Harum aroma khas embun pagi menemani kakiku memulai melangkah menyusuri jalanan pagi. Sepi
dan sunyi jalanan di pagi kali ini hanya beberapa truk ekspedisi yang melewati jalanan ini. Sebagian
besar orang masih enggan untuk keluar, bahkan untuk membuka jendela saja terasa berat.
Meskipun kebanyakan orang enggan untuk melangkahkan kakinya untuk keluar, tetapi keadaan dan
cita-cita menuntutku untuk tetap pergi ke agen koran dan mendistribusikan koran dengan ontel
yang disediakan oleh Kereta Pos. Teringat dek Abel yang luka di kakinya harus disembuhkan karena ,
membuatku harus mengganti rasa malasku dengan tanggungjawab dan cita-cita. Dek Abel adalah
salah satu korban dari bus yang menabarak barisan anak sekolah yang sedang menunggu jemputan.
Luka dikakinya cukup parah bahkan dokter berkata dek Abel akan mengalami kelumpuhan
sementara.
“Jika dek Abel tidak segera sembuh bagaimana dengan Ayah dan Ibu? Mereka tidak mungkin terus
menjaga dek Abel, apabila mereka terus tidak masuk kerja maka kemungkinan besar mereka akan
dipecat.” Gumamku sambil terus berjalan menyusuri jalan Kasepuhan
“Heii!”
“Eh, ngagetin aja Yo.”
“Yuk, buruan Ci jalanya nanti keburu bos agenya berubah jadi singa. “
“Iya sebentar.”
“Semangat dong, loyo gitu.”
Suara Uyo membongkar fikiranku dipagi itu. Uyo adalah teman seperjuangkanku di Kereta Pos dan
teman sekelas di kampus. Dia adalah orang yang selalu memberiku semangat dan petuah jika aku
sedang tak tahu arah. Istilahnya Uyo bagiku adalah bapak keduaku. Kurang lebih 15 menit sampai di
agen Kereta Pos.
“ Owalah, mbak Cia ini distributor pada keset semua, jam segini belum datang padahal berita ter hot
tentang tabrakan bis lusa harus segera dibaca para pelanggan. Padahal to Mbak, ternyata akibat
tabrakan itu karena sopirnya yang telfon sambil sms an.”Celotehan Bos Agen yang hampir setiap hari
selalu mengeluh karena distributor yang tidak on time.
Tetapi entah mengapa meskipun pagi itu celotehan bos agen dan hentakan semangat Uyo
menggebu-nggebu tetapi fikiranku masih terhadang dengan kondisi dek Abel yang sedang terbaring
di tempat tidur.
“Aku tidak boleh seloyo ini, ada cita dan cinta keluarga yang harus aku perjuangkan. Aku tidak boleh
takut dengan ketakutan dan keraguan yang aku ciptakan sendiri. Koran! Koran!” Rasa ini harus
kubuang jauh-jauh. Sambil mengayuh ontel tua ini aku teringat bahwasanya hari ini di kampus ada
pengumuman beasiswa S2 di London. Selesai mendistribusikan koran kepada para pelanggan. Segera
aku dan Uyo berangkat ke kampus naik angkot nomor 7 jurusan Kota Baru.
“Ci, hati-hati aja lah.” Tegurnya saat aku lompat dari angkot untuk berlari ke menuju majalah dinding
kampus
“Bagaimana mungkin aku bisa pelan, sedangkan pertaruhan mimpiku yang telah lama kugantungkan
akan segera terwujud atau bahkan mungkin hanya sedekar mimpi abu.” Sesegera mungkin kubaca
kertas pengumuman beasiswa di mading. Terus kutelusuri nama-nama penerima beasiswa satu per
satu. Tepat di nomor 7 nama Oxicia Legowo.
“Alhamdulillah Ya Allah, sujud syukur atas segala usaha dan doaku selama ini telah dikabulkan Allah
SWT. Mimpi yang selama ini aku inginkan untuk pergi ke London akan segera menjadi kenyataan.
Mimpi untuk menjadi reporter Internasional dan penulis terkenal akan segera terwujud.”
“Selamat, Cia usaha dan doamu selama ini tidak sia-sia. Semua peluh dan lelahmu akan terbayar
sebentar lagi. “
“Kabar baik ini akan segera kuberitahukan kepada bapak, ibu dan dek Abel. Tapi Uyo, bagaimana
mungkin aku dapat pergi ke London dengan keadaan dek Abel yang seperti itu serta keuangan bapak
ibu yang sedang kalang kabut. Aku sebagai anak sulung seharusnya bisa selalu membantu kedua
orang tuaku. Jika aku pergi maka tidak menutup kemungkinan dek Abel akan lumpuh permanen dan
Bapak ibu akan menjadi pengangguran.”
“Jika jalan saja membutuhkan persimpangan untuk mencapai tujuan yang ingin dituju, maka hidup
itu juga mempunyai pilihan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Setiap pilihan pasti sulit, yang
dibutuhkan adalah tanggung jawab terhadap pilihan yang kita pilih. Kalau kamu yakin untuk pergi ke
London pasti akan ada jalan untuk kesembuhan dek Abel. Percayalah bahwa pertolongan Allah itu
Nyata.”
