Kini aku telah bebas. Kulangkahkan kaki ku menelusuri jalan dan lorong yang sudah
sering kulalui. Malam dengan gelapnya menyelimuti jiwa yang goncang ini. Keheningan pun
senantiasa melekat dalam jiwa yang belajar tegar dalam menata hidup. Pikiranku melayang
jauh saat menuju rumah. Dalam lamunan, aku seakan memutar kembali kejadian yang
kualami dahulu. Bukan perihal mudah bagi ku untuk dapat berdiri di sini meneruskan
kembali sisa kehidupan di dunia yang penuh kabut pilu.
Sebuah ponsel hitam berdering dari dalam kantung ku. Ku lihat sekilas, ternyata satu
panggilan dari nomor yang tak dikenal. Dengan perlahan ku angkat panggilan itu.
“Assalamu’alaikum Jenar . Bagaimana kabarmu sekarang? Aku dengar kamu sudah
Kuhentikan langkahku sejenak setelah ku dengar suara itu. Meski tidak melihat orang
yang sedang berbicara di seberang sana, tapi aku tahu betul siapa dia. Aku terdiam, seakan
Entah mengapa jari tangan ku seketika menekan tombol tutup. Kulangkahkan lagi
kedua kaki ku menelusuri kota kecil ini tepatnya di jantung kota Wonogiri. Setelah itu
kemasukkan lagi ponsel kedalam saku celana ku. Jalan ini seakan paham betul kisah hidupku.
Kuketuk pintu rumah bercat putih ini, tapi tak ada respon. Ku ulangi lagi sampai ketiga
Tok tok tok ........ “Assalam’alaikum.”
Kuputuskan untuk duduk di teras rumah sambil menunggu si empunya membukakan
pintu. Ku lihat bintang-bintang di langit, cantik dan indahnya. Setelah 15 menit berlalu tiba-
tiba terdengar derap langkah kaki dari dalam rumah. Seorang gadis cantik yang beranjak
dewasa dengan rambut sebahu, kulit sawo matang dan hidung mancung. Yah, benar itu adalah
adikku Anila, salah satu yang menjadi alasan mengapa aku masih bertahan di sini. Sejak kecil,
aku telah terbiasa hidup mandiri dengan Anila, adik yang sangat ku sayangi. Anila, sejak kecil
dia mengidap penyakit jantung. Itu menjadi kewajiban ku sebagai kakak untuk banting tulang
mencari uang agar Anila bisa berobat dengan teratur.
“Lho kak, udah dari tadi to? Ayo masuk nanti masuk angin.”
“Kakak, dari mana aja kok baru pulang. Oh iya, mau Anila buatin makanan?”
“Nggak usah, tadi kakak makan diluar. Kamu tidur aja.”
Aku terjaga dalam dingin nya malam. Tahu-tahu sudah lewat waktu subuh. Pelan
kuraih ponsel yang terletak tidak jauh dari tempat tidurku. Ku lihat jam. Pukul 04.45. Hari
sudah pagi. Keheningan begitu menguasai ruang dan waktu juga diriku. Kusambar handuk
lalu perlahan aku berjalan menuju kamar mandi. Dingin menusuk tubuh. Setelah selesai
mandi, aku segera menyiapkan sarapan untuk adik ku.
“Hoam, nyem nyem nyem. Hemm wangi nya”
“Hehee iya, lho kak Jenar kok tumben udah rapi gini. Mau kemana?”
“Ini hari pertama kakak kerja lagi setelah kemaren di pecat dari pabrik buntut itu.”
“Emang kakak kerja dimana sekarang?” (sambil meneguk segelas air putih)
“Di salah satu perusaaan besar di kota ini.”
Langit di hari Rabu tampak sangat cerah. Angkasa yang luas itu nyaris tidak terlihat
gumpalan awan putih. Warna kebiruan itu menunjukkan keindahan dan keagungan Sang
Pelukis. Udara Wonogiri yang begitu sejuk pun masih baik untuk dihirup. Ku ayunkan sepeda
viksi ini menuju perusahaan Deltomed. Jarak rumah menuju kantor memang tidak begitu
jauh, sekitar 1 kilometer saja. Dalam perjalanan terbayang sejenak kejadian tadi malam.
Seseorang yang sudah lama menghilang tanpa adanya satu kabar apapun tiba-tiba datang lagi
di kehidupan ku. Dia yang telah lama ini ku rindukan , Dia yang selalu mampir di pikiran ku.
Tapi entah apa yang membuatnya datang di kehidupan ku lagi.
Pukul 19.30. Malam telah membentangkan sayapnya. Beberapa menit setelah pulang
dari kantor, kuputuskan untuk mampir sebentar ke angkringan dekat alun-alun walaupun
hanya sekedar meneguk teh hangat. Lima belas menit lebih aku bersepeda menyusuri kota
Gaplek ini menuju angkringan yang akhir-akhir ini menjadi tujuan melepas penat setelah
seharian bekerja. Aku lalu memesan setelah duduk di bangku panjang dalam angkringan.
Makanan khas yang dijual di angkringan adalah menu khas angkringan pada umumnya. Nasi
kucing, gorengan, macam-macam sundukan. Harganya memang sangat bersahabat bagi
Setelah puas menikmati kudapan malam di angkringan aku segera pulang ke rumah.
Seperti biasa langit malam selalu menyempurnakan keadaan hati ku, sepi dan kosong.
Terdengar suara nyanyian indah dari jangkrik dan kodok saling bertautan. Tiba-tiba rintik
hujan pun turun seketika membuyarkan lamunan ku. Segera ku ayuh sepeda dengan langkah
lebih cepat agar aku tak kehujanan. Liku jalan ini seolah mempersulit kecepatan bersepeda ku.
Jalan mulai licin dan lubang-lubang pun mulai tertutup air hujan. Tidak terasa baju yang
kukenakan basah kuyup. Sambar petir pun mulai terdengar.
Beberapa menit setelah membersihkan diri, aku segera menuju ruang tamu menyusul
Anila yang sedang asik menonton tv. Sambil membawa satu cangkir teh hangat di tangan, aku
duduk di sofa. Ku teguk teh ini dan benar saja itu sangat membantu menghangatkan badan.
Ku usap hangat kepala adik ku bukti bahwa aku sangat menyayanginya. Disandarkan nya
kepala Anila ke pangkuan ku. Kami pun berbincang hangat. Layaknya kakak adik yang baru
bertemu dari perantauan. Apapun yang Anila alami seharian ini dia ceritakan dengan panjang
lebar. Dia memang gadis yang cakap berbicara, tak seperti aku yang hanya berucap
seperlunya saja. Kami mempunyai dua sisi yang berbeda. Anila dengan gayanya yang suka
berbicara dan sikapnya yang ramah kepada siapa saja, tetapi berbeda dengan aku. Aku orang
yang dingin, cuek dan tak suka berucap.
“Oh iya kak, tadi ada orang yang mencari kakak.”
“Kayak nya dia kak Belani deh, tapi dia sekarang jadi beda banget kak penampilan
nya. Baju nya kayak orang-orang kaya gitu.”
Sejenak aku berfikir, untuk apa lagi dia datang ke sini.
“Dia ngomong apa ke kamu dik?”
“Emm, dia nggak ngomong apa-apa. Katanya cuma kangen datang ke rumah ini.”
“Em, memangnya kakak sampai saat ini belum punya cewek?”
“Aku tidak membutuhkan nya, untuk saat ini.”
“Jangan bilang kak Jenar masih menunggu wanita itu?”’
“Wanita yang mana yang kamu maksud? Terlalu banyak wanita mengelilingi.”
(dengan seringai aku berkata penuh percaya diri.)
“Wanita yang telah menghancurkan kehidupan kita dan membuat kakak seperti ini.
Lupakan dia, dia tak pantas untuk kakak.”
“Sudah lah Anila, jangan terlalu kamu pikirkan.” (sambil tersenyum lembut)
“Aku sudah lelah kak, setiap hari harus bersikap sok manis di hadapan perempuan-
perempuan yang ingin mendekatimu. Setiap hari mereka mengirimkan cake, coklat,
ataupun bunga untuk menarik simpati kakak.”
“Maaf untuk itu, tidak perlu kamu bersikap baik kepada mereka. Aku tak akan
sekalipun memperdulikan mereka adikku.”
“Kakak terlalu tampan, pintar dan baik untuk hidup sendiri.”
Udara malam begitu dingin. Menusuk tubuh yang mencoba menahannya. Kesunyian
yang tersisa di penghujung malam masih melekat di dinding ruang dan waktu. Aku hanya
diam membisu menikmati sunyi nya malam. Jam menunjukkan pukul 01.20. Namun aku
masih enggan untuk bergegas beranjak ke kasur. Ku sapu keadaan sekitar dengan
penglihatanku, daun-daun masih basah terkena sisa tumpahan air hujan sore tadi. Di koridor
depan rumah memang tempat yang pas untuk menikmati pemandangan kota Wonogiri di
malam hari. Terlihat lampu-lampu perumahan warga di bawah sana. Rumah ini memang
berada jauh lebih tinggi sehingga di malam hari terdapat tontonan yang apik di bawah sana,
yaitu lampu-lampu rumah warga. Memang kedatangan Belani tadi membuat otak ku terus
berpikir, drama apa lagi yang sedang dia persiapkan untuk ku.
Rumah itu tampak tenang. Hari masih pagi. Bumi Wonogiri telah terang disinari
cahaya indah oleh sang surya. Keramaian telah terdengar dari jalanan dan sudut kota. Orang-
“Lho kak Jenar? Pagi-pagi kok udah di balkon?”
“Eh kamu udah bangun? Iya tadi malam kak Jenar ketiduran disini.”
“Udah, tadi Anila beli sayur di pasar depan rumah. Yaudah kak, masuk yuk sarapan.”
“Iya, kamu siapin dulu aja, kakak mau mandi.”
Selang beberapa menit kemudian, Jenar bergegas masuk ke dalam rumah untuk mandi.
