Translate

Tuesday 1 March 2016

Kau, yang Kurindu

Kini aku telah bebas. Kulangkahkan kaki ku menelusuri jalan dan lorong yang sudah

sering kulalui. Malam dengan gelapnya menyelimuti jiwa yang goncang ini. Keheningan pun

senantiasa melekat dalam jiwa yang belajar tegar dalam menata hidup. Pikiranku melayang

jauh saat menuju rumah. Dalam lamunan, aku seakan memutar kembali kejadian yang

kualami dahulu. Bukan perihal mudah bagi ku untuk dapat berdiri  di sini meneruskan

kembali sisa kehidupan di dunia yang penuh kabut pilu.

Sebuah ponsel hitam berdering dari dalam kantung ku. Ku lihat sekilas, ternyata satu

panggilan dari nomor yang tak dikenal. Dengan perlahan ku angkat panggilan itu.

“Assalamu’alaikum Jenar . Bagaimana kabarmu sekarang? Aku dengar kamu sudah

Kuhentikan langkahku sejenak setelah ku dengar suara itu. Meski tidak melihat orang

yang sedang berbicara di seberang sana, tapi aku tahu betul siapa dia.  Aku terdiam, seakan

Entah mengapa jari tangan ku seketika menekan tombol tutup. Kulangkahkan lagi

kedua kaki ku menelusuri kota kecil ini tepatnya di jantung kota Wonogiri. Setelah itu

kemasukkan lagi ponsel kedalam saku celana ku. Jalan ini seakan paham betul kisah hidupku.

Kuketuk pintu rumah bercat putih ini, tapi tak ada respon. Ku ulangi lagi sampai ketiga

Tok tok tok ........ “Assalam’alaikum.”

Kuputuskan untuk duduk di teras rumah sambil menunggu si empunya membukakan

pintu. Ku lihat bintang-bintang di langit, cantik dan indahnya. Setelah 15 menit berlalu tiba-

tiba terdengar derap langkah kaki dari dalam rumah. Seorang gadis cantik yang beranjak

dewasa dengan rambut sebahu, kulit sawo matang dan hidung mancung. Yah, benar itu adalah

adikku Anila, salah satu yang menjadi alasan mengapa aku masih bertahan di sini. Sejak kecil,

aku telah terbiasa hidup mandiri dengan Anila, adik yang sangat ku sayangi. Anila, sejak kecil

dia mengidap penyakit jantung. Itu menjadi kewajiban ku sebagai kakak untuk banting tulang

mencari uang agar Anila bisa berobat dengan teratur.

“Lho kak, udah dari tadi to? Ayo masuk nanti masuk angin.”

“Kakak, dari mana aja kok baru pulang. Oh iya, mau Anila buatin makanan?”

“Nggak usah, tadi kakak makan diluar. Kamu tidur aja.”

Aku terjaga dalam dingin nya malam. Tahu-tahu sudah lewat waktu subuh. Pelan

kuraih ponsel yang terletak tidak jauh dari tempat tidurku. Ku lihat jam. Pukul 04.45. Hari

sudah pagi. Keheningan begitu menguasai ruang dan waktu juga diriku. Kusambar handuk

lalu perlahan aku berjalan menuju kamar mandi. Dingin menusuk tubuh.  Setelah selesai

mandi, aku segera menyiapkan sarapan untuk adik ku.

“Hoam, nyem nyem nyem. Hemm wangi nya”

“Hehee iya, lho kak Jenar kok tumben udah rapi gini. Mau kemana?”

“Ini hari pertama kakak kerja lagi setelah kemaren di pecat dari pabrik buntut itu.”

“Emang kakak kerja dimana sekarang?” (sambil meneguk segelas air putih)

“Di salah satu perusaaan besar di kota ini.”

Langit di hari Rabu tampak sangat cerah. Angkasa yang luas itu nyaris tidak terlihat

gumpalan awan putih. Warna kebiruan itu menunjukkan keindahan dan keagungan Sang

Pelukis. Udara Wonogiri yang begitu sejuk pun masih baik untuk dihirup. Ku ayunkan sepeda

viksi ini menuju perusahaan Deltomed. Jarak rumah menuju kantor memang tidak begitu

jauh, sekitar 1 kilometer saja. Dalam perjalanan terbayang sejenak kejadian tadi malam.

Seseorang yang sudah lama menghilang tanpa adanya satu kabar apapun tiba-tiba datang lagi

di kehidupan ku. Dia yang telah lama ini ku rindukan , Dia yang selalu mampir di pikiran ku.

Tapi entah apa yang membuatnya datang di kehidupan ku lagi.

Pukul 19.30. Malam telah membentangkan sayapnya. Beberapa menit setelah pulang

dari kantor, kuputuskan untuk mampir sebentar ke angkringan dekat alun-alun walaupun

hanya sekedar meneguk teh hangat. Lima belas menit lebih aku bersepeda menyusuri kota

Gaplek ini menuju angkringan yang akhir-akhir ini menjadi tujuan melepas penat setelah

seharian bekerja. Aku lalu memesan setelah duduk di bangku panjang dalam angkringan.

