Translate

Sunday 13 May 2018

CERPEN


Terus Terang 
Hanifah Mumtahanah / P. Biologi ' 15
Kali ini sedang hujan syahdu. Tiap tetesnya beraroma kan rindu bagi kebanyakan orang. Dia menyapa namun tetap diam dalam rahasianya. Sedang duduk 2 laki-laki jomblo fii sabilillah di teras kontrakan sambil ngopi dan menanti jodoh tiba. Padahal nggak mungkin jodoh turun terselimut di tetes-tetes hujan tadi. Bisa dengan mengirim doa. Tapi, sebenarnya mereka sedang berbagi cerita.
“Lis, kamu nggak pulang ke kampung halamanmu di Jawa? Sudah lumayan lama kamu kerja di Kalimantan dan hampir 3 tahun kamu nggak pulang ke rumah. Kamu tak punya rasa kasihan kah terhadap kedua orang tuamu atau mungkin kangen? Bisa jadi mereka kangen.” tanya Lukman terhadap salah satu sohib di kontrakannya, Kholis.
“Hehe iya, Bang. Tahu aja kalau sudah 3 tahun aku nggak pulang. Padahal baru pindah seminggu aku disini”, jawab Kholis malu-malu. Karena pada dasarnya, Kholis memang laki-laki pendiam.
“Kamu kan sudah sempat cerita ke aku meskipun singkat. Karena kamu ini sangat pendiam. Begini lis, aku punya cerita yang In Syaa Allah bisa menyadarkan mu.”, terang Lukman. Laki-laki yang satu ini memang senang bercerita panjang lebar. Sebenarnya dengan niatan menasihati sesama muslim.
“Ada cerita apa lagi, Bang?”, tanya Kholis.
“Jadi begini, Bro. Dulu………
…………………..10 tahun yang lalu……………….
“Hei Lukman. Ini sudah H-3 acara Seminar Nasional. Persiapan kita masih kurang 50% nih. Segera gerak cepat.”, perintah Dani selaku kakak tingkat Lukman.
“Iya, Mas. Saya usahakan besok finish.”, jawab Lukman yang saat itu posisinya sebagai ketua panitia Seminar Nasional salah satu organisasi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) nya.
“Oke. Segala bentuk perkembangan apapun, kamu lapor ke aku ya. Jangan lupa. Acara kita ini acara besar dan melibatkan banyak orang. Jadi jangan sampai mengecewakan.”, jelas Dani.
“Siap, Mas.”, jawab Lukman mantap.
Di PTN nya Lukman tidak hanya mengikuti 1-2 organisasi tapi 3 organisasi dia ikuti. Terkadang dia harus mengorbankan kuliahnya demi amanah di organisasi yang dia ikuti. Dengan begitu dia hampir tidak ada waktu untuk pulang ke rumah. Memang, Lukman selalu menyempatkan telfon keluarganya seminggu sekali untuk memberikan kabar. Namun, sudah dasarnya orang tua kangen sama anaknya. Apalagi Lukman adalah anak tunggal. sehingga tak jarang ibu Lukman menangis ketika telfon dengan Lukman. Dan Lukman hanya memberi penjelasan bahwa dia sibuk di kampusnya.
“Le, kapan kamu pulang? Lebaran kemarin kamu sudah tidak pulang ke rumah. Sebenarnya di kampusmu apa tidak ada liburnya? Bahkan hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha kamu tidak pulang.”, tanya ibu Lukman dengan nada sedih yang hampir-hampir membuat air matanya tumpah membanjiri pipi.
“Maaf ibu. Lukman sibuk. Kapan-kapan jika ada waktu longgar, Lukman bakal pulang kok. Ini Lukman sehat. Semoga ibu dan keluarga sehat juga ya. Lukman mau lanjut ngerjain tugas dulu, Bu. Kapan-kapan telfon lagi.”, jawab Lukman.
Hampir 2 tahun Lukman tidak pulang ke rumah. Lantaran kegiatan akademik dan non akademiknya. Selain itu karena jarak rumah ke PTN nya terbilang jauh. Karena perjalanannya hamper 8 jam naik bus.