Tercium harumnya hidangan yang telah disajikan Anila di meja makan. Anila memang gadis
yang ahli dalam bidang memasak. Dia selalu menyajikan masakan penuh selera di depan meja
makan. Lima belas menit kemudian aku bergegas menuju meja makan. Ternyata Anila sudah
menungguku sedari tadi. Dia terlihat sudah rapi dengan penampilannya. Memang pagi ini
adalah hari pertama dia masuk kuliah setelah 3 bulan lama nya libur. Selepas menikmati
sarapan, aku bergegas pergi ke kantor.
Jalanan kota Wonogiri mulai ramai. Para pengendara sepeda maupun mobil memadati
jalan. Mereka berkendara secepat mungkin agar bisa sampai di kantor maupun sekolah tanpa
terlambat. Tepat pukul 07.00 aku sampai di kantor. Hari ini seperti biasa ku habiskan waktu
ku seharian di depan komputer. Tiba-tiba ada seorang gadis yang menghampiri meja kerja ku.
“Ini tolong kamu selesaikan ya, soalnya kemarin saya lihat masih banyak yang salah.”
“Oh baik bu, nanti coba saya periksa kembali.”
Seketika aku tertegun melihat sosok gadis yang berdiri di depan meja kerja ku itu. Ya,
benar dia adalah Belani seorang gadis yang telah lama ini menghilang dari kehidupan ku kini
telah kembali. Sekarang dia bukan lah Belani yang ku kenal dahulu, Belani yang hanya gadis
lugu dari desa. Kupalingkah tatapan ini dari nya, seolah aku tidak pernah mengenalinya.
Benar saja dia juga bersikap demikian, seolah diantara kita tidak pernah mengenal
Ruangan ber-AC itu cukup tenang. Hanya seorang lelaki berumur tiga puluhan dan
aku seorang. Lima menit kemudian ku beranikan diri menghampiri meja kerjanya. Ternyata
lelaki itu sedang asyik membaca koran tadi pagi.
“Lho pak, ndak makan siang to?”
“Eh, kamu Jenar. Ah pagi ini istri saya sudah membawakan bekal untuk makan siang.
“Oh, saya masih kenyang pak. Em, pak memangnya tadi gadis yang menghampiri
(sambil berfikir) “Oalah, ibu Belani ya? Dia itu istri dari pemilik perusahaan ini.
Memangnya kamu tidak tahu.”
“Apa? Oh saya kira itu anak dari pemilik perusahaan ini pak.”
Ketermenungan ku itupun buyar seketika saat telepon genggam ini berdering sangat
keras. Aku langsung beranjak dari tempat duduk ku. Meraih ponsel yang ada di atas meja
kerja. Belani sedang memanggil. Sebuah guratan tanda tanya pun terlihat di wajahku.
“Maaf mengganggu, Je,” ucap Belani setelah ku balas salamnya. “Kamu masih di
“Oh, masih. Memangnya kenapa.’
“Em, aku Cuma mau minta maaf atas sikap ku yang seolah tadi siang di kantor,
bagaimana kalau kita dinner? Aku tunggu di rumah makan Kampung Steak ya.”
Entah ini perasaan senang atau sedih. Seketika aku segera membereskan meja kerja
dan bergegas menuju tempat yang Belani minta. Dengan langkah yang terburu-buru tidak
sengaja aku menabrak seorang gadis di depan ku. Kertas-kertas penting yang ada di tangan
nya pun berserakan di lantai. Aku segera membantu nya merapikan kertas-kertas itu.
“Ah, kamu gimana sih. Kalau jalan liat-liat dong.” Ucap nya ketus
“Em, maaf-maaf saya tidak sengaja.”
Tanpa banyak basa-basi gadis itu pun segera melangkah pergi. Begitu pun dengan aku.
Waktu menunjukkan pukul 07.45. Aku segera meninggalkan kantor ini. Baru dua menit
setelah itu, langsung ada yang memanggil.
“Wa’alaikumssalam. Ada apa Anila?”
“Kakak nanti pulang jam berapa? Soal nya aku masih di rumah temen ngerjain tugas.”
“Aduh, nanti kakak pulang malam Anila, masih ada kerjaan di kantor.”
“Oh bagus deh kak, nanti kakak sekalian makan di luar aja ya.”
Klik. Telepon ditutup. Ayuan sepeda viksi ini pun ku percepat. Mungkin Belani sudah
menunggu lama. Pikirku salah, ternyata Belani belum datang. Kuputuskan untuk memesan
tempat yang nyaman dengan latar menghadap ke koridor depan. Sambil menunggu
kedatangan nya, ku coba berjalan menghampiri rak buku besar yang ada di dalam cafe itu. Ku
pandangi buku-buku yang berbaris rapi di sana. Langkah tangan ku pun terhenti di salah satu
novel karangan Tere-Liye “Rembulan Tenggelam Di Wajahmu” . Kutarik buku itu dan
kubawa ke meja yang telah ku pesan tadi. Tak ku sadari seorang gadis cantik ternyata sedari
“Kamu udah lama berdiri di situ?” ucap ku perlahan
“Kamu udah pesan minum? mbak-mbak !” panggilnya
Aku sesekali memandang wajah Belani. Hanya sebentar. Namun rasa kagum ku
padanya sampai saat ini belum lah pudar. Tiada keinginan untuk menegasikan keanggunan
sang bidadari tanpa sayap yang duduk di depan ku itu. Rasa yang dulu ada ternyata sampai
saat ini masih lah melekat di dalam relung hati terdalam. Walaupun gadis itu telah melukai
hati ini. Ingin sekali lagi ku genggam tangan nya, ada asa untuk bisa menjadikan nya wanita
yang halal bagi diri ku. Namun kenyataan berkata lain.
“Jenar, aku minta maaf atas sikap ku tadi pagi dan kesalahan yang ku perbuat ke
“Kesalah yang mana, yang kamu maksud, Bel?”
“Kesalahan yang ku perbuat beberapa tahun silam.”
“Untuk apa kamu sekarang disini bersama ku? Bukankah kamu sekarang telah
menemukan kehidupan yang kamu ingin kan?”
Air mata pun perlahan menetes dari mata indah Belani. Hati pun tak kuasa melihat
kesedihannya. Namun apalah daya, tangan ini serasa kelu untuk mengusap air mata itu.
Setalah menikmati makan malam, langkah kami terpencar. Tiada kata lagi yang mampu ku
ucap. Hanya sepenggal kata yang mampu kuucap lirih dalam benak.
Kau diantara bayang-bayang dan kenangan masa lalu, mengalir lembut di pipiku.
Dan bersemai diantara dua kasih lalu membisu, menatap malam diantara kesepian.
Terkadang hidup terasa sulit ketika cobaan datang menghantam jiwa. Jalan terasa
buntu. Ruang gerak sempit. Pikiran penuh beban. Langkah pun terhenti. Jiwa ku sudah
separuh ada dalam kesadaran. Ku tatap dinding kamar yang hanya memajang kebisuan yang
terasa seakan abadi. Waktu berdetak terus tanpa henti, walau hanya sedetik. Hingga ku sadari
malam sudah kian hening. Hanya saja jiwa ini masih enggan untuk beranjak dari tempat
Pagi ini, seakan bumi memahami jiwa ku yang sedang hancur. Langit nampak
mendung. Kuputuskan pagi ini untuk pergi ke kantor mengendarai mobil. Memang aku lebih
menyukai sepeda viksi putih itu ketimbang mobil merah ini. Aku serasa menyatu dengan alam
dikala menikmati perjalanan dengan sepeda viksi. Hujan pun perlahan mulai turun dengan
Lima belas menit kemudian aku tiba di kantor. Suasana kantor nampak nya masih
sepi. Kulangkahkan kaki ini dengan perlahan, seakan kaki ini kelu untuk berjalan.
Sesampainya di depan elevator, ku tekan tombol untuk dapat menghantar ku ke lantai 5
gedung kantor ini. Di dalam elevator aku bertemu dengan gadis cantik yang kemarin
bertabrakan dengan ku. Sikap nya begitu dingin.
Di depan meja kerja ku, aku masih termenung. Tiada hasrat sedikitpun untuk
menyentuh tumpukan kertas yang ada di depan meja. Seminggu ini memang pekerjaan ku
sama sekali tidak terselesaikan. Aku hanya terdiam dengan tatapan kosong. Aku terus saja
memikirkan kejadian malam itu. Dimana Belani meminta maaf kepada ku dengan penuh rasa
bersalah. Aku bisa merasakannya. Entah mengapa tanpa diminta pun secara otomatis hati ini
“Sudah selesai melamun nya?”
Tiba-tiba ada seseorang yang sedari tadi berdiri di depan meja kerja ku tanpa kusadari
sedikit pun. Aku pun memperbaiki posisi duduk ku
“Oh, em em. Tapi maaf sebelum nya Anda siapa ya dan ada kepentingan apa anda
“Hah? Apa yang barusan Anda bilang tadi? Oh jadi Anda karyawan baru ya di sini?”
“Em iya, saya karyawan baru disini.”
“Saya tunggu anda di ruangan saya sekarang.”
“Oh, berani-berani nya anda menyuruh saya.”
“Jangan banyak bicara. Lekas kerjakan apa perintah saya.”
Seketika karyawan-karyawan yang ada di ruangan itu pun menatap percakapan ku dengan
gadis itu. Sementara aku hanya kebingungan dalam diam. Aku segera beranjak dari tempat
duduk, sebelum nya aku masih bingung kemana aku menemui gadis tadi. Aku pun tidak
mengenalinya sama sekali bahkan jabatan dia di kantor ini.
“Em, hai kamu anak muda. Kamu tahu kan tadi kamu bicara dengan siapa?”
“Tidak, memangnya dia siapa dan apa pentingnya jabatan dia di kantor ini pak?”
“Wah kamu benar-benar ya, temui saja dia di ruangan nya.”
“Ruangan nya pun saya tidak mengetahui nya pak.”