Makanan khas yang dijual di angkringan adalah menu khas angkringan pada umumnya. Nasi

kucing, gorengan, macam-macam sundukan. Harganya memang sangat bersahabat bagi

Setelah puas menikmati kudapan malam di angkringan aku segera pulang ke rumah.

Seperti biasa langit malam selalu menyempurnakan keadaan hati ku, sepi dan kosong.

Terdengar suara nyanyian indah dari jangkrik dan kodok  saling bertautan. Tiba-tiba rintik

hujan pun turun seketika membuyarkan lamunan ku. Segera ku ayuh sepeda dengan langkah

lebih cepat agar aku tak kehujanan. Liku jalan ini seolah mempersulit kecepatan bersepeda ku.

Jalan mulai licin dan lubang-lubang pun mulai tertutup air hujan. Tidak terasa baju yang

kukenakan basah kuyup. Sambar petir pun mulai terdengar.

Beberapa menit setelah membersihkan diri, aku segera menuju ruang tamu menyusul

Anila yang sedang asik menonton tv. Sambil membawa satu cangkir teh hangat di tangan, aku

duduk di sofa. Ku teguk teh ini dan benar saja itu sangat membantu menghangatkan badan.

Ku usap hangat kepala adik ku bukti bahwa aku sangat menyayanginya. Disandarkan nya

kepala Anila ke pangkuan ku. Kami pun berbincang hangat. Layaknya kakak adik yang baru

bertemu dari perantauan. Apapun yang Anila alami seharian ini dia ceritakan dengan panjang

lebar. Dia memang gadis yang cakap berbicara, tak seperti aku yang hanya berucap

seperlunya saja. Kami mempunyai dua sisi yang berbeda. Anila dengan gayanya yang suka

berbicara dan sikapnya yang ramah kepada siapa saja, tetapi berbeda dengan aku. Aku orang

yang dingin, cuek dan tak suka berucap.

“Oh iya kak, tadi ada orang yang mencari kakak.”

“Kayak nya dia kak Belani deh, tapi dia sekarang jadi beda banget kak penampilan

nya. Baju nya kayak orang-orang kaya gitu.”

Sejenak aku berfikir, untuk apa lagi dia datang ke sini.                                         

“Dia ngomong apa ke kamu dik?”

“Emm, dia nggak ngomong apa-apa. Katanya cuma kangen datang ke rumah ini.”

“Em, memangnya kakak sampai saat ini belum punya cewek?”

“Aku tidak membutuhkan nya, untuk saat ini.”

“Jangan bilang kak Jenar masih menunggu wanita itu?”’

“Wanita yang mana yang kamu maksud? Terlalu banyak wanita mengelilingi.”

(dengan seringai aku berkata penuh percaya diri.)

“Wanita yang telah menghancurkan kehidupan kita dan membuat kakak seperti ini.

Lupakan dia, dia tak pantas untuk kakak.”

“Sudah lah Anila, jangan terlalu kamu pikirkan.” (sambil tersenyum lembut)

“Aku sudah lelah kak, setiap hari harus bersikap sok manis di hadapan perempuan-

perempuan yang ingin mendekatimu. Setiap hari mereka mengirimkan cake, coklat,

ataupun bunga untuk menarik simpati kakak.”

“Maaf untuk itu, tidak perlu kamu bersikap baik kepada mereka. Aku tak akan

sekalipun memperdulikan mereka adikku.”

“Kakak terlalu tampan, pintar dan baik untuk hidup sendiri.”

Udara malam begitu dingin. Menusuk tubuh yang mencoba menahannya. Kesunyian

yang tersisa di penghujung malam masih melekat di dinding ruang dan waktu. Aku hanya

diam membisu menikmati sunyi nya malam. Jam menunjukkan pukul 01.20. Namun aku

masih enggan untuk bergegas beranjak ke kasur. Ku sapu keadaan sekitar dengan

penglihatanku, daun-daun masih basah terkena sisa tumpahan air hujan sore tadi. Di koridor

depan rumah memang tempat yang pas untuk menikmati pemandangan kota Wonogiri di

malam hari. Terlihat lampu-lampu perumahan warga di bawah sana. Rumah ini memang

berada jauh lebih tinggi sehingga di malam hari terdapat tontonan yang apik di bawah sana,

yaitu lampu-lampu rumah warga. Memang kedatangan Belani tadi membuat otak ku terus

berpikir, drama apa lagi yang sedang dia persiapkan untuk ku.

Rumah itu tampak tenang. Hari masih pagi. Bumi Wonogiri telah terang disinari

cahaya indah oleh sang surya. Keramaian telah terdengar dari jalanan dan sudut kota. Orang-

“Lho kak Jenar? Pagi-pagi kok udah di balkon?”

“Eh kamu udah bangun? Iya tadi malam kak Jenar ketiduran disini.”

“Udah, tadi Anila beli sayur di pasar depan rumah. Yaudah kak, masuk yuk sarapan.”

“Iya, kamu siapin dulu aja, kakak mau mandi.”

