa, Kak”.
Fauzan meninggalkanku dengan jejak tangis yang mendalam. Dia terlihat sedih melihatku
begini. Aku jadi merasa bersalah dengan adikku, Fauzan. “Maafkan Kakak, Fauzan!”. Suara tangisku
meronta-ronta, rasanya aku ingin memeluk tubuh Fauzan. Meminta maaf atas kebodohanku selama
ini. ”Fauzan......” ucapku. Namun kobaran api selalu saja menyembur badanku, cambukan demi
cambukan pun semakin keras. Jujur aku sudah tak tahan lagi dengan semua ini.[]
Goresan pena : Muhammad Rais Syakur
No comments:
Post a Comment