“Kamu ini, lihat saja apa yang akan Dia lakukan kepada mu. Sudah pergi sana ke
ruangan nya jangan sampai dia memakan mu hidup-hidup.”
“Aih Bapak ini, kemana saya harus pergi?”
“Kamu pergi ke lantai 3, nanti tanya saja ke karyawan disana ruang Direktur Utama
Lima menit kemudian aku tiba di depan pintu ruangan yang dimaksud kan tadi.
Kuketuk pintu itu perlahan seakan nyaris tidak ada suara yang ditimbulkan nya. Ku buka
gagang pintu, dan dengan langkah yang amat pelan ku beranikan diri untuk masuk dalam
ruangan itu. Terlihat ada seorang gadis muda sedang duduk di depan meja kerja nya. Nampak
nya dia sedang sibuk mengotak-atik laptop di depan nya. Bahkan dia tidak menyadari bahwa
aku sedang memperhatikan kegiatan nya. Dia baru tersadar setelah mendengar deheman ku.
“Oh, kamu nampaknya. Duduk!”
Seusai menyelesaikan percakapan di ruangan itu, aku segera melangkahkan kaki untuk
keluar dari ruangan. Segera aku bergegas untuk kembali ke meja kerja ku. Setelah menaiki
eskalator tibalah aku di ruang kerja. Lama aku memikirkan kejadian tadi. Betapa bodoh aku
ini, dengan berani nya membentak Direktur Utama dan bersikap seolah orang itu tidak
mempunyai jabatan di kantor ini. Ya benar, dia adalah Anindya seorang Direktur Utama, dan
anak dari pemegang kantor ini. Dan itu berarti Anindya adalah anak tiri dari Belani. Umurnya
yang terhitung masih muda namun sikap nya yang tegas dan matang dalam menghadapi
persoalan-persoalan di kantor memang pantas menjadikan nya sebagai Direktur. Terang saja,
Dia bersikap tegas kepada ku dengan memberikan hukuman.
Seminggu berlalu setelah kejadian di Cafe dengan Belani. Semacam petaka bagi ku
karena kejadian itu, akibatnya disaat orang-orang sedang asik menikmati hari Minggu dengan
bersantantai di rumah aku harus menyelesaikan tugas di kantor. Setumpukan pekerjaan telah
menantiku disana. Mobil merah ini melaju dengan cepat nya. Di tengah perjalanan aku
berhenti sebentar di salah satu mini market untuk membeli makanan dan minuman.
Sekitar lima belas menit lama nya aku tiba di kantor, tangan ku penuh dengan
tentengan makanan dan setumpukan pekerjaan yang sengaja aku bawa ke rumah untuk ku
selesaikan. Tak kuduga gara-gara kejadian beberapa waktu silam ternyata menyita waktu ku.
Pekerjaan ku pun terbengkalai. Namun aku harus bangkit. Nampaknya hanya aku saja yang
berada di kantor ini, sedari tadi tak ada seorang pun yang kulihat. Di meja hitam ku ini aku
seharian mengotak-atik laptop dan kertas-kertas penting disana. Tiba-tiba aku mendengar
derap langkah kaki memasuki ruangan ku. Ternyata itu Direktur Anindya. Dia berjalan ke
“Bagaimana pekerjaan mu, sudah selesai?”
“Oh, mungkin besok pagi berkas-berkas ini bisa saya antar ke meja kerja anda.”
“Bagus lah kalau begitu.” (sambil berjalan keluar ruangan)
“Em, Direktur sudah makan? Bagamana kalau saya traktir anda minum hanya untuk
sekedar meminta maaf atas kelakuan saya kemarin.”
“Boleh juga.” (dengan sikap dingin nya)
Ku lajukan mobil ini dengan kecepatan sedang. Di dalam mobil ini saya terdengar
lantunan musik yang sedang ku putar. Memang Direktur Anindya hanya berdiam diri tanpa
mengucapkan satu patah kata pun. Aku pun juga demikian. Nampaknya langit sore ini sedang
tidak bersahabat. Terlihat gumpalan mendung sedang bernaung di atas sana, kilat petir pun
Dalam benak Direktur itu, sebenarnya dia tidak begitu buruk bahkan sangat tampan, IQ yang
diatas rata-rata, pesonanya , dan sikapnya yang penuh percaya diri. Cih apa-apaan aku ini.
Dia hanya seorang karyawan biasa namun kenapa pesona nya tak mampu aku abaikan.
Aku pun segera membukakan pintu untuk nya. Kami berjalan menelusuri keheningan
malam. Memang kota ini selalu nampak sepi. Aku melihat sekeliling mencari-cari meja yang
kosong. Namun entah mengapa tangan ini seketika menggenggam tangan nya dan menuntun
nya ke meja yang ku maksud kan. Tempat ini memang nampak panorama kota Wonogiri yang
begitu indah di kegelapan malam. Lampu warna-warni menghiasi kota nan asri ini. Segera ku
pesan menu makan dan minum. Direktur pun hanya meng-iya kan apa yang aku pesan.
“Saya dengar ada film baru yang menarik, em bagaimana jika anda menemani saya
“Apa? Saya menemani kamu?”
“Yah, itupun jika Direktur menyetujui nya. Lagi pula anda kesini dengan saya tanpa
membawa mobil sendiri. Bagaimana mungkin saya harus mengantar anda terlebih
dahulu ke kantor dan kembali lagi ke sini.” (dengan nada bicara penuh percaya diri)
Seusainya makan malam, mobil yang ku kendarai pun meluncur ke gedung bioskop.
Kami berencana untuk menonton film. Dua jam pun kami habiskan disana. Film itu cukup
menarik. Kami berdua sangat menikmati nya. Direktur Anindya nampak nya mulai
menunjukkan sikap asli nya. Dia yang selama ini selalu bersikap dingin dan tegas, ternyata
aku melihat banyak kesedihan yang tersimpan pada dirinya. Aku tercengang melihatnya
ketika menangis tersedu-sedu saat menyaksikan film tadi. Entah mengapa terbersit pikiran
dan keinginan yang sangat kuat untuk membuatnya terbebas dari beban yang selama ini di
sembunyikannya. Aku ingin membuatnya bahagia. Dia berbeda dari wanita lainnya. Dia
sangat menarik. Kemudian aku memutuskan untuk mengantarnya ke kantor, namun aku
berubah pikiran. Aku tidak tega meninggalkan nya di kantor dan melihatnya mengendarai
mobil malam-malam seorang diri. Anindya nampaknya bingung.
“Ini bukan jalan ke kantor. Apa kamu sudah lupa jalannya, sebenarnya kita mau
“Saya akan mengantarkan Anda pulang ke rumah. Bukankah ini jalan menuju rumah
“Sejak kapan kamu bersikap seenaknya sendiri?”
“Saya tidak tega melihat wanita pulang malam-malam sendiri. Besok pagi saya jemput
Mobil yang membawa kami pun tiba di depan rumah mewah yang berada di salah satu
komplek Wonokarto. Aku pun membukakakan pintu mobil untuk nya. Terlihat jelas wajahnya
yang nampak kelelahan. Ku bawakan tas dan laptop yang ada di dekapannya. Dan ku bantu
dia saat membuka pintu gerbang. Seberkas senyuman indah terlukis olehnya. Tiba-tiba ponsel
ku berbunyi. Segera aku berpamitan dan masuk ke mobil untuk menerima panggilan ini.
Ternyata panggilan dari seseorang yang ku kenal.
“Jenar, kamu sedang dimana?”
“Memangnya kamu ada perlu apa?”
“Aku hanya ingin mendengar suara mu.’
Tuttttt....... Segera ku tutup panggilannya. Aku muak dengan semua sikapnya.
Kenangan beberapa tahun silam pun seakan kembali kuputar dalam ingatan ku. Mengingat
betapa bodohnya aku mencintai seseorang seperti Belani. Cinta ku yang tulus kepadanya
hanya ia balas dengan luka dan kepedihan. Luka ini berawal ketika Belani sedang berada di
suatu tempat, tiba-tiba ada sekawanan anak muda yang mabuk mendekatinya. Mereka
mempunyai niat untuk melakukan tindak asusila ke Belani. Karena panik, Belani
melemparkan botol kaca ke kepala anak muda itu. Kepala anak muda itu mengeluarkan darah
yang tiada henti dan tubuhnya seketika tergeletak di lantai. Segera dia menelepon ku. Lima
belas kemudian aku tiba di suatu tempat yang di maksud nya saat di telepon. Status ku yang di
kala itu adalah mahasiwa kedokteran jelas saja mengetahui bagaimana kondisi anak itu.
Jantung nya sudah tidak berdetak, denyut nadi nya pun perlahan mulai menghilang. Benar
saja, anak itu meninggal. Kulihat Belani terisak menangis dengan botol kaca yang masih di
genggamnya. Aku pun tak kuasa melihatnya seperti ini, kulangkahkan perlahan kaki ini untuk
“Sebaiknya kamu menyerahkan diri ke polisi. Dia, dia sudah tidak ada di dunia ini.”
“Tidak, tidak mungkin anak itu mati. Dia masih hidup kan, Je.” (dengan menangis
“Menyerahlah, Bel. Hukuman akan semakin berat jika kamu menjadi buronan.”
“Tapi bukan aku, Je. Bukan aku yang membunuh orang itu.”
Kudekap erat tubuh nya. Hanya untuk sekedar membuat nya lebih tenang. Tangis nya
pun buncah. Ku genggam tangan mungil nya, sungguh tangan nya dingin dan bergetar. Dia
sangatlah ketakutan. Aku berusaha menenangkan wanita satu-satu nya yang aku sayangi.
“Pergilah dari sini seolah tidak terjadi apa-apa, lanjutkan hidup mu dan jangan sekali-
kali menoleh ke belakang. Lupakan kejadian ini. Aku yang akan menggantikan mu.”