“Mungkin aku butuh waktu terlebiih dahulu untuk memutuskan ini semua, yang pasti aku tidak mau
terbakar oleh ambisiku sendiri.”
3 hari berlalu bergitu cepat, keputusanku untuk pergi ke London semakin menurun. Dek Abel yang
belum kunjung sembuh karena keterbatasan biaya yang dimiliki serta bapak yang menjadi
pengangguran karena ada PHK di kantornya membuatku semakin enggan untuk berangkat ke
London. Padahal 2 hari lagi aku harus memutuskan untuk tetap pergi ke London atau menjalankan
tugasku sebagai anak dan kakak bagi dek Abel. Lamunan ini terus menggelayut dibenak, seperti
halnya mendung di langit pikiranku seakan gelap tak hampir tak ada cahaya. Sambil terus berfikir
tentang kepergianku ke London. Tiba-tiba ada sms ada Uyo dia ingin berkunjung ke rumah sore ini.
Tak biasanya Uyo berkunjung sore-sore seperti ini. Selama 5 tahun aku berteman denganya, untuk
main kerumah biasanya dia lebih memilih malam hari. Sekitar 20 menit Uyo datang.
“Uyo tumbenan sore-sore main kerumah ada apa? Siapa itu?” Tanyaku
“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan Ci. O ya perkenalkan ini Bapak Suratman pemilik Kereta
Pos. Mungkin bapak, ibu dan dek Abel bisa dipanggil Ci.”
“Oke Yo. Sekarang bapak, ibu dan dek Abel sudah ada. Apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Baik, begini Ci. 3 hari yang lalu aku menemui pak Suratman dan bercerita tentang semua masalah
yang sedang kamu hadapi. Dan dengan dedikasi kamu di kereta Pos yang tinggi pak Suratman ingin
memberikan biaya pengobatan untuk dek Abel sampai dek Abel sembuh total. Biaya tersebut gratis.”
Sambil tersenyum Pak Suratman berkata “Iya mbak Cia, karena mbak Cia telah berkerja sepenuh hati
di Kereta Pos maka dari perusahaan memberikan pengobatan gratis untuk dek Abel sampai dek Abel
sembuh. Ini bentuk reward perusahaan terhadap karyawan yang telah berdedikasi tinggi terhadap
perusahaan. Dan untuk penggantimu di bagian distributor maka Pak Legowo bisa berkerja di Kereta
Pos.
“Ya Allah, Alhamdulillah. Terima kasih banyak pak Suratman, Uyo.” Senyumku lebar mendengar
berita tak diduga-duga ini.
“Nah, berarti kamu besok lusa bisa berangkat ke London Ci. Tanpa harus memikirkan biaya
perawatan dek Abel dan bapakmu juga dapat kembali bekerja. Dan jangan kawatir aku akan menjaga
dek Abel. Dan ada satu hal lagi yang telah lama ingin aku ucapkan. Sebelumnya lihat diluar sana Ci.
Ada siapa di luar sana?”
Sambil heran “Loh, itu kan bapak ibu kamu Yo. Ada apa lagi ini?”
“Telah 5 tahun kita kenal Ci, selama itu pula aku belum pernah menjumpai sosok gadis tangguh,
kharismatik dan energik seperti kamu. Hampir di setiap doaku selalu aku selipkan namamu di doaku.
Selama 5 tahun pula aku telah mengagumi secara diam. Rasa ini masih aku simpan rapat di dalam
doa. Aku tidak ingin berlama-lama menyimpan rasa ini. Karena semakin lama aku menyimpanya
maka rasa itu akan bertambah atau justru pudar. Di bawah senja akhir tahun ini, aku ingin
menjadikanmu bidadariku didunia dan diakhirat. Bismillahirohmanirrohim Oxicia Legowo apakah
kamu bersedia menjadi istri saya?”
Terdiam seketika. “Entah apa yang harus aku katakan Uyo, sebenarnya selama ini pun kamu juga
selalu aku sebut dalam sujud dan doaku. Sama sepertimu aku hanya bisa diam dan percaya bahwa
jika memang jodoh sekuat apapun aku menendangnya ketepi maka jodoh itu akan tetap kembali
kepadaku. Aku juga bukan sebaik wanita seperti apa yang kamu bayangkan, tetapi jika kamu ingin
aku menjadi penyempurna agamamu maka dengan mengucap Bismillahirohmanirrohim Uyo Santoso
aku bersedia menjadi penyempurna agamamu.”
Senja akhir tahun ini begitu indah, semua doa dan usahaku terjawab lengkap. Semua ini adalah
ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan. London adalah mimpi yang selalu aku gantungkan di
depan kening dan Uyo adalah jawaban dari kesendirianku selama ini. Dan semua kejadian ini
bagaikan Pelangi senja di akhir tahun.
Desta (Biologi'14)
No comments:
Post a Comment