Selang beberapa menit kemudian, Jenar bergegas masuk ke dalam rumah untuk mandi.

Tercium harumnya hidangan yang telah disajikan Anila di meja makan.  Anila memang gadis

yang ahli dalam bidang memasak. Dia selalu menyajikan masakan penuh selera di depan meja

makan. Lima belas menit kemudian aku bergegas menuju meja makan. Ternyata Anila sudah

menungguku sedari tadi. Dia terlihat sudah rapi dengan penampilannya. Memang pagi ini

adalah hari pertama dia masuk kuliah setelah 3 bulan lama nya libur. Selepas menikmati

sarapan, aku bergegas pergi ke kantor.

Jalanan kota Wonogiri mulai ramai. Para pengendara sepeda maupun mobil memadati

jalan. Mereka berkendara secepat mungkin agar bisa sampai di kantor maupun sekolah tanpa

terlambat. Tepat pukul 07.00 aku sampai di kantor. Hari ini seperti biasa ku habiskan waktu

ku seharian di depan komputer. Tiba-tiba ada seorang gadis yang menghampiri meja kerja ku.

“Ini tolong kamu selesaikan ya, soalnya kemarin saya lihat masih banyak yang salah.”

“Oh baik bu, nanti coba saya periksa kembali.”

Seketika aku tertegun melihat sosok gadis yang berdiri di depan meja kerja ku itu. Ya,

benar dia adalah Belani seorang gadis yang telah lama ini menghilang dari kehidupan ku kini

telah kembali. Sekarang dia bukan lah Belani yang ku kenal dahulu, Belani yang hanya gadis

lugu dari desa. Kupalingkah tatapan ini dari nya, seolah aku tidak pernah mengenalinya.

Benar saja dia juga bersikap demikian, seolah diantara kita tidak pernah mengenal

Ruangan ber-AC itu cukup tenang. Hanya seorang lelaki berumur tiga puluhan dan

aku seorang. Lima menit kemudian ku beranikan diri menghampiri meja kerjanya. Ternyata

lelaki itu sedang asyik membaca koran tadi pagi.

“Lho pak, ndak makan siang to?”

“Eh, kamu Jenar. Ah pagi ini istri saya sudah membawakan bekal untuk makan siang.

“Oh, saya masih kenyang pak. Em, pak memangnya tadi gadis yang menghampiri

(sambil berfikir) “Oalah, ibu Belani ya? Dia itu istri dari pemilik perusahaan ini.

Memangnya kamu tidak tahu.”

“Apa? Oh saya kira itu anak dari pemilik perusahaan ini pak.”

Ketermenungan ku itupun buyar seketika saat telepon genggam ini berdering sangat

keras. Aku langsung beranjak dari tempat duduk ku. Meraih ponsel yang ada di atas meja

kerja. Belani sedang memanggil. Sebuah guratan tanda tanya pun terlihat di wajahku.

“Maaf mengganggu, Je,” ucap Belani setelah ku balas salamnya. “Kamu masih di

“Oh, masih. Memangnya kenapa.’

“Em, aku Cuma mau minta maaf atas sikap ku yang seolah tadi siang di kantor,

bagaimana kalau kita dinner? Aku tunggu di rumah makan Kampung Steak ya.”

Entah ini perasaan senang atau sedih. Seketika aku segera membereskan meja kerja

dan bergegas menuju tempat yang Belani minta. Dengan langkah yang terburu-buru tidak

sengaja aku menabrak seorang gadis di depan ku. Kertas-kertas penting yang ada di tangan

nya pun berserakan di lantai. Aku segera membantu nya merapikan kertas-kertas itu.

“Ah, kamu gimana sih. Kalau jalan liat-liat dong.”  Ucap nya ketus

“Em, maaf-maaf saya tidak sengaja.”

Tanpa banyak basa-basi gadis itu pun segera melangkah pergi. Begitu pun dengan aku.

Waktu menunjukkan pukul 07.45. Aku segera meninggalkan kantor ini. Baru dua menit

setelah itu, langsung ada yang memanggil.

“Wa’alaikumssalam. Ada apa Anila?”

“Kakak nanti pulang jam berapa? Soal nya aku masih di rumah temen ngerjain tugas.”

“Aduh, nanti kakak pulang malam Anila, masih ada kerjaan di kantor.”

“Oh bagus deh kak, nanti kakak sekalian makan di luar aja ya.”