Belani bergetar hebat, rahangnya tercekat, dia tidak mampu berkata apa-apa. Selain menangis,
aku merapihkan rambutnya yang berantakan dan membuatnya terlihat baik-baik saja. Aku
segera memaksanya untuk pergi dari sini, karena polisi terlihat mulai mendekat. Dan impian
yang kurangkai selama ini hancur seketika, impian untuk menjadi seorang Dokter. Aku di DO
Seketika lamunan ku pecah, ketika mendengar telepon berbunyi. Ternyata dari Adik
“Kak, kamu dimana? Kenapa belum pulang, ini sudah lewat tengah malam.”
“Ah iya, bentar lagi kakak sampai rumah. Tadi ada pekerjaan di kantor.”
Segera ku nyalakan mesin mobil ini dan melaju meninggalkan rumah Anindya. Tepat dua
puluh menit aku tiba di depan rumah ku. Segera aku masuk dan mengunci pintu.
Kulangkahkan kaki menuju kamar tidur. Ku jatuhkan tubuh ini ke tempat tidur dan terlelap.
Jam menunjukkan pukul 07.00. Kusantap sepotong roti buatan adik ku untuk
mengganjal perut. Segera ku nyalakan mesin mobil dan bergegas untuk berangkat. Pagi ini
seperti janji ku kemarin untuk menjemput Anindya. Perjalanan menuju rumah nya sekitar 20
kilometer. Sesampainya disana aku turun dari mobil dan berjalan menuju gerbang rumahnya.
Setelah menunggu sepuluh menit lamanya, dia datang dengan membawa banyak bawaan di
tangan nya. Setibanya di kantor, aku dan Anindya segera memasuki ruang kerja.
Waktu berjalan dengan begitu cepatnya, dua bulan sudah aku dan Anindya saling
kenal. Kami melewati hari bersama-sama. Mulai dari berangkat kerja, di kantor sampai
pulang kerja ku lalui bersama nya. Aku merasa nyaman berada di dekatnya begitu pula
dengan Anindya. Malam ini aku akan membuat kejutan untuk nya. Sengaja aku pergi ke
rumah nya tanpa meminta persetujuan dari nya. Ku bawakan seikat mawar merah ke
rumahnya. Ku ketuk pintu rumahnya, nampak tak ada seorang pun yang mendengar. Tiba-tiba
derap kaki terdengar oleh ku, ternyata seseorang yang ingin membukakan pintu. Mungkin dia
Anindya. Perkiraan ku pun salah, dia adalah Belani.
Di ruang tamu itu aku dan Belani membicarakan banyak hal. Apa yang aku rasakan
sekarang saat melihat Belani tidaklah sama dengan perasaan ku dahulu. Kini aku melihatnya
hanya seorang teman, bahkan aku mulai membiasakan diri untuk bersikap ramah kepada nya
karena dia ibu dari Anindya. Wanita yang kusayangi. Karena asyik nya mengobrol, aku lupa
tujuan awal ku ke rumah ini. Tak kuduga, ternyata Anindya sedari tadi berdiri tepat di pintu
masuk ruang tamu. Setelah ku sadari keberadaan nya, aku segera menghampiri nya. Namun
dia segera berlari menuju kamarnya dan terdengar isakan tangis oleh nya.
Ku ketuk pintu kamar nya beberapa kali, namun tak sekali pun di gubris olehnya. Aku
takut dia salah paham kepada ku. Telepon nya seketika di non-aktifkan. Lama aku menunggu
di depan pintu kamar itu, aku duduk bersandar pada daun pintu itu. Berharap dia mau
mendengakan alasanku. Namun lima jam lamanya aku menunggu, dia sama sekali tidak
keluar. Mungkin dia memang marah kepada ku. Kuputuskan untuk pulang dan mencoba
menghubungi nya lagi nanti. Aku pun ijin pulang ke Ibu tirinya, Belani.
Sesampai ku di rumah, aku masih memikirkan nya. Ku telepon namun tetap saja nihil
hasilnya. Aku tidak ingin Anindya membenci ku, karena aku terlanjur mencintainya. Aku
menyayanginya. Dia adalah satu-satunya wanita yang bisa membuat ku melupakan Belani.
Dia yang membuatku bangkit dari keterpurukan masa lalu. Dalam lamunan itu, terbersit
Dulu di dalam sel tahanan aku selalu berharap dapat sesegera mungkin menikmati
segarnya udara luar. Belani, wanita yang kusayangi seminggu sekali pasti datang untuk
menjenguk ku. Dia selalu perhatian, selalu membawakan makanan, buku, atau apa saja.
Walapun datang dengan tangan kosong pun aku senang. Namun seiring berjalannya waktu,
intensitas nya mengunjungiku ke sel tahanan semakin berkurang. Mulai dari setiap hari,
seminggu sekali, sebulan sekali, dan setahun sekali. Entah apa yang membuatnya seperti itu.
Aku selalu berpikir bahwa dia di luar sana sedang sibuk dan tidak sempat mengunjungiku.
Waktu yang kunantikan pun tiba, tepat empat tahun lamanya aku mendekam di sel
tahanan. Kini aku telah bebas. Bisa menikmati segarnya udara. Kota Wonogiri nampak ada
perubahan. Tanah-tanah kosong yang dulu nya tidak di manfaatkan kini berdiri tegak
bangunan-bangunan pertokoan. Namun udara Wonogiri sedari dulu masih baik untuk
dinikmati. Disamping bangunan-bangunan berdiri, pohon-pohon pun nampaknya masih
banyak disini. Setelah keluar dari tahanan aku selalu mencari informasi tentang keberadaan
Belani. Setiap hari aku mencari dan terus mencari. Ku datangi rumahnya pun, dia tidak ada.
Kata tentangga sekitar Belani sudah 2 tahun ini pindah rumah, namun mereka tidak
mengetahui alamat rumah baru nya. Dan suatu ketika aku mendapat berita dari seseorang
bahwa Belani menikah dengan seorang pengusaha kara raya di kota ini. Dan sejak saat itu hati
Sudah satu bulan lamanya aku dan Anindya tidak saling berkomunikasi. Aku selalu
melakukan berbagai cara untuk menemuinya. Namun, dia selalu mengelak. Nomor teleponnya
pun sudah digantinya. Pagi ini aku coba untuk mendatangi rumahnya. Benar saja dia tidak ada
di rumah. Ibu tirinya mempersilahkan aku masuk. Dia bercerita panjang lebar mengenai
keadaan Anindya. Ternyata memang benar, Anindya sudah mengetahui masa lalu ku dengan
“Je, tolong jaga Anindya. Sekarang aku telah ikhlas melepaskan mu untuk anak ku
karena aku tahu betul seberapa besar pengorbanan mu untuk dia. Tolong jaga dia. Aku
akan merestui kalian, aku akan menganggap kamu sebagai menantu ku nantinya.”
“Benarkah yang kamu katakan tadi?”
“Iya, Je. Cepat cari dia dan ungkapkan semua isi hati kamu.”
“Baiklah, Bel. Namun, sekarang akupun tidak tahu dia dimana. Aku mencari nya
kemanapun tetap dia tidak ku temukan. Nomor nya juga ganti.”
“Dia sekarang berada di sebuah desa kecil milik neneknya. Temui dia di desa
“Baiklah, Bel. Besok pagi aku akan segera menjemputnya.”
Malam pun berlalu dengan cepatnya, pagi ini aku bergegas untuk menemui Anindya
dan menjelaskan semuanya. Ku tempuh perjalan ini sekitar tiga jam lamanya. Jalan nya yang
berliku serta bergelombang mempersulit perjalanan ku. Setibanya di desa kecil ini, aku segera
mencari alamat rumah yang Belani berikan semalam kepada ku. Aku bertanya pada salah
seorang warga, dan diantarkan nya aku ke sebuah rumah. Nampak jelas bangunan nya yang
indah dengan dekorasi yang apik membuat kesan asri rumah itu.
“Wa’alaikum salam.” (terdengar si empunya rumah berlari sambil menjawab salam)
“Jenar, untuk apa kamu kesini? Skenario apa lagi yang akan kamu tontonkan kepada
“Dengar dulu Aninya, aku akan menjelaskan semuanya kepada mu.”
“Cukup, Jenar aku sudah tidak butuh penjelasan mu.”
Ku raih tangan Anindya dan ku pegang.
“Memang benar aku mempunyai masa lalu dengan Ibu tiri mu, Belani. Namun
sekarang aku sudah tidak mempunyai perasaan apapun ke dia.”
“Tapi niat awal kamu mengenalku hanya untuk balas dendam kan ke Dia?”
“Iya, memang benar niat awalku mendekati mu hanya untuk membalaskan dendam ku
ke Belani, namun seiring berjalan nya waktu, “
“Seiring berjalan nya waktu kamu telah berhasil mendekati Dia lagi dan membuangku
“Bukan begitu Anindya. Seiring berjalan nya waktu aku mulai merasa nyaman jika
berada disamping mu. Ada keinginan untuk setiap hari bisa mengenalmu lebih jauh.
Kamu istimewa. Kamu berbeda dari wanita-wanita lainnya. Dan aku mulai
menyayangimu, aku ingin selalu berada disamping mu untuk menjagamu. Karena aku
Anindya tak mampu menyembunyikan raut kebahagiaannya. Awalnya
Anindya ragu dengan perasaannya, namun setelah mengetahui Jenar begitu
menyayanginya dia semakin yakin dengan perasaannya. Anindya memutuskan untuk
percaya dan ingin bersama dengan Jenar.
“Sebenarnya cintamu tidaklah bertepuk sebelah tangan.” (sambil tersenyum manis dan
menerima pelukan hangat dari Jenar)
Rasanya tak ingin sedikitpun waktu kulewati tanpanya. Mendengar tawanya adalah
kebahagiaan terbesar yang kurasakan. Seiring berjalannya waktu aku semakin
mengenalnya, semakin besar rasa keinginan ku untuk melindunginya.
Hari-hari kulewati dengan Anindya, kuhabiskan waktu ku bersamanya.