“Oke, kita akhiri breafing kita dan langsung siap di tempat masing-masing ya.”, jelas Lukman kepada seluruh kepanitiaan Seminar Nasional saat breafing hari H Seminar Nasional.
“Siap!”, jawab seluruh anggota dengan kompak. Meskipun tidak semua kepanitiaan  hadir untuk acara Seminar Nasional.
Tiba-tiba saat sedang menghandle acara, telfon Lukman bordering.
“Le, kamu bisa tidak pulang sekarang?”, tanya ibu Lukman.
“Nggak bisa, Buk. Lukman lagi handle acara nih. Nanti Lukman telfon lagi ya.”, seketika itu juga Lukman menutup telfon dari ibunya.
”Sruuuppuuutttt………………”, suara kopi yang Lukman minum itu membasahi mulut dan seluruh pikirannya. Tidak karuan memang karena mengingat-ingat masa yang paling disesalinya. Hingga dia berhenti sejenak. Menenangkan pikirannya.
“Terus gimana, Bang cerita selanjutnya?”, tanya Kholis.
“Selama hidupku aku berusaha untuk mengambil jalan terbaik, Lis. Tapi ternyata selama ini aku salah mengambil langkah. Aku baru sadar setelah kejadian itu.”
“Kejadian apa, Bang?”, tanya Kholis penasaran.
“Kejadian 10 tahun yang lalu, dimana sudah tidak ada waktu dari kata nanti yang telah kuucapkan kepada ibuku. Karena saat itulah, terakhir kalinya ibuku telfon denganku. Aku terlalu menyepelekan, Lis. Aku merasa waktuku sangat berharga hingga semua harus aku manfaatkan dengan baik. Tapi kesalahanku adalah aku tak memanfaatkan waktu tersebut untuk berbakti kepada orang tuaku. Setelah aku pikir-pikir. Kuliahku menjadi tidak tamat juga karena kesalahanku sendiri yang terlalu terpuruk dalam kesedihan setelah ditinggal pergi ibuku.”, jelas Lukman.
“Innalillahi wa innalillahi roji’un”, Kholis melantunkan doa.
“Ternyata waktu yang ibuku miliki, tidak sepanjang waktu sibukku. Aku sama sekali tidak memperdulikannya. Aku merasa bahwa dengan mengabarinya saja, sudah menjadi tak apa untuk ibuku. Padahal aku anak tunggal.”, cerita Lukman dengan sedih.
“Sabar ya, Bang. Semua sudah ada yang mengatur.”, jelas Kholis.
“Untuk itu aku cerita begini itu agar kamu tidak terlalu mementingkan kerja sedangkan ada yang kangen jauh disana.”, kata Lukman menasihati Kholis.
“Hehe… iya, Bang. Terimakasih banyak atas nasihatnya. Sebenarnya saya juga mau pulang, tapi nunggu tabungan cukup dulu setelah itu saya mau melamar anak orang lalu nikah, Bang dan tinggal di Jawa. Sebenarnya saya juga sudah tidak punya orang tua. Kedua orang tuaku meninggal waktu aku SD. Kemudian aku tinggal bareng sama budhe. Yaa.. maklum, Bang karena kurang mampu, jadi aku Cuma bisa sekolah sampai lulus SMA itu pun sekolah desa. Tapi alhamdulillah, semua atas izin Allah aku bisa sampai disini.”, jelas Kholis.
“Innalillahi wa innalillahi roji’un. Maaf Lis, aku nggak tahu. Dan ternyata kamu udah punya cim-ciman ta, Lis. Duh, ternyata aku kalah cepet ya. Yaudah jangan lupa untuk aku ya. Kan kita temen kontrakan juga, meskipun baru 1 minggu. Semoga lancar sampai hari H nanti, Lis. Ikut seneng aku.”, kata Lukman.
“Iya, Bang nggak papa. Santai aja. Dan makasih atas doanya. In Syaa Allah sebelum lebaran aku pulang. Dan setelah lebaran aku melamar dia.”, kata Kholis malu-malu.
“Oke, Bro. Siap. Semangat!”, balas Lukman.
Tak terasa hujan tadi sudah reda. Dan ternyata mereka sudah bercerita lebih dari 2 jam. Kopi mereka pun sudah habis tak tersisa. Hanya butiran-butiran kecil dari ampas kopi yang membentuk gambar tak tentu di gelas.

No comments:

Ads Inside Post