Klik. Telepon ditutup. Ayuan sepeda viksi ini pun ku percepat. Mungkin Belani sudah

menunggu lama. Pikirku salah, ternyata Belani belum datang. Kuputuskan untuk memesan

tempat yang nyaman dengan latar menghadap ke koridor depan. Sambil menunggu

kedatangan nya, ku coba berjalan menghampiri rak buku besar yang ada di dalam cafe itu. Ku

pandangi buku-buku yang berbaris rapi di sana. Langkah tangan ku pun terhenti di salah satu

novel karangan Tere-Liye “Rembulan Tenggelam Di Wajahmu” . Kutarik buku itu dan

kubawa ke meja yang telah ku pesan tadi. Tak ku sadari seorang gadis cantik ternyata sedari

“Kamu udah lama berdiri di situ?” ucap ku perlahan

“Kamu udah pesan minum? mbak-mbak !” panggilnya

Aku sesekali memandang wajah Belani. Hanya sebentar. Namun rasa kagum ku

padanya sampai saat ini belum lah pudar. Tiada keinginan untuk menegasikan keanggunan

sang bidadari tanpa sayap yang duduk di depan ku itu. Rasa yang dulu ada ternyata sampai

saat ini masih lah melekat di dalam relung hati terdalam. Walaupun gadis itu telah melukai

hati ini. Ingin sekali lagi ku genggam tangan nya, ada asa untuk bisa menjadikan nya wanita

yang halal bagi diri ku. Namun kenyataan berkata lain.

“Jenar, aku minta maaf atas sikap ku tadi pagi dan kesalahan yang ku perbuat ke

“Kesalah yang mana, yang kamu maksud, Bel?”

“Kesalahan yang ku perbuat beberapa tahun silam.”

“Untuk apa kamu sekarang disini bersama ku? Bukankah kamu sekarang telah

menemukan kehidupan yang kamu ingin kan?”

Air mata pun perlahan menetes dari mata indah Belani. Hati pun tak kuasa melihat

kesedihannya. Namun apalah daya, tangan ini serasa kelu untuk mengusap air mata itu.

Setalah menikmati makan malam, langkah kami terpencar. Tiada kata lagi yang mampu ku

ucap. Hanya sepenggal kata yang mampu kuucap lirih dalam benak.

Kau diantara bayang-bayang dan kenangan masa lalu, mengalir lembut di pipiku.

Dan bersemai diantara dua kasih lalu membisu, menatap malam diantara kesepian.

Terkadang hidup terasa sulit ketika cobaan datang menghantam jiwa. Jalan terasa

buntu. Ruang gerak sempit. Pikiran penuh beban. Langkah pun terhenti. Jiwa ku sudah

separuh ada dalam kesadaran. Ku tatap dinding kamar yang hanya memajang kebisuan yang

terasa seakan abadi. Waktu berdetak terus tanpa henti, walau hanya sedetik. Hingga ku sadari

malam sudah kian hening. Hanya saja jiwa ini masih enggan untuk beranjak dari tempat

Pagi ini, seakan bumi memahami jiwa ku yang sedang hancur. Langit nampak

mendung. Kuputuskan pagi ini untuk pergi ke kantor mengendarai mobil. Memang aku lebih

menyukai sepeda viksi putih itu ketimbang mobil merah ini. Aku serasa menyatu dengan alam

dikala menikmati perjalanan dengan sepeda viksi. Hujan pun perlahan mulai turun dengan

Lima belas menit kemudian aku tiba di kantor. Suasana kantor nampak nya masih

sepi. Kulangkahkan kaki ini dengan perlahan, seakan kaki ini kelu untuk berjalan.

Sesampainya di depan elevator, ku tekan tombol untuk dapat menghantar ku ke lantai 5

gedung kantor ini. Di dalam elevator aku bertemu dengan gadis cantik yang kemarin

bertabrakan dengan ku. Sikap nya begitu dingin.

Di depan meja kerja ku, aku masih termenung. Tiada hasrat sedikitpun untuk

menyentuh tumpukan kertas yang ada di depan meja. Seminggu ini memang pekerjaan ku

sama sekali tidak terselesaikan. Aku hanya terdiam dengan tatapan kosong. Aku terus saja

memikirkan kejadian malam itu. Dimana Belani meminta maaf kepada ku dengan penuh rasa

bersalah. Aku bisa merasakannya. Entah mengapa tanpa diminta pun secara otomatis hati ini

 “Sudah selesai melamun nya?”

Tiba-tiba ada seseorang yang sedari tadi berdiri di depan meja kerja ku tanpa kusadari

sedikit pun. Aku pun memperbaiki posisi duduk ku

“Oh, em em. Tapi maaf sebelum nya Anda siapa ya dan ada kepentingan apa anda

“Hah? Apa yang barusan Anda bilang tadi? Oh jadi Anda karyawan baru ya di sini?”

“Em iya, saya karyawan baru disini.”

“Saya tunggu anda di ruangan saya sekarang.”

“Oh, berani-berani nya anda menyuruh saya.”

“Jangan banyak bicara. Lekas kerjakan apa perintah saya.”

Seketika karyawan-karyawan yang ada di ruangan itu pun menatap percakapan ku dengan

gadis itu. Sementara aku hanya kebingungan dalam diam. Aku segera beranjak dari tempat

duduk, sebelum nya aku masih bingung kemana aku menemui gadis tadi. Aku pun tidak

mengenalinya sama sekali bahkan jabatan dia di kantor ini.

“Em, hai kamu anak muda. Kamu tahu kan tadi kamu bicara dengan siapa?”

“Tidak, memangnya dia siapa dan apa pentingnya jabatan dia di kantor ini pak?”

“Wah kamu benar-benar ya, temui saja dia di ruangan nya.”

“Ruangan nya pun saya tidak mengetahui nya pak.”

“Kamu ini, lihat saja apa yang akan Dia lakukan kepada mu. Sudah pergi sana ke

ruangan nya jangan sampai dia memakan mu hidup-hidup.”

“Aih Bapak ini, kemana saya harus pergi?”

“Kamu pergi ke lantai 3, nanti tanya saja ke karyawan disana ruang Direktur Utama

Lima menit kemudian aku tiba di depan pintu ruangan yang dimaksud kan tadi.

Kuketuk pintu itu perlahan seakan nyaris tidak ada suara yang ditimbulkan nya. Ku buka

gagang pintu, dan dengan langkah yang amat pelan ku beranikan diri untuk masuk dalam

ruangan itu. Terlihat ada seorang gadis muda sedang duduk di depan meja kerja nya. Nampak

nya dia sedang sibuk mengotak-atik laptop di depan nya. Bahkan dia tidak menyadari bahwa

aku sedang memperhatikan kegiatan nya. Dia baru tersadar setelah mendengar deheman ku.

“Oh, kamu nampaknya. Duduk!”

Seusai menyelesaikan percakapan di ruangan itu, aku segera melangkahkan kaki untuk

keluar dari ruangan. Segera aku bergegas untuk kembali ke meja kerja ku. Setelah menaiki

eskalator tibalah aku di ruang kerja. Lama aku memikirkan kejadian tadi. Betapa bodoh aku

ini, dengan berani nya membentak Direktur Utama dan bersikap seolah orang itu tidak

mempunyai jabatan di kantor ini. Ya benar, dia adalah Anindya seorang Direktur Utama, dan

anak dari pemegang kantor ini. Dan  itu berarti Anindya adalah anak tiri dari Belani. Umurnya

yang terhitung masih muda namun sikap nya yang tegas dan matang dalam menghadapi

persoalan-persoalan di kantor memang pantas menjadikan nya sebagai Direktur. Terang saja,

Dia bersikap tegas kepada ku dengan memberikan hukuman.

Seminggu berlalu setelah kejadian di Cafe dengan Belani. Semacam petaka bagi ku

karena kejadian itu, akibatnya disaat orang-orang sedang asik menikmati hari Minggu dengan

bersantantai di rumah aku harus menyelesaikan tugas di kantor. Setumpukan pekerjaan telah

menantiku disana. Mobil merah ini melaju dengan cepat nya. Di tengah perjalanan aku

berhenti sebentar di salah satu mini market untuk membeli makanan dan minuman.

Sekitar lima belas menit lama nya aku tiba di kantor, tangan ku penuh dengan

tentengan makanan dan setumpukan pekerjaan yang sengaja aku bawa ke rumah untuk ku

selesaikan. Tak kuduga gara-gara kejadian beberapa waktu silam ternyata menyita waktu ku.

Pekerjaan ku pun terbengkalai. Namun aku harus bangkit. Nampaknya hanya aku saja yang

berada di kantor ini, sedari tadi tak ada seorang pun yang kulihat. Di meja hitam ku ini aku

seharian mengotak-atik laptop dan kertas-kertas penting disana. Tiba-tiba aku mendengar

derap langkah kaki memasuki ruangan ku. Ternyata itu Direktur Anindya. Dia berjalan ke

“Bagaimana pekerjaan mu, sudah selesai?”

“Oh, mungkin besok pagi berkas-berkas ini bisa saya antar ke meja kerja anda.”

“Bagus lah kalau begitu.” (sambil berjalan keluar ruangan)

“Em, Direktur sudah makan? Bagamana kalau saya traktir anda minum hanya untuk

sekedar meminta maaf atas kelakuan saya kemarin.”

“Boleh juga.” (dengan sikap dingin nya)

Ku lajukan mobil ini dengan kecepatan sedang. Di dalam mobil ini saya terdengar

lantunan musik yang sedang ku putar. Memang Direktur Anindya hanya berdiam diri tanpa

mengucapkan satu patah kata pun. Aku pun juga demikian. Nampaknya langit sore ini sedang

tidak bersahabat. Terlihat gumpalan mendung sedang bernaung di atas sana, kilat petir pun

Dalam benak Direktur itu, sebenarnya dia tidak begitu buruk bahkan sangat tampan, IQ yang

diatas rata-rata, pesonanya , dan sikapnya yang penuh percaya diri. Cih apa-apaan aku ini.

Dia hanya seorang karyawan biasa namun kenapa pesona nya tak mampu aku abaikan.

Aku pun segera membukakan pintu untuk nya. Kami berjalan menelusuri keheningan

malam. Memang kota ini selalu nampak sepi. Aku melihat sekeliling mencari-cari meja yang

kosong. Namun entah mengapa tangan ini seketika menggenggam tangan nya dan menuntun

nya ke meja yang ku maksud kan. Tempat ini memang nampak panorama kota Wonogiri yang

begitu indah di kegelapan malam. Lampu warna-warni menghiasi kota nan asri ini. Segera ku

pesan menu makan dan minum. Direktur pun hanya meng-iya kan apa yang aku pesan.

“Saya dengar ada film baru yang menarik, em bagaimana jika anda menemani saya

“Apa? Saya menemani kamu?”

“Yah, itupun jika Direktur menyetujui nya. Lagi pula anda kesini dengan saya tanpa

membawa mobil sendiri. Bagaimana mungkin saya harus mengantar anda terlebih

dahulu ke kantor dan kembali lagi ke sini.” (dengan nada bicara penuh percaya diri)

Seusainya makan malam, mobil yang ku kendarai pun meluncur ke gedung bioskop.

Kami berencana untuk menonton film. Dua jam pun kami habiskan disana. Film itu cukup

menarik. Kami berdua sangat menikmati nya. Direktur Anindya nampak nya mulai

menunjukkan sikap asli nya. Dia yang selama ini selalu bersikap dingin dan tegas, ternyata

aku melihat banyak kesedihan yang tersimpan pada dirinya. Aku tercengang melihatnya

ketika menangis tersedu-sedu saat menyaksikan film tadi. Entah mengapa terbersit pikiran

dan keinginan yang sangat kuat untuk membuatnya terbebas dari beban yang selama ini di

sembunyikannya. Aku ingin membuatnya bahagia. Dia berbeda dari wanita lainnya. Dia

sangat menarik. Kemudian aku memutuskan untuk mengantarnya ke kantor, namun aku

berubah pikiran. Aku tidak tega meninggalkan nya di kantor dan melihatnya mengendarai

mobil malam-malam seorang diri. Anindya nampaknya bingung.

“Ini bukan jalan ke kantor. Apa kamu sudah lupa jalannya, sebenarnya kita mau

“Saya akan mengantarkan Anda pulang ke rumah. Bukankah ini jalan menuju rumah

“Sejak kapan kamu bersikap seenaknya sendiri?”

“Saya tidak tega melihat wanita pulang malam-malam sendiri. Besok pagi saya jemput

Mobil yang membawa kami pun tiba di depan rumah mewah yang berada di salah satu

komplek Wonokarto. Aku pun membukakakan pintu mobil untuk nya. Terlihat jelas wajahnya

yang nampak kelelahan. Ku bawakan tas dan laptop yang ada di dekapannya. Dan ku bantu

dia saat membuka pintu gerbang. Seberkas senyuman indah terlukis olehnya. Tiba-tiba ponsel

ku berbunyi. Segera aku berpamitan dan masuk ke mobil untuk menerima panggilan ini.

Ternyata panggilan dari seseorang yang ku kenal.

“Jenar, kamu sedang dimana?”

“Memangnya kamu ada perlu apa?”

“Aku hanya ingin mendengar suara mu.’

Tuttttt....... Segera ku tutup panggilannya. Aku muak dengan semua sikapnya.

Kenangan beberapa tahun silam pun seakan kembali kuputar dalam ingatan ku. Mengingat

betapa bodohnya aku mencintai seseorang seperti Belani. Cinta ku yang tulus kepadanya

hanya ia balas dengan luka dan kepedihan. Luka ini berawal ketika Belani sedang berada di

suatu tempat, tiba-tiba ada sekawanan anak muda yang mabuk mendekatinya. Mereka

mempunyai niat untuk melakukan tindak asusila ke Belani. Karena panik, Belani

melemparkan botol kaca ke kepala anak muda itu. Kepala anak muda itu mengeluarkan darah

yang tiada henti dan tubuhnya seketika tergeletak di lantai. Segera dia menelepon ku. Lima

belas kemudian aku tiba di suatu tempat yang di maksud nya saat di telepon. Status ku yang di

kala itu adalah mahasiwa kedokteran jelas saja mengetahui bagaimana kondisi anak itu.

Jantung nya sudah tidak berdetak, denyut nadi nya pun perlahan mulai menghilang. Benar

saja, anak itu meninggal. Kulihat Belani terisak menangis dengan botol kaca yang masih di

genggamnya. Aku pun tak kuasa melihatnya seperti ini, kulangkahkan perlahan kaki ini untuk

“Sebaiknya kamu menyerahkan diri ke polisi. Dia, dia sudah tidak ada di dunia ini.”

“Tidak, tidak mungkin anak itu mati. Dia masih hidup kan, Je.” (dengan menangis

“Menyerahlah, Bel. Hukuman akan semakin berat jika kamu menjadi buronan.”

“Tapi bukan aku, Je. Bukan aku yang membunuh orang itu.”

Kudekap erat tubuh nya. Hanya untuk sekedar membuat nya lebih tenang. Tangis nya

pun buncah. Ku genggam tangan mungil nya, sungguh tangan nya dingin dan bergetar. Dia

sangatlah ketakutan. Aku berusaha menenangkan wanita satu-satu nya yang aku sayangi.

“Pergilah dari sini seolah tidak terjadi apa-apa, lanjutkan hidup mu dan jangan sekali-

kali menoleh ke belakang. Lupakan kejadian ini. Aku yang akan menggantikan mu.”

Belani bergetar hebat, rahangnya tercekat, dia tidak mampu berkata apa-apa. Selain menangis,

aku merapihkan rambutnya yang berantakan dan membuatnya terlihat baik-baik saja. Aku

segera memaksanya untuk pergi dari sini, karena polisi terlihat mulai mendekat. Dan impian

yang kurangkai selama ini hancur seketika, impian untuk menjadi seorang Dokter. Aku di DO

Seketika lamunan ku pecah, ketika mendengar telepon berbunyi. Ternyata dari Adik

“Kak, kamu dimana? Kenapa belum pulang, ini sudah lewat tengah malam.”

“Ah iya, bentar lagi kakak sampai rumah. Tadi ada pekerjaan di kantor.”

Segera ku nyalakan mesin mobil ini dan melaju meninggalkan rumah Anindya. Tepat dua

puluh menit aku tiba di depan rumah ku. Segera aku masuk dan mengunci pintu.

Kulangkahkan kaki menuju kamar tidur. Ku jatuhkan tubuh ini ke tempat tidur dan terlelap.

Jam menunjukkan pukul 07.00. Kusantap sepotong roti buatan adik ku untuk

mengganjal perut. Segera ku nyalakan mesin mobil dan bergegas untuk berangkat. Pagi ini

seperti janji ku kemarin untuk menjemput Anindya. Perjalanan menuju rumah nya sekitar 20

kilometer. Sesampainya disana aku turun dari mobil dan berjalan menuju gerbang rumahnya.

Setelah menunggu sepuluh menit lamanya, dia datang dengan membawa banyak bawaan di

tangan nya. Setibanya di kantor, aku dan Anindya segera memasuki ruang kerja.

Waktu berjalan dengan begitu cepatnya, dua bulan sudah aku dan Anindya saling

kenal. Kami melewati hari bersama-sama. Mulai dari berangkat kerja, di kantor sampai

pulang kerja ku lalui bersama nya. Aku merasa nyaman berada di dekatnya begitu pula

dengan Anindya. Malam ini aku akan membuat kejutan untuk nya. Sengaja aku pergi ke

rumah nya tanpa meminta persetujuan dari nya. Ku bawakan seikat mawar merah ke

rumahnya. Ku ketuk pintu rumahnya, nampak tak ada seorang pun yang mendengar. Tiba-tiba

derap kaki terdengar oleh ku, ternyata seseorang yang ingin membukakan pintu. Mungkin dia

Anindya. Perkiraan ku pun salah, dia adalah Belani.

Di ruang tamu itu aku dan Belani membicarakan banyak hal. Apa yang aku rasakan

sekarang saat melihat Belani tidaklah sama dengan perasaan ku dahulu. Kini aku melihatnya

hanya seorang teman, bahkan aku mulai membiasakan diri untuk bersikap ramah kepada nya

karena dia  ibu dari Anindya. Wanita yang kusayangi. Karena asyik nya mengobrol, aku lupa

tujuan awal ku ke rumah ini. Tak kuduga, ternyata Anindya sedari tadi berdiri tepat di pintu

masuk ruang tamu. Setelah ku sadari keberadaan nya, aku segera menghampiri nya. Namun

dia segera berlari menuju kamarnya dan terdengar isakan tangis oleh nya.

Ku ketuk pintu kamar nya beberapa kali, namun tak sekali pun di gubris olehnya. Aku

takut dia salah paham kepada ku. Telepon nya seketika di non-aktifkan. Lama aku menunggu

di depan pintu kamar itu, aku duduk bersandar pada daun pintu itu. Berharap dia mau

mendengakan alasanku. Namun lima jam lamanya aku menunggu, dia sama sekali tidak

keluar. Mungkin dia memang marah kepada ku. Kuputuskan untuk pulang dan mencoba

menghubungi nya lagi nanti. Aku pun ijin pulang ke Ibu tirinya, Belani.

Sesampai ku di rumah, aku masih memikirkan nya. Ku telepon namun tetap saja nihil

hasilnya. Aku tidak ingin Anindya membenci ku, karena aku terlanjur mencintainya. Aku

menyayanginya. Dia adalah satu-satunya wanita yang bisa membuat ku melupakan Belani.

Dia yang membuatku bangkit dari keterpurukan masa lalu. Dalam lamunan itu, terbersit

Dulu di dalam sel tahanan aku selalu berharap dapat sesegera mungkin menikmati

segarnya udara luar. Belani, wanita yang kusayangi seminggu sekali pasti datang untuk

menjenguk ku. Dia selalu perhatian, selalu membawakan makanan, buku, atau apa saja.

Walapun datang dengan tangan kosong pun aku senang. Namun seiring berjalannya waktu,

intensitas nya mengunjungiku ke sel tahanan semakin berkurang. Mulai dari setiap hari,

seminggu sekali, sebulan sekali, dan setahun sekali. Entah apa yang membuatnya seperti itu.

Aku selalu berpikir bahwa dia di luar sana sedang sibuk dan tidak sempat mengunjungiku.

Waktu yang kunantikan pun tiba, tepat empat tahun lamanya aku mendekam di sel

tahanan. Kini aku telah bebas. Bisa menikmati segarnya udara. Kota Wonogiri nampak ada

perubahan. Tanah-tanah kosong yang dulu nya tidak di manfaatkan kini berdiri tegak

bangunan-bangunan pertokoan. Namun udara Wonogiri sedari dulu masih baik untuk

dinikmati. Disamping bangunan-bangunan berdiri, pohon-pohon pun nampaknya masih

banyak disini. Setelah keluar dari tahanan aku selalu mencari informasi tentang keberadaan

Belani. Setiap hari aku mencari dan terus mencari. Ku datangi rumahnya pun, dia tidak ada.

Kata tentangga sekitar Belani sudah 2 tahun ini pindah rumah, namun mereka tidak

mengetahui alamat rumah baru nya. Dan suatu ketika aku mendapat berita dari seseorang

bahwa Belani menikah dengan seorang pengusaha kara raya di kota ini. Dan sejak saat itu hati

Sudah satu bulan lamanya aku dan Anindya tidak saling berkomunikasi. Aku selalu

melakukan berbagai cara untuk menemuinya. Namun, dia selalu mengelak. Nomor teleponnya

pun sudah digantinya. Pagi ini aku coba untuk mendatangi rumahnya. Benar saja dia tidak ada

di rumah. Ibu tirinya mempersilahkan aku masuk. Dia bercerita panjang lebar mengenai

keadaan Anindya. Ternyata memang benar, Anindya sudah mengetahui masa lalu ku dengan

“Je, tolong jaga Anindya. Sekarang aku telah ikhlas melepaskan mu untuk anak ku

karena aku tahu betul seberapa besar pengorbanan mu untuk dia. Tolong jaga dia. Aku

akan merestui kalian, aku akan menganggap kamu sebagai menantu ku nantinya.”

“Benarkah yang kamu katakan tadi?”

“Iya, Je. Cepat cari dia dan ungkapkan semua isi hati kamu.”

“Baiklah, Bel. Namun, sekarang akupun tidak tahu dia dimana. Aku mencari nya

kemanapun tetap dia tidak ku temukan. Nomor nya juga ganti.”

“Dia sekarang berada di sebuah desa kecil milik neneknya. Temui dia di desa

“Baiklah, Bel. Besok pagi aku akan segera menjemputnya.”

Malam pun berlalu dengan cepatnya, pagi ini aku bergegas untuk menemui Anindya

dan menjelaskan semuanya. Ku tempuh perjalan ini sekitar tiga jam lamanya. Jalan nya yang

berliku serta bergelombang mempersulit perjalanan ku. Setibanya di desa kecil ini, aku segera

mencari alamat rumah yang Belani berikan semalam kepada ku. Aku bertanya pada salah

seorang warga, dan diantarkan nya aku ke sebuah rumah. Nampak jelas bangunan nya yang

indah dengan dekorasi yang apik membuat kesan asri rumah itu.

“Wa’alaikum salam.” (terdengar si empunya rumah berlari sambil menjawab salam)

“Jenar, untuk apa kamu kesini? Skenario apa lagi yang akan kamu tontonkan kepada

“Dengar dulu Aninya, aku akan menjelaskan semuanya kepada mu.”

“Cukup, Jenar aku sudah tidak butuh penjelasan mu.”

Ku raih tangan Anindya dan ku pegang.

“Memang benar aku mempunyai masa lalu dengan Ibu tiri mu, Belani. Namun

sekarang aku sudah tidak mempunyai perasaan apapun ke dia.”

“Tapi niat awal kamu mengenalku hanya untuk balas dendam kan ke Dia?”

“Iya, memang benar niat awalku mendekati mu hanya untuk membalaskan dendam ku

ke Belani, namun seiring berjalan nya waktu, “

“Seiring berjalan nya waktu kamu telah berhasil mendekati Dia lagi dan membuangku

“Bukan begitu Anindya. Seiring berjalan nya waktu aku mulai merasa nyaman jika

berada disamping mu. Ada keinginan untuk setiap hari bisa mengenalmu lebih jauh.

Kamu istimewa. Kamu berbeda dari wanita-wanita lainnya. Dan aku mulai

menyayangimu, aku ingin selalu berada disamping mu untuk menjagamu. Karena aku

Anindya tak mampu menyembunyikan raut kebahagiaannya. Awalnya

Anindya ragu dengan perasaannya, namun setelah mengetahui Jenar begitu

menyayanginya dia semakin yakin dengan perasaannya. Anindya memutuskan untuk

percaya dan ingin bersama dengan Jenar.

“Sebenarnya cintamu tidaklah bertepuk sebelah tangan.” (sambil tersenyum manis dan

menerima pelukan hangat dari Jenar)

Rasanya tak ingin sedikitpun waktu kulewati tanpanya. Mendengar tawanya adalah

kebahagiaan terbesar yang kurasakan. Seiring berjalannya waktu aku semakin

mengenalnya, semakin besar rasa keinginan ku untuk melindunginya.

Hari-hari kulewati dengan Anindya, kuhabiskan waktu ku bersamanya.

Nivia (Prodi PBI)

No comments:

Ads Inside Post