Nivia (Prodi PBI)
sering kulalui. Malam dengan gelapnya menyelimuti jiwa yang goncang ini. Keheningan pun
senantiasa melekat dalam jiwa yang belajar tegar dalam menata hidup. Pikiranku melayang
jauh saat menuju rumah. Dalam lamunan, aku seakan memutar kembali kejadian yang
kualami dahulu. Bukan perihal mudah bagi ku untuk dapat berdiri di sini meneruskan
kembali sisa kehidupan di dunia yang penuh kabut pilu.
Sebuah ponsel hitam berdering dari dalam kantung ku. Ku lihat sekilas, ternyata satu
panggilan dari nomor yang tak dikenal. Dengan perlahan ku angkat panggilan itu.
“Assalamu’alaikum Jenar . Bagaimana kabarmu sekarang? Aku dengar kamu sudah
Kuhentikan langkahku sejenak setelah ku dengar suara itu. Meski tidak melihat orang
yang sedang berbicara di seberang sana, tapi aku tahu betul siapa dia. Aku terdiam, seakan
Entah mengapa jari tangan ku seketika menekan tombol tutup. Kulangkahkan lagi
kedua kaki ku menelusuri kota kecil ini tepatnya di jantung kota Wonogiri. Setelah itu
kemasukkan lagi ponsel kedalam saku celana ku. Jalan ini seakan paham betul kisah hidupku.
Kuketuk pintu rumah bercat putih ini, tapi tak ada respon. Ku ulangi lagi sampai ketiga
Tok tok tok ........ “Assalam’alaikum.”
Kuputuskan untuk duduk di teras rumah sambil menunggu si empunya membukakan
pintu. Ku lihat bintang-bintang di langit, cantik dan indahnya. Setelah 15 menit berlalu tiba-
tiba terdengar derap langkah kaki dari dalam rumah. Seorang gadis cantik yang beranjak
dewasa dengan rambut sebahu, kulit sawo matang dan hidung mancung. Yah, benar itu adalah
adikku Anila, salah satu yang menjadi alasan mengapa aku masih bertahan di sini. Sejak kecil,
aku telah terbiasa hidup mandiri dengan Anila, adik yang sangat ku sayangi. Anila, sejak kecil
dia mengidap penyakit jantung. Itu menjadi kewajiban ku sebagai kakak untuk banting tulang
mencari uang agar Anila bisa berobat dengan teratur.
“Lho kak, udah dari tadi to? Ayo masuk nanti masuk angin.”
“Kakak, dari mana aja kok baru pulang. Oh iya, mau Anila buatin makanan?”
“Nggak usah, tadi kakak makan diluar. Kamu tidur aja.”
Aku terjaga dalam dingin nya malam. Tahu-tahu sudah lewat waktu subuh. Pelan
kuraih ponsel yang terletak tidak jauh dari tempat tidurku. Ku lihat jam. Pukul 04.45. Hari
sudah pagi. Keheningan begitu menguasai ruang dan waktu juga diriku. Kusambar handuk
lalu perlahan aku berjalan menuju kamar mandi. Dingin menusuk tubuh. Setelah selesai
mandi, aku segera menyiapkan sarapan untuk adik ku.
“Hoam, nyem nyem nyem. Hemm wangi nya”
“Hehee iya, lho kak Jenar kok tumben udah rapi gini. Mau kemana?”
“Ini hari pertama kakak kerja lagi setelah kemaren di pecat dari pabrik buntut itu.”
“Emang kakak kerja dimana sekarang?” (sambil meneguk segelas air putih)
“Di salah satu perusaaan besar di kota ini.”
Langit di hari Rabu tampak sangat cerah. Angkasa yang luas itu nyaris tidak terlihat
gumpalan awan putih. Warna kebiruan itu menunjukkan keindahan dan keagungan Sang
Pelukis. Udara Wonogiri yang begitu sejuk pun masih baik untuk dihirup. Ku ayunkan sepeda
viksi ini menuju perusahaan Deltomed. Jarak rumah menuju kantor memang tidak begitu
jauh, sekitar 1 kilometer saja. Dalam perjalanan terbayang sejenak kejadian tadi malam.
Seseorang yang sudah lama menghilang tanpa adanya satu kabar apapun tiba-tiba datang lagi
di kehidupan ku. Dia yang telah lama ini ku rindukan , Dia yang selalu mampir di pikiran ku.
Tapi entah apa yang membuatnya datang di kehidupan ku lagi.
Pukul 19.30. Malam telah membentangkan sayapnya. Beberapa menit setelah pulang
dari kantor, kuputuskan untuk mampir sebentar ke angkringan dekat alun-alun walaupun
hanya sekedar meneguk teh hangat. Lima belas menit lebih aku bersepeda menyusuri kota
Gaplek ini menuju angkringan yang akhir-akhir ini menjadi tujuan melepas penat setelah
seharian bekerja. Aku lalu memesan setelah duduk di bangku panjang dalam angkringan.
Makanan khas yang dijual di angkringan adalah menu khas angkringan pada umumnya. Nasi
kucing, gorengan, macam-macam sundukan. Harganya memang sangat bersahabat bagi
Setelah puas menikmati kudapan malam di angkringan aku segera pulang ke rumah.
Seperti biasa langit malam selalu menyempurnakan keadaan hati ku, sepi dan kosong.
Terdengar suara nyanyian indah dari jangkrik dan kodok saling bertautan. Tiba-tiba rintik
hujan pun turun seketika membuyarkan lamunan ku. Segera ku ayuh sepeda dengan langkah
lebih cepat agar aku tak kehujanan. Liku jalan ini seolah mempersulit kecepatan bersepeda ku.
Jalan mulai licin dan lubang-lubang pun mulai tertutup air hujan. Tidak terasa baju yang
kukenakan basah kuyup. Sambar petir pun mulai terdengar.
Beberapa menit setelah membersihkan diri, aku segera menuju ruang tamu menyusul
Anila yang sedang asik menonton tv. Sambil membawa satu cangkir teh hangat di tangan, aku
duduk di sofa. Ku teguk teh ini dan benar saja itu sangat membantu menghangatkan badan.
Ku usap hangat kepala adik ku bukti bahwa aku sangat menyayanginya. Disandarkan nya
kepala Anila ke pangkuan ku. Kami pun berbincang hangat. Layaknya kakak adik yang baru
bertemu dari perantauan. Apapun yang Anila alami seharian ini dia ceritakan dengan panjang
lebar. Dia memang gadis yang cakap berbicara, tak seperti aku yang hanya berucap
seperlunya saja. Kami mempunyai dua sisi yang berbeda. Anila dengan gayanya yang suka
berbicara dan sikapnya yang ramah kepada siapa saja, tetapi berbeda dengan aku. Aku orang
yang dingin, cuek dan tak suka berucap.
“Oh iya kak, tadi ada orang yang mencari kakak.”
“Kayak nya dia kak Belani deh, tapi dia sekarang jadi beda banget kak penampilan
nya. Baju nya kayak orang-orang kaya gitu.”
Sejenak aku berfikir, untuk apa lagi dia datang ke sini.
“Dia ngomong apa ke kamu dik?”
“Emm, dia nggak ngomong apa-apa. Katanya cuma kangen datang ke rumah ini.”
“Em, memangnya kakak sampai saat ini belum punya cewek?”
“Aku tidak membutuhkan nya, untuk saat ini.”
“Jangan bilang kak Jenar masih menunggu wanita itu?”’
“Wanita yang mana yang kamu maksud? Terlalu banyak wanita mengelilingi.”
(dengan seringai aku berkata penuh percaya diri.)
“Wanita yang telah menghancurkan kehidupan kita dan membuat kakak seperti ini.
Lupakan dia, dia tak pantas untuk kakak.”
“Sudah lah Anila, jangan terlalu kamu pikirkan.” (sambil tersenyum lembut)
“Aku sudah lelah kak, setiap hari harus bersikap sok manis di hadapan perempuan-
perempuan yang ingin mendekatimu. Setiap hari mereka mengirimkan cake, coklat,
ataupun bunga untuk menarik simpati kakak.”
“Maaf untuk itu, tidak perlu kamu bersikap baik kepada mereka. Aku tak akan
sekalipun memperdulikan mereka adikku.”
“Kakak terlalu tampan, pintar dan baik untuk hidup sendiri.”
Udara malam begitu dingin. Menusuk tubuh yang mencoba menahannya. Kesunyian
yang tersisa di penghujung malam masih melekat di dinding ruang dan waktu. Aku hanya
diam membisu menikmati sunyi nya malam. Jam menunjukkan pukul 01.20. Namun aku
masih enggan untuk bergegas beranjak ke kasur. Ku sapu keadaan sekitar dengan
penglihatanku, daun-daun masih basah terkena sisa tumpahan air hujan sore tadi. Di koridor
depan rumah memang tempat yang pas untuk menikmati pemandangan kota Wonogiri di
malam hari. Terlihat lampu-lampu perumahan warga di bawah sana. Rumah ini memang
berada jauh lebih tinggi sehingga di malam hari terdapat tontonan yang apik di bawah sana,
yaitu lampu-lampu rumah warga. Memang kedatangan Belani tadi membuat otak ku terus
berpikir, drama apa lagi yang sedang dia persiapkan untuk ku.
Rumah itu tampak tenang. Hari masih pagi. Bumi Wonogiri telah terang disinari
cahaya indah oleh sang surya. Keramaian telah terdengar dari jalanan dan sudut kota. Orang-
“Lho kak Jenar? Pagi-pagi kok udah di balkon?”
“Eh kamu udah bangun? Iya tadi malam kak Jenar ketiduran disini.”
“Udah, tadi Anila beli sayur di pasar depan rumah. Yaudah kak, masuk yuk sarapan.”
“Iya, kamu siapin dulu aja, kakak mau mandi.”
Selang beberapa menit kemudian, Jenar bergegas masuk ke dalam rumah untuk mandi.
Tercium harumnya hidangan yang telah disajikan Anila di meja makan. Anila memang gadis
yang ahli dalam bidang memasak. Dia selalu menyajikan masakan penuh selera di depan meja
makan. Lima belas menit kemudian aku bergegas menuju meja makan. Ternyata Anila sudah
menungguku sedari tadi. Dia terlihat sudah rapi dengan penampilannya. Memang pagi ini
adalah hari pertama dia masuk kuliah setelah 3 bulan lama nya libur. Selepas menikmati
sarapan, aku bergegas pergi ke kantor.
Jalanan kota Wonogiri mulai ramai. Para pengendara sepeda maupun mobil memadati
jalan. Mereka berkendara secepat mungkin agar bisa sampai di kantor maupun sekolah tanpa
terlambat. Tepat pukul 07.00 aku sampai di kantor. Hari ini seperti biasa ku habiskan waktu
ku seharian di depan komputer. Tiba-tiba ada seorang gadis yang menghampiri meja kerja ku.
“Ini tolong kamu selesaikan ya, soalnya kemarin saya lihat masih banyak yang salah.”
“Oh baik bu, nanti coba saya periksa kembali.”
Seketika aku tertegun melihat sosok gadis yang berdiri di depan meja kerja ku itu. Ya,
benar dia adalah Belani seorang gadis yang telah lama ini menghilang dari kehidupan ku kini
telah kembali. Sekarang dia bukan lah Belani yang ku kenal dahulu, Belani yang hanya gadis
lugu dari desa. Kupalingkah tatapan ini dari nya, seolah aku tidak pernah mengenalinya.
Benar saja dia juga bersikap demikian, seolah diantara kita tidak pernah mengenal
Ruangan ber-AC itu cukup tenang. Hanya seorang lelaki berumur tiga puluhan dan
aku seorang. Lima menit kemudian ku beranikan diri menghampiri meja kerjanya. Ternyata
lelaki itu sedang asyik membaca koran tadi pagi.
“Lho pak, ndak makan siang to?”
“Eh, kamu Jenar. Ah pagi ini istri saya sudah membawakan bekal untuk makan siang.
“Oh, saya masih kenyang pak. Em, pak memangnya tadi gadis yang menghampiri
(sambil berfikir) “Oalah, ibu Belani ya? Dia itu istri dari pemilik perusahaan ini.
Memangnya kamu tidak tahu.”
“Apa? Oh saya kira itu anak dari pemilik perusahaan ini pak.”
Ketermenungan ku itupun buyar seketika saat telepon genggam ini berdering sangat
keras. Aku langsung beranjak dari tempat duduk ku. Meraih ponsel yang ada di atas meja
kerja. Belani sedang memanggil. Sebuah guratan tanda tanya pun terlihat di wajahku.
“Maaf mengganggu, Je,” ucap Belani setelah ku balas salamnya. “Kamu masih di
“Oh, masih. Memangnya kenapa.’
“Em, aku Cuma mau minta maaf atas sikap ku yang seolah tadi siang di kantor,
bagaimana kalau kita dinner? Aku tunggu di rumah makan Kampung Steak ya.”
Entah ini perasaan senang atau sedih. Seketika aku segera membereskan meja kerja
dan bergegas menuju tempat yang Belani minta. Dengan langkah yang terburu-buru tidak
sengaja aku menabrak seorang gadis di depan ku. Kertas-kertas penting yang ada di tangan
nya pun berserakan di lantai. Aku segera membantu nya merapikan kertas-kertas itu.
“Ah, kamu gimana sih. Kalau jalan liat-liat dong.” Ucap nya ketus
“Em, maaf-maaf saya tidak sengaja.”
Tanpa banyak basa-basi gadis itu pun segera melangkah pergi. Begitu pun dengan aku.
Waktu menunjukkan pukul 07.45. Aku segera meninggalkan kantor ini. Baru dua menit
setelah itu, langsung ada yang memanggil.
“Wa’alaikumssalam. Ada apa Anila?”
“Kakak nanti pulang jam berapa? Soal nya aku masih di rumah temen ngerjain tugas.”
“Aduh, nanti kakak pulang malam Anila, masih ada kerjaan di kantor.”
“Oh bagus deh kak, nanti kakak sekalian makan di luar aja ya.”
Klik. Telepon ditutup. Ayuan sepeda viksi ini pun ku percepat. Mungkin Belani sudah
menunggu lama. Pikirku salah, ternyata Belani belum datang. Kuputuskan untuk memesan
tempat yang nyaman dengan latar menghadap ke koridor depan. Sambil menunggu
kedatangan nya, ku coba berjalan menghampiri rak buku besar yang ada di dalam cafe itu. Ku
pandangi buku-buku yang berbaris rapi di sana. Langkah tangan ku pun terhenti di salah satu
novel karangan Tere-Liye “Rembulan Tenggelam Di Wajahmu” . Kutarik buku itu dan
kubawa ke meja yang telah ku pesan tadi. Tak ku sadari seorang gadis cantik ternyata sedari
“Kamu udah lama berdiri di situ?” ucap ku perlahan
“Kamu udah pesan minum? mbak-mbak !” panggilnya
Aku sesekali memandang wajah Belani. Hanya sebentar. Namun rasa kagum ku
padanya sampai saat ini belum lah pudar. Tiada keinginan untuk menegasikan keanggunan
sang bidadari tanpa sayap yang duduk di depan ku itu. Rasa yang dulu ada ternyata sampai
saat ini masih lah melekat di dalam relung hati terdalam. Walaupun gadis itu telah melukai
hati ini. Ingin sekali lagi ku genggam tangan nya, ada asa untuk bisa menjadikan nya wanita
yang halal bagi diri ku. Namun kenyataan berkata lain.
“Jenar, aku minta maaf atas sikap ku tadi pagi dan kesalahan yang ku perbuat ke
“Kesalah yang mana, yang kamu maksud, Bel?”
“Kesalahan yang ku perbuat beberapa tahun silam.”
“Untuk apa kamu sekarang disini bersama ku? Bukankah kamu sekarang telah
menemukan kehidupan yang kamu ingin kan?”
Air mata pun perlahan menetes dari mata indah Belani. Hati pun tak kuasa melihat
kesedihannya. Namun apalah daya, tangan ini serasa kelu untuk mengusap air mata itu.
Setalah menikmati makan malam, langkah kami terpencar. Tiada kata lagi yang mampu ku
ucap. Hanya sepenggal kata yang mampu kuucap lirih dalam benak.
Kau diantara bayang-bayang dan kenangan masa lalu, mengalir lembut di pipiku.
Dan bersemai diantara dua kasih lalu membisu, menatap malam diantara kesepian.
Terkadang hidup terasa sulit ketika cobaan datang menghantam jiwa. Jalan terasa
buntu. Ruang gerak sempit. Pikiran penuh beban. Langkah pun terhenti. Jiwa ku sudah
separuh ada dalam kesadaran. Ku tatap dinding kamar yang hanya memajang kebisuan yang
terasa seakan abadi. Waktu berdetak terus tanpa henti, walau hanya sedetik. Hingga ku sadari
malam sudah kian hening. Hanya saja jiwa ini masih enggan untuk beranjak dari tempat
Pagi ini, seakan bumi memahami jiwa ku yang sedang hancur. Langit nampak
mendung. Kuputuskan pagi ini untuk pergi ke kantor mengendarai mobil. Memang aku lebih
menyukai sepeda viksi putih itu ketimbang mobil merah ini. Aku serasa menyatu dengan alam
dikala menikmati perjalanan dengan sepeda viksi. Hujan pun perlahan mulai turun dengan
Lima belas menit kemudian aku tiba di kantor. Suasana kantor nampak nya masih
sepi. Kulangkahkan kaki ini dengan perlahan, seakan kaki ini kelu untuk berjalan.
Sesampainya di depan elevator, ku tekan tombol untuk dapat menghantar ku ke lantai 5
gedung kantor ini. Di dalam elevator aku bertemu dengan gadis cantik yang kemarin
bertabrakan dengan ku. Sikap nya begitu dingin.
Di depan meja kerja ku, aku masih termenung. Tiada hasrat sedikitpun untuk
menyentuh tumpukan kertas yang ada di depan meja. Seminggu ini memang pekerjaan ku
sama sekali tidak terselesaikan. Aku hanya terdiam dengan tatapan kosong. Aku terus saja
memikirkan kejadian malam itu. Dimana Belani meminta maaf kepada ku dengan penuh rasa
bersalah. Aku bisa merasakannya. Entah mengapa tanpa diminta pun secara otomatis hati ini
“Sudah selesai melamun nya?”
Tiba-tiba ada seseorang yang sedari tadi berdiri di depan meja kerja ku tanpa kusadari
sedikit pun. Aku pun memperbaiki posisi duduk ku
“Oh, em em. Tapi maaf sebelum nya Anda siapa ya dan ada kepentingan apa anda
“Hah? Apa yang barusan Anda bilang tadi? Oh jadi Anda karyawan baru ya di sini?”
“Em iya, saya karyawan baru disini.”
“Saya tunggu anda di ruangan saya sekarang.”
“Oh, berani-berani nya anda menyuruh saya.”
“Jangan banyak bicara. Lekas kerjakan apa perintah saya.”
Seketika karyawan-karyawan yang ada di ruangan itu pun menatap percakapan ku dengan
gadis itu. Sementara aku hanya kebingungan dalam diam. Aku segera beranjak dari tempat
duduk, sebelum nya aku masih bingung kemana aku menemui gadis tadi. Aku pun tidak
mengenalinya sama sekali bahkan jabatan dia di kantor ini.
“Em, hai kamu anak muda. Kamu tahu kan tadi kamu bicara dengan siapa?”
“Tidak, memangnya dia siapa dan apa pentingnya jabatan dia di kantor ini pak?”
“Wah kamu benar-benar ya, temui saja dia di ruangan nya.”
“Ruangan nya pun saya tidak mengetahui nya pak.”
“Kamu ini, lihat saja apa yang akan Dia lakukan kepada mu. Sudah pergi sana ke
ruangan nya jangan sampai dia memakan mu hidup-hidup.”
“Aih Bapak ini, kemana saya harus pergi?”
“Kamu pergi ke lantai 3, nanti tanya saja ke karyawan disana ruang Direktur Utama
Lima menit kemudian aku tiba di depan pintu ruangan yang dimaksud kan tadi.
Kuketuk pintu itu perlahan seakan nyaris tidak ada suara yang ditimbulkan nya. Ku buka
gagang pintu, dan dengan langkah yang amat pelan ku beranikan diri untuk masuk dalam
ruangan itu. Terlihat ada seorang gadis muda sedang duduk di depan meja kerja nya. Nampak
nya dia sedang sibuk mengotak-atik laptop di depan nya. Bahkan dia tidak menyadari bahwa
aku sedang memperhatikan kegiatan nya. Dia baru tersadar setelah mendengar deheman ku.
“Oh, kamu nampaknya. Duduk!”
Seusai menyelesaikan percakapan di ruangan itu, aku segera melangkahkan kaki untuk
keluar dari ruangan. Segera aku bergegas untuk kembali ke meja kerja ku. Setelah menaiki
eskalator tibalah aku di ruang kerja. Lama aku memikirkan kejadian tadi. Betapa bodoh aku
ini, dengan berani nya membentak Direktur Utama dan bersikap seolah orang itu tidak
mempunyai jabatan di kantor ini. Ya benar, dia adalah Anindya seorang Direktur Utama, dan
anak dari pemegang kantor ini. Dan itu berarti Anindya adalah anak tiri dari Belani. Umurnya
yang terhitung masih muda namun sikap nya yang tegas dan matang dalam menghadapi
persoalan-persoalan di kantor memang pantas menjadikan nya sebagai Direktur. Terang saja,
Dia bersikap tegas kepada ku dengan memberikan hukuman.
Seminggu berlalu setelah kejadian di Cafe dengan Belani. Semacam petaka bagi ku
karena kejadian itu, akibatnya disaat orang-orang sedang asik menikmati hari Minggu dengan
bersantantai di rumah aku harus menyelesaikan tugas di kantor. Setumpukan pekerjaan telah
menantiku disana. Mobil merah ini melaju dengan cepat nya. Di tengah perjalanan aku
berhenti sebentar di salah satu mini market untuk membeli makanan dan minuman.
Sekitar lima belas menit lama nya aku tiba di kantor, tangan ku penuh dengan
tentengan makanan dan setumpukan pekerjaan yang sengaja aku bawa ke rumah untuk ku
selesaikan. Tak kuduga gara-gara kejadian beberapa waktu silam ternyata menyita waktu ku.
Pekerjaan ku pun terbengkalai. Namun aku harus bangkit. Nampaknya hanya aku saja yang
berada di kantor ini, sedari tadi tak ada seorang pun yang kulihat. Di meja hitam ku ini aku
seharian mengotak-atik laptop dan kertas-kertas penting disana. Tiba-tiba aku mendengar
derap langkah kaki memasuki ruangan ku. Ternyata itu Direktur Anindya. Dia berjalan ke
“Bagaimana pekerjaan mu, sudah selesai?”
“Oh, mungkin besok pagi berkas-berkas ini bisa saya antar ke meja kerja anda.”
“Bagus lah kalau begitu.” (sambil berjalan keluar ruangan)
“Em, Direktur sudah makan? Bagamana kalau saya traktir anda minum hanya untuk
sekedar meminta maaf atas kelakuan saya kemarin.”
“Boleh juga.” (dengan sikap dingin nya)
Ku lajukan mobil ini dengan kecepatan sedang. Di dalam mobil ini saya terdengar
lantunan musik yang sedang ku putar. Memang Direktur Anindya hanya berdiam diri tanpa
mengucapkan satu patah kata pun. Aku pun juga demikian. Nampaknya langit sore ini sedang
tidak bersahabat. Terlihat gumpalan mendung sedang bernaung di atas sana, kilat petir pun
Dalam benak Direktur itu, sebenarnya dia tidak begitu buruk bahkan sangat tampan, IQ yang
diatas rata-rata, pesonanya , dan sikapnya yang penuh percaya diri. Cih apa-apaan aku ini.
Dia hanya seorang karyawan biasa namun kenapa pesona nya tak mampu aku abaikan.
Aku pun segera membukakan pintu untuk nya. Kami berjalan menelusuri keheningan
malam. Memang kota ini selalu nampak sepi. Aku melihat sekeliling mencari-cari meja yang
kosong. Namun entah mengapa tangan ini seketika menggenggam tangan nya dan menuntun
nya ke meja yang ku maksud kan. Tempat ini memang nampak panorama kota Wonogiri yang
begitu indah di kegelapan malam. Lampu warna-warni menghiasi kota nan asri ini. Segera ku
pesan menu makan dan minum. Direktur pun hanya meng-iya kan apa yang aku pesan.
“Saya dengar ada film baru yang menarik, em bagaimana jika anda menemani saya
“Apa? Saya menemani kamu?”
“Yah, itupun jika Direktur menyetujui nya. Lagi pula anda kesini dengan saya tanpa
membawa mobil sendiri. Bagaimana mungkin saya harus mengantar anda terlebih
dahulu ke kantor dan kembali lagi ke sini.” (dengan nada bicara penuh percaya diri)
Seusainya makan malam, mobil yang ku kendarai pun meluncur ke gedung bioskop.
Kami berencana untuk menonton film. Dua jam pun kami habiskan disana. Film itu cukup
menarik. Kami berdua sangat menikmati nya. Direktur Anindya nampak nya mulai
menunjukkan sikap asli nya. Dia yang selama ini selalu bersikap dingin dan tegas, ternyata
aku melihat banyak kesedihan yang tersimpan pada dirinya. Aku tercengang melihatnya
ketika menangis tersedu-sedu saat menyaksikan film tadi. Entah mengapa terbersit pikiran
dan keinginan yang sangat kuat untuk membuatnya terbebas dari beban yang selama ini di
sembunyikannya. Aku ingin membuatnya bahagia. Dia berbeda dari wanita lainnya. Dia
sangat menarik. Kemudian aku memutuskan untuk mengantarnya ke kantor, namun aku
berubah pikiran. Aku tidak tega meninggalkan nya di kantor dan melihatnya mengendarai
mobil malam-malam seorang diri. Anindya nampaknya bingung.
“Ini bukan jalan ke kantor. Apa kamu sudah lupa jalannya, sebenarnya kita mau
“Saya akan mengantarkan Anda pulang ke rumah. Bukankah ini jalan menuju rumah
“Sejak kapan kamu bersikap seenaknya sendiri?”
“Saya tidak tega melihat wanita pulang malam-malam sendiri. Besok pagi saya jemput
Mobil yang membawa kami pun tiba di depan rumah mewah yang berada di salah satu
komplek Wonokarto. Aku pun membukakakan pintu mobil untuk nya. Terlihat jelas wajahnya
yang nampak kelelahan. Ku bawakan tas dan laptop yang ada di dekapannya. Dan ku bantu
dia saat membuka pintu gerbang. Seberkas senyuman indah terlukis olehnya. Tiba-tiba ponsel
ku berbunyi. Segera aku berpamitan dan masuk ke mobil untuk menerima panggilan ini.
Ternyata panggilan dari seseorang yang ku kenal.
“Jenar, kamu sedang dimana?”
“Memangnya kamu ada perlu apa?”
“Aku hanya ingin mendengar suara mu.’
Tuttttt....... Segera ku tutup panggilannya. Aku muak dengan semua sikapnya.
Kenangan beberapa tahun silam pun seakan kembali kuputar dalam ingatan ku. Mengingat
betapa bodohnya aku mencintai seseorang seperti Belani. Cinta ku yang tulus kepadanya
hanya ia balas dengan luka dan kepedihan. Luka ini berawal ketika Belani sedang berada di
suatu tempat, tiba-tiba ada sekawanan anak muda yang mabuk mendekatinya. Mereka
mempunyai niat untuk melakukan tindak asusila ke Belani. Karena panik, Belani
melemparkan botol kaca ke kepala anak muda itu. Kepala anak muda itu mengeluarkan darah
yang tiada henti dan tubuhnya seketika tergeletak di lantai. Segera dia menelepon ku. Lima
belas kemudian aku tiba di suatu tempat yang di maksud nya saat di telepon. Status ku yang di
kala itu adalah mahasiwa kedokteran jelas saja mengetahui bagaimana kondisi anak itu.
Jantung nya sudah tidak berdetak, denyut nadi nya pun perlahan mulai menghilang. Benar
saja, anak itu meninggal. Kulihat Belani terisak menangis dengan botol kaca yang masih di
genggamnya. Aku pun tak kuasa melihatnya seperti ini, kulangkahkan perlahan kaki ini untuk
“Sebaiknya kamu menyerahkan diri ke polisi. Dia, dia sudah tidak ada di dunia ini.”
“Tidak, tidak mungkin anak itu mati. Dia masih hidup kan, Je.” (dengan menangis
“Menyerahlah, Bel. Hukuman akan semakin berat jika kamu menjadi buronan.”
“Tapi bukan aku, Je. Bukan aku yang membunuh orang itu.”
Kudekap erat tubuh nya. Hanya untuk sekedar membuat nya lebih tenang. Tangis nya
pun buncah. Ku genggam tangan mungil nya, sungguh tangan nya dingin dan bergetar. Dia
sangatlah ketakutan. Aku berusaha menenangkan wanita satu-satu nya yang aku sayangi.
“Pergilah dari sini seolah tidak terjadi apa-apa, lanjutkan hidup mu dan jangan sekali-
kali menoleh ke belakang. Lupakan kejadian ini. Aku yang akan menggantikan mu.”
Belani bergetar hebat, rahangnya tercekat, dia tidak mampu berkata apa-apa. Selain menangis,
aku merapihkan rambutnya yang berantakan dan membuatnya terlihat baik-baik saja. Aku
segera memaksanya untuk pergi dari sini, karena polisi terlihat mulai mendekat. Dan impian
yang kurangkai selama ini hancur seketika, impian untuk menjadi seorang Dokter. Aku di DO
Seketika lamunan ku pecah, ketika mendengar telepon berbunyi. Ternyata dari Adik
“Kak, kamu dimana? Kenapa belum pulang, ini sudah lewat tengah malam.”
“Ah iya, bentar lagi kakak sampai rumah. Tadi ada pekerjaan di kantor.”
Segera ku nyalakan mesin mobil ini dan melaju meninggalkan rumah Anindya. Tepat dua
puluh menit aku tiba di depan rumah ku. Segera aku masuk dan mengunci pintu.
Kulangkahkan kaki menuju kamar tidur. Ku jatuhkan tubuh ini ke tempat tidur dan terlelap.
Jam menunjukkan pukul 07.00. Kusantap sepotong roti buatan adik ku untuk
mengganjal perut. Segera ku nyalakan mesin mobil dan bergegas untuk berangkat. Pagi ini
seperti janji ku kemarin untuk menjemput Anindya. Perjalanan menuju rumah nya sekitar 20
kilometer. Sesampainya disana aku turun dari mobil dan berjalan menuju gerbang rumahnya.
Setelah menunggu sepuluh menit lamanya, dia datang dengan membawa banyak bawaan di
tangan nya. Setibanya di kantor, aku dan Anindya segera memasuki ruang kerja.
Waktu berjalan dengan begitu cepatnya, dua bulan sudah aku dan Anindya saling
kenal. Kami melewati hari bersama-sama. Mulai dari berangkat kerja, di kantor sampai
pulang kerja ku lalui bersama nya. Aku merasa nyaman berada di dekatnya begitu pula
dengan Anindya. Malam ini aku akan membuat kejutan untuk nya. Sengaja aku pergi ke
rumah nya tanpa meminta persetujuan dari nya. Ku bawakan seikat mawar merah ke
rumahnya. Ku ketuk pintu rumahnya, nampak tak ada seorang pun yang mendengar. Tiba-tiba
derap kaki terdengar oleh ku, ternyata seseorang yang ingin membukakan pintu. Mungkin dia
Anindya. Perkiraan ku pun salah, dia adalah Belani.
Di ruang tamu itu aku dan Belani membicarakan banyak hal. Apa yang aku rasakan
sekarang saat melihat Belani tidaklah sama dengan perasaan ku dahulu. Kini aku melihatnya
hanya seorang teman, bahkan aku mulai membiasakan diri untuk bersikap ramah kepada nya
karena dia ibu dari Anindya. Wanita yang kusayangi. Karena asyik nya mengobrol, aku lupa
tujuan awal ku ke rumah ini. Tak kuduga, ternyata Anindya sedari tadi berdiri tepat di pintu
masuk ruang tamu. Setelah ku sadari keberadaan nya, aku segera menghampiri nya. Namun
dia segera berlari menuju kamarnya dan terdengar isakan tangis oleh nya.
Ku ketuk pintu kamar nya beberapa kali, namun tak sekali pun di gubris olehnya. Aku
takut dia salah paham kepada ku. Telepon nya seketika di non-aktifkan. Lama aku menunggu
di depan pintu kamar itu, aku duduk bersandar pada daun pintu itu. Berharap dia mau
mendengakan alasanku. Namun lima jam lamanya aku menunggu, dia sama sekali tidak
keluar. Mungkin dia memang marah kepada ku. Kuputuskan untuk pulang dan mencoba
menghubungi nya lagi nanti. Aku pun ijin pulang ke Ibu tirinya, Belani.
Sesampai ku di rumah, aku masih memikirkan nya. Ku telepon namun tetap saja nihil
hasilnya. Aku tidak ingin Anindya membenci ku, karena aku terlanjur mencintainya. Aku
menyayanginya. Dia adalah satu-satunya wanita yang bisa membuat ku melupakan Belani.
Dia yang membuatku bangkit dari keterpurukan masa lalu. Dalam lamunan itu, terbersit
Dulu di dalam sel tahanan aku selalu berharap dapat sesegera mungkin menikmati
segarnya udara luar. Belani, wanita yang kusayangi seminggu sekali pasti datang untuk
menjenguk ku. Dia selalu perhatian, selalu membawakan makanan, buku, atau apa saja.
Walapun datang dengan tangan kosong pun aku senang. Namun seiring berjalannya waktu,
intensitas nya mengunjungiku ke sel tahanan semakin berkurang. Mulai dari setiap hari,
seminggu sekali, sebulan sekali, dan setahun sekali. Entah apa yang membuatnya seperti itu.
Aku selalu berpikir bahwa dia di luar sana sedang sibuk dan tidak sempat mengunjungiku.
Waktu yang kunantikan pun tiba, tepat empat tahun lamanya aku mendekam di sel
tahanan. Kini aku telah bebas. Bisa menikmati segarnya udara. Kota Wonogiri nampak ada
perubahan. Tanah-tanah kosong yang dulu nya tidak di manfaatkan kini berdiri tegak
bangunan-bangunan pertokoan. Namun udara Wonogiri sedari dulu masih baik untuk
dinikmati. Disamping bangunan-bangunan berdiri, pohon-pohon pun nampaknya masih
banyak disini. Setelah keluar dari tahanan aku selalu mencari informasi tentang keberadaan
Belani. Setiap hari aku mencari dan terus mencari. Ku datangi rumahnya pun, dia tidak ada.
Kata tentangga sekitar Belani sudah 2 tahun ini pindah rumah, namun mereka tidak
mengetahui alamat rumah baru nya. Dan suatu ketika aku mendapat berita dari seseorang
bahwa Belani menikah dengan seorang pengusaha kara raya di kota ini. Dan sejak saat itu hati
Sudah satu bulan lamanya aku dan Anindya tidak saling berkomunikasi. Aku selalu
melakukan berbagai cara untuk menemuinya. Namun, dia selalu mengelak. Nomor teleponnya
pun sudah digantinya. Pagi ini aku coba untuk mendatangi rumahnya. Benar saja dia tidak ada
di rumah. Ibu tirinya mempersilahkan aku masuk. Dia bercerita panjang lebar mengenai
keadaan Anindya. Ternyata memang benar, Anindya sudah mengetahui masa lalu ku dengan
“Je, tolong jaga Anindya. Sekarang aku telah ikhlas melepaskan mu untuk anak ku
karena aku tahu betul seberapa besar pengorbanan mu untuk dia. Tolong jaga dia. Aku
akan merestui kalian, aku akan menganggap kamu sebagai menantu ku nantinya.”
“Benarkah yang kamu katakan tadi?”
“Iya, Je. Cepat cari dia dan ungkapkan semua isi hati kamu.”
“Baiklah, Bel. Namun, sekarang akupun tidak tahu dia dimana. Aku mencari nya
kemanapun tetap dia tidak ku temukan. Nomor nya juga ganti.”
“Dia sekarang berada di sebuah desa kecil milik neneknya. Temui dia di desa
“Baiklah, Bel. Besok pagi aku akan segera menjemputnya.”
Malam pun berlalu dengan cepatnya, pagi ini aku bergegas untuk menemui Anindya
dan menjelaskan semuanya. Ku tempuh perjalan ini sekitar tiga jam lamanya. Jalan nya yang
berliku serta bergelombang mempersulit perjalanan ku. Setibanya di desa kecil ini, aku segera
mencari alamat rumah yang Belani berikan semalam kepada ku. Aku bertanya pada salah
seorang warga, dan diantarkan nya aku ke sebuah rumah. Nampak jelas bangunan nya yang
indah dengan dekorasi yang apik membuat kesan asri rumah itu.
“Wa’alaikum salam.” (terdengar si empunya rumah berlari sambil menjawab salam)
“Jenar, untuk apa kamu kesini? Skenario apa lagi yang akan kamu tontonkan kepada
“Dengar dulu Aninya, aku akan menjelaskan semuanya kepada mu.”
“Cukup, Jenar aku sudah tidak butuh penjelasan mu.”
Ku raih tangan Anindya dan ku pegang.
“Memang benar aku mempunyai masa lalu dengan Ibu tiri mu, Belani. Namun
sekarang aku sudah tidak mempunyai perasaan apapun ke dia.”
“Tapi niat awal kamu mengenalku hanya untuk balas dendam kan ke Dia?”
“Iya, memang benar niat awalku mendekati mu hanya untuk membalaskan dendam ku
ke Belani, namun seiring berjalan nya waktu, “
“Seiring berjalan nya waktu kamu telah berhasil mendekati Dia lagi dan membuangku
“Bukan begitu Anindya. Seiring berjalan nya waktu aku mulai merasa nyaman jika
berada disamping mu. Ada keinginan untuk setiap hari bisa mengenalmu lebih jauh.
Kamu istimewa. Kamu berbeda dari wanita-wanita lainnya. Dan aku mulai
menyayangimu, aku ingin selalu berada disamping mu untuk menjagamu. Karena aku
Anindya tak mampu menyembunyikan raut kebahagiaannya. Awalnya
Anindya ragu dengan perasaannya, namun setelah mengetahui Jenar begitu
menyayanginya dia semakin yakin dengan perasaannya. Anindya memutuskan untuk
percaya dan ingin bersama dengan Jenar.
“Sebenarnya cintamu tidaklah bertepuk sebelah tangan.” (sambil tersenyum manis dan
menerima pelukan hangat dari Jenar)
Rasanya tak ingin sedikitpun waktu kulewati tanpanya. Mendengar tawanya adalah
kebahagiaan terbesar yang kurasakan. Seiring berjalannya waktu aku semakin
mengenalnya, semakin besar rasa keinginan ku untuk melindunginya.
Hari-hari kulewati dengan Anindya, kuhabiskan waktu ku bersamanya.
Nivia (Prodi PBI)
No comments:
Post